FASAL TENTANG ISRA' MI'RAJ (1)
Isra' Mi'raj, Beranjak dari
Kesedihan
Selasa, 22/05/2012 10:18
Kehadiran Rasulullah SAW mendakwahkan ajaran
Islam rupanya membuat orang-orang musyrik Makkah gerah. Rintangan dan teror
ditujukan kepada beliau dan para pengikutnya dari waktu ke waktu. Karena
kedengkian dan kejahatan mereka, orang-orang musyrik tak membiarkan Rasulullah
dan para pengikutnya hidup tenang.
Namun pada tahun kedelapan dari kenabian, Rasulullah SAW justru mendapatkan beberapa cobaan yang teramat berat. Ujian itu adalah embargo kaum kafir Quraisy dan sekutunya terhadap umat Islam. Aksi embargo ini masih dijalankan meskipun waktu telah memasuki bulan Haram. Artinya Nabi beserta para sahabatnya tetap merasakan penganiayaan dan kedhaliman dari mereka yang biasanya menghentikan segala aktivitas permusuhan terhadap lawan-lawannya.
Pada tahun ini pula dua orang kuat suku Qurays, yakni pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah dipanggil menghadap Sang Rabb. Mereka adalah dua orang yang selama ini mendampingi dan melindungi dakwah Nabi. Dengan demikian, pada waktu itu Nabi tiada lagi memiliki pembela yang cukup kuat di hadapan kaumnya sendiri yang memusuhi kebenaran.
Lengkaplah sudah penderitaan Nabi dan para pengikutnya. Dalam sejarah Islam tahun kedelapan dari kenabian ini disebut sebagai ’amul huzni, tahun kesedihan.
Untuk menurunkan sedikit tensi kesedihan dan ketegangan, Rasulullah kemudian mengijinkan para pengikutnya untuk berhijrah ke Thaif. Namun rupanya Bani Tsaqif yang menguasai tanah Thaif tidaklah memberikan sambutan hangat kepada para sahabatnya. Mereka yang datang meminta pertolongan justru diusir dan dihinakan sedemikian rupa. Mereka dilempari batu hingga harus kembali dengan kondisi berdarah-darah.
Keseluruhan cobaan berat ini dialami Rasulullah dan para sahabatnya pada tahun yang sama, yakni tahun kedelapan kenabian.
Atas cobaan yang teramat berat dan bertubi-tubi ini, maka Allah SWT kemudian memberikan “tiket perjalanan” isra’ mi’raj kepada Nabi untuk menyegarkan kembali ghirroh (semangat) perjuangannya dalam menegakkan misi agama Islam.
Isra’ Mi’raj ini sejatinya adalah sebuah pesan kepada seluruh umat Muhammad bahwa, segala macam cobaan yang seberat apa pun haruslah kita lihat sebagai sebuah permulaan dari akan dianugerahkannya sebuah kemuliaan kepada kita.
Dalam peristiwa itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad SAW dapat saja langsung menuju langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha terlebih dahulu, yang menjadi pusat peribadahan nabi-nabi sebelumnya.
Ini dapat berarti bahwa umat Islam tidak memiliki larangan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, sekalipun kepada golongan di luar Islam. Hal ini dikarenakan, Islam menghargai peraturan-peraturan sebelum Islam, seperti halnya khitan yang telah disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim AS.
Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
“Maha suci Allah yang memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda
(kebesaran) Kami. (QS. 17.Al-Isra’ :1)
Sebagian ahli tafsir mengatakan, Allah SWT dalam ayat di atas menyebutkan Muhammad SAW dengan kata “hamba” bukan “rasul” atau “nabi”. Bahwa yang dibawa dalam perjalanan isra’ mi’raj itu adalah seorang hamba, yang berarti seorang yang senantiasa menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT.
Ust. A. Khoirul Anam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar