Mbah Surip Lokal
untuk Garuda
Senin, 30 April 2012,
07:07 WIB
Akan ada hiruk pikuk
lagi di BUMN beberapa hari mendatang. Di samping soal interpelasi, akan ada
heboh soal penjualan saham Garuda dan susunan direksi baru perusahaan
penerbangan itu. Akan ada juga heboh-heboh soal gula dan tebu. Lalu segera
menyusul kehebohan soal direksi Telkom. Tentu itu belum semuanya.
Kehebohan-kehebohan lain bisa saja akan terus menyusul.
Mengapa soal saham
Garuda akan heboh? Ini boleh dikata merupakan "heboh turunan". Sejak
penjualan perdana saham Garuda ke publik setahun yang lalu memang sudah heboh:
Rp750 per lembar saham dianggap terlalu mahal. Akibatnya, tiga perusahaan grup
BUMN yang harus membeli 10 persen saham Garuda waktu itu langsung kelimpungan.
Ini karena sesaat setelah IPO harga saham Garuda nyungsep menjadi hanya Rp570
per lembar. Bahkan pernah tinggal Rp395 per lembar!
Tiga perusahaan
sekuritas milik BUMN itu (Danaeksa, Bahana, Mandiri Sekuritas) tiba-tiba harus
menanggung kerugian ratusan miliar rupiah. Lebih parah lagi uang yg dipakai
membeli saham itu adalah uang pinjaman. Sudah rugi harus membayar bunga pula.
Tentu tiga perusahaan BUMN itu tidak akan kuat lama-lama memegang "saham
panas" tersebut. Kalau terlalu lama digenggam saham panas itu akan
membakar tubuh mereka: kolaps.
Itulah sebabnya
ketika saya menjabat Menteri BUMN saya langsung mengizinkan keinginan tiga
perusahaan tersebut untuk segera melepas saham Garuda. Dalam bisnis selalu ada
prinsip ini: rugi Rp200 miliar masih lebih baik daripada rugi Rp400 miliar.
Rugi Rp400 miliar lebih baik daripada rugi Rp600 miliar.
Yang terbaik tentu
jangan sampai rugi. Tapi hanya orang yang tidur seumur hidupnya yang tidak
pernah rugi.
Kalau saham panas itu
harus segera dijual, kepada siapakah dilepas? Saya setuju dengan ulasan Kompas
jumat lalu: dijual kepada partner strategis. Yakni perusahaan penerbangan
internasional yang reputasinya baik, yang seperti lagunya Mbah Surip, akan bisa
menggendong Garuda ke mana-mana.
Tiga perusahaan
sekuritas tersebut tentu sudah melakukan itu. Bahkan mereka sudah
menawar-nawarkan ke berbagai investor internasional. Hasilnya nihil. Ada memang
yang menawar tapi maunya macam-macam: harganya harus murah, tidak mau hanya 10
persen, dan banyak permintaan lain lagi.
Kalau itu dipenuhi
pasti menimbulkan kebisingan yang luar biasa: mengapa dijual begitu murah?
Mengapa jatuh ke tangan asing?
Waktu untuk menunggu
datangnya partner strategis juga terbatas. Kian lama menunggu kian
termehek-meheklah nafas tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut: megap-megap.
Itulah sebabnya saya berinisiatif menghubungi lima perusahaan besar nasional.
Saya kirimkan SMS kepada mereka berlima dengan bunyi yang sama (hanya saya
ganti nama pengusahanya):
"Mohon
pertolongan, berminatkah grup perusahaan Anda membeli saham Garuda yang
dikuasai tiga sekuritas BUMN dengan harga pasar saat ini? Kasihan tiga
sekuritas tersebut. Kalau tidak ada pengusaha dalam negeri yang ambil tentu
akan dibeli asing. Saya tahu ini kemahalan dan kurang menarik. Tapi siapa tahu
bisa bantu. Mohon gambaran berminat atau tidaknya. Salam.” SMS ini saya kirim
ke Nirwan Bakrie, Chairul Tanjung, Sandiaaga Uno, Rahmat Gobel, dan Anthoni
Salim.
Begitulah bunyi SMS
saya kepada lima pengusaha itu. Saya tahu tidak mudah bagi mereka untuk bisa
membantu tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut. Dalam dunia bisnis pernah ada
pameo begini: "Untuk jadi jutawan itu mudah. Jadilah miliarder dulu, lalu
belilah perusahaan penerbangan, Anda akan segera jadi jutawan!"
Saya juga merasa,
pasti akan ada permintaan macam-macam dari para calon investor itu. Sebuah permintaan
yang dalam dunia bisnis memang sudah menjadi standar praktik sehari-hari:
diskon! Apalagi mereka tahu tiga perusahaan sekuritas tersebut dalam posisi
lemah: help! help! help!
Dari lima penawaran
saya itu tiga pengusaha menyatakan berminat membantu. Lalu kepada mereka saya
sampaikan: silakan hubungi langsung ke korporasi masing-masing. Tugas saya
sebatas mencarikan calon pembeli. Setelah ada peminatnya saya serahkan
sepenuhnya agar mereka melakukan transaksi sendiri: bagaimana caranya, seperti
apa prosedurnya, berapa harganya, dan bagaimana cara memutuskannya. Silakan
lakukan sesuai dengan prinsip yang dibolehkan.
Tentu saya berharap
keajaiban. Saya tahu "tokoh membawa berita" adalah salah satu doktrin
jurnalistik. Karena tiga tokoh telah menyatakan minat membeli 10 persen saham
Garuda yang ada di tiga sekuritas itu maka berita di sekitar saham Garuda
menjadi hangat. Tiba-tiba saja harga saham Garuda di lantai bursa seperti
digoreng: melonjak menjadi Rp650-an dan terus terbang sampai Rp720 per lembar.
Tiba-tiba saja nilai
perusahaan Garuda bertambah triliunan rupiah. Garuda sangat diuntungkan! Namun
tokoh-tokoh yang sudah terlanjur berminat tadi menjadi empot-empotan. Tiba-tiba
mereka harus membeli saham Garuda jauh lebih mahal dari yang mereka bayangkan.
Mereka tentu mengira akan membeli saham Garuda dengan harga Rp570 per lembar
seperti yang saya tawarkan.
Tapi dengan kenaikan
harga saham Garuda di bursa yang begitu tinggi, masih maukah mereka membeli?
Atau, sebaliknya, masih maukah tiga sekuritas tersebut menjual? Bisa saja para
pengusaha yang semula berminat tiba-tiba mengurungkan keinginannya. Sebaliknya
bisa saja justru tiga sekuritas kita yang tidak mau melepas, misalnya, menunggu
siapa tahu harga saham tersebut masih terus menanjak.
Di sinilah
kontroversi akan terjadi. Kehebohan akan muncul. Masing-masing pihak
melontarkan pandangannya sendiri-sendiri.
Kalau dilepas
sekarang dan kemudian harga saham ternyata masih naik, para pengamat akan
mengecam habis-habisan: kok dijual murah! Tapi kalau tidak dilepas sekarang dan
ternyata harga saham turun lagi (batalnya transaksi ini bisa saja memukul balik
harga saham) para pengamat juga akan menggebuki tiga sekuritas tersebut.
Saya memilih untuk
tidak mencampuri pilihan mana yang terbaik. Direksi tiga perusahaan tersebut
adalah orang-orang yang sudah malang-melintang di bidang itu. Mereka adalah
orang-orang yang hebat. Yang penting: putuskan! Risiko dikecam adalah bagian
dari kehidupan yang sangat indah! Ambillah putusan terbaik dengan fokus tujuan demi
kejayaan perusahaan!
Kalau Anda menunda
keputusan hanya karena takut heboh, perusahaanlah yang sulit. Kalau perusahaan
menjadi sulit banyak yang akan menderita. Orang-orang yang dulu mengecam itu
(atau memuji itu) tidak akan ikut bersedih! Jadikan kecaman-kecaman itu bahan
mengingatkan diri sendiri agar jangan ada main-main di sini. Takutlah pada
permainan pat-gulipat!
Lalu bagaimana dengan
heboh pembentukan direksi baru Garuda? Ini pun rupanya juga heboh turunan.
Bahkan pergantian direksi Garuda beberapa tahun lalu bisingnya melebihi mesin
737-200.
Setiap pergantian
direksi memang akan selalu muncul pertanyaan: mengapa si A dipilih dan mengapa
si B tidak. Padahal keduanya sama-sama hebat. Tentu yang terbaik adalah semua
calon yang terbaik itu duduk di dalam satu tim direksi. Itu akan menjadi tim
yang kuat.
Namun ada kalanya
tidak semua orang hebat bisa duduk bersama-sama dalam satu tim yang hebat.
Kalau dipaksakan pun hasilnya bisa tidak baik. Orang Surabaya sering bergurau
begini: soto yang paling enak dicampur dengan rawon yang paling enak rasanya
justru jadi kacau!
Para stars yang
dipaksakan bergabung dalam satu tim belum tentu bisa memenangkan tujuan. Bahkan
bisa saja justru terjadi perang bintang di dalam tim itu. Setidaknya bisa
terjadi perang dingin di bawah selimut. Energi terlalu banyak terbuang untuk
perang bintang (yang kelihatan maupun yang tersembunyi). Bahkan lantaran yang
bersitegang itu adalah atasan, bawahan mereka bisa-bisa ikut terbelah.
Dalam hal seperti itu
saya mengutamakan terbentuknya sebuah tim yang kompak, serasi, saling melengkapi,
dan solid. Toyotomi Hideyoshi bisa menjadi panglima yang menyatukan Jepang di
abad ke-16 dengan modal utamanya: kekompakan. Bahkan dia sendiri mengakui bukan
seorang yang ahli memainkan pedang. Karena itu Hideyoshi mendapat gelar Samurai
Tanpa Pedang.
Tim direksi Garuda
yang baru ini dibentuk dengan semangat itu. Juga dengan semangat menampilkan
yang lebih muda. Presiden SBY sangat mendukung konsep pembentukan dream team di
setiap BUMN.
Munculnya tim yang
kuat di Garuda ini, dan terjadinya transaksi 10 persen saham Garuda di tiga
sekuritas BUMN, mendapat sambutan yang luar biasa dari pasar modal. Saham
Garuda hari itu bukan lagi naik, tapi meloncat. Bayangkan, berapa triliun
rupiah pertambahan asset Garuda hari Jumat minggu kemarin itu.
Lantas bagaimana
dengan orang-orang hebat yang tidak semuanya bisa masuk tim? Saya akan terus
mengamati apakah mereka memang benar-benar hebat. Orang hebat adalah orang yang
tetap hebat ketika gagal jadi direksi sekali pun. Orang yang benar-benar hebat
adalah mereka yang mementingkan peran melebihi jabatan.
Kalau mereka bisa
membuktikan diri tetap hebat dalam suasana duka sekali pun, saya harus
memperhatikan orang-orang hebat dengan kepribadian hebat seperti itu: dijadikan
direktur di tempat lain! Tapi ketika orang hebat itu tiba-tiba menjadi orang
yang frustrasi di saat menjalani ujian hidup, berarti ternyata dia belum
benar-benar hebat. Ingat: atasan yang baik adalah atasan yang pernah menjadi
bawahan yang baik!
Kini tim baru Garuda
Indonesia, dengan Dirutnya yang tetap Emirsyah Sattar, harus bisa membuat Garuda
terbang lebih tinggi. Garuda yang di Singapura kini sudah dipercaya menggunakan
Terminal 3 yang mewah, harus tetap kerja, kerja, kerja, dengan kreatif.
Tiga perusahaan
sekuritas tadi pun, yang sudah lebih setahun lamanya menderita, tidak terlalu galau
lagi. Saya yakin "Mbah Surip lokal" juga akan bisa menggendong Garuda
ke mana-mana.
*Dahlan Iskan,
Menteri Negara BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar