Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter dalam Pemikiran KH Wahid Hasyim
Oleh Rangga Sa’adillah*
Bagi orang-orang yang selalu berkecimpung
dalam Kementerian Agama, pasti nama KH Abdul Wahid Hasyim sudah tidak lagi
asing di dengar. Dia merupakan Menteri Agama pertama saat Indonesia menganut
sistem pemerintahan Serikat (Republik Indonesia Serikat), sekaligus menjabat
sebagai Menteri Agama dalam tiga kabinet yakni Kabinet Hatta, Natsir, Sukiman
(1949-1952). Tahun-tahun tersebut merupakan pencarian jati diri bangsa
Indonesia dalam segala aspeknya termasuk bidang pendidikan agama. Pada saat itu
KH Abdul Wahid Hasyim tampil sebagai konseptor ulung pendidikan agama, dan
sampai kini pemikirannya masih relevan bahkan berusaha untuk dikembangkan.
Disini penulis mengungkap pemikiran pendidikan karakter KH Abdul Wahid Hasyim
berdasarkan dari hasil penelitian penulis.
Mengenal Wahid Hasyim
Abdul Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pemerintahan Hindia Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak. Abdul Wahid Hasyim berotak cerdas. Saat berusia 5 tahun, ia belajar membaca al-Qur’an pada ayahnya (Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari) di Madrasah Salafiah Tebuireng.
Mulai usia 13 tahun, ia berkelana di berbagai pondok pesantren seperti pesantren diantaranya adalah Panji, dan Liboyo. Namun saat dia mondok selalu dalam waktu yang singkat, dan berpindah-pindah. Dengan berpindah-pindah pondok hanya dalam hitungan hari itu, dia seperti hanya berkepentingan dengan keberkahan guru, dan bukan pada ilmunya.
Sepulang dari Lirboyo, KH Abdul Wahid Hasyim tidak meneruskan belajarnya di Pesantren lain, tetapi tinggal di rumah.
Tahun 1932 saat usianya 18 tahun, Wahid Hasyim dikirimkan ke Makkah. Disamping untuk menunaikan ibadah haji, juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ini ditemani oleh saudara sepupunya, Muchammad Ilyas. Di tanah suci Makkah, ia belajar selama dua tahun.
Sepulang dari Makkah, Wahid Hasyim mulai meniti karir sebagai seorang ulama, yakni menjadi staf pengajar di Tebuireng. Dia ditunjuk sebagai asisten ayahnya yang tugasnya adalah menjaga kesinambungan proses belajar mengajar, menjawab surat-surat yang berkaitan dengan fiqih yang ditujukan kepada ayahnya dan mendatangi pengajian atau ceramah. Dia juga mendirikan Madrasah Nizamiyah, sebuah prototype pesantren modern.
KH Abdul Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama tiga periode, yaitu dalam Kabinet Hatta (20 Desember 1949 - 6 Desember 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951), dan Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952), dia mengeluarkan tiga buah keputusan yang pada tahun-tahun selanjutnya mempengaruhi sistem Pendidikan di Indonesia. Dalam waktu enam bulan setelah menjabat Menteri Agama, dia mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di hampir setiap karesidenan, Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri (SGHAN) di Yogyakarta, Bukittinggi, Bandung dan Malang, serta mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) di Yogyakarta.
Pemikiran Pendidikan Karakter
Terdapat delapan nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim, yakni: Religius, Toleransi, Madiri, Demokratis, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Bersahabat/Komunikatif, Gemar Membaca.
Pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim menggunakan pendekatan penanaman nilai, sejalan dengan yang dijelaskan oleh Muslich, pendekatan penanaman nilai berusaha memberikan penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri anak didik. Seperti apa yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim yang berusaha memberikan teladan kepada anak didiknya. Strategi yang digunakan oleh KH Abdul Wahid Hasyim dalam menanamkan nilai pendidikan karakter adalah menggunakan strategi keteladanan nilai.
Dalam berbagai pemikirannya tentang Pendidikan KH Abdul Wahid Hasyim menanamkan nilai-nilai sosial seperti toleransi, demokratis, bersahabat/ komunikatif sebagai acuan dalam bertingkah laku dalam berinteraksi dengan sesama. Dengan nilai-nilai sosial yang diajarkan oleh KH Abdul Wahid Hasyim dia ingin menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya manusia adalah bersaudara satu sama lain. Nilai persaudaraan ini oleh KH Abdul Wahid Hasyim merupakan kunci bagaimana manusia harus berhubungan apakah itu kepada antar negara, atau kepada orang yang terdiri dari berbagai latar belakang bahkan pada orang yang berprofesi dibawahnya. Dia juga menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Disamping itu dia memberikan teladan agar belaku baik kepada siapa saja meskipun kepada anak buahnya. Shal ini diungkapkan oleh anaknya yang bernama Aisyah Hamid Baidlowi, KH Abdul Wahid Hasyim bila menyapa sopirnya dia memanggil dengan nama Bang Usman. Selain itu dalam hubungan sosial KH Abdul Wahid Hasyim menekankan sikap toleransi. Sikap toleransi ini merupakan sikap menghormati orang yang berkeyakinan (agama) tidak sama. Seperti yang ada dalam tulisannya untuk menyambut berdirinya Universitas Sumater Utara. Dia menghargai bahwa dalam pendirian Perguruan Tinggi Islam ada tenaga pengajar dan pelajarnya yang berlainan agama. Menghadapi kondisi tersebut dia menekankan sikap toleransi, bahkan dia memberikan apresiasi. Apa yang menjadi pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim tersebut tertuang dalam tujuan Pendidikan Karakter yang berusaha membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural.
KH Abdul Wahid Hasyim juga mengajarkan karakter berkewarganegaraan. Dalam karakter berkewarganegaraan dia menekankan nilai-nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan nilai tersebut, bagi KH Abdul Wahid Hasyim merupakan cara untuk memajukan bangsa. Untuk menempatkan karakter cinta tanah air, dia menanamkan karakter yang paling ringan yakni cinta terhadap bahasa. Sehingga KH Abdul Wahid Hasyim berkesimpulan kemajuan bahasa adalah kemajuan bangsa. Bagaimana tidak, dia mencontohkan Hitler dan Chamberlain ketika bernegoisasi menggunakan bahasa negara mereka masing-masing meskipun keduanya sama-sama menguasai bahasa lawannya. Dengan mencintai bahasa merupakan bukti kita mencintai tanah air kita. Semangat kebangsaan dia tunjukkan tatkala mengedepankan kepentingan bangsa dari pada pendapat pribadinya dalam sidang BPUPKI. Dia menyetujui untuk mengamandemen tujuh kata yang diperdebatkan dalam sidang tersebut. Kata yang diamandemen tersebut adalah “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Apa yang menjadi pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim ini juga terdapat dalam rumusan tujuan Pendidikan Karakter pada poin membangun sikap warganegara yang mencintai damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
Selain karakter sosial dan berkewarganegaraan KH Abdul Wahid Hasyim juga mengajarkan karakter pengembangan diri. Karakter tersebut adalah mandiri, dan gemar membaca. Dengan karakter mandiri bagi KH Abdul Wahid Hasyim anak didik mampu menghadapi pekerjaan yang sulit pada akhirnya tidak mudah minta bantuan terhadap orang lain. Mengenai karakter gemar membaca merupakan wujud dari karakter cinta pada ilmu pengetahuan. Penanaman karakter ini dia contohkan ketika menjadi Kepala Madrasah Nizamiyah. Dia membangun perpustakaan dan berlangganan surat kabar dari berbagai terbitan. Mengenai nilai karakter pengembangan diri tersebut relevan dengan apa yang menjadi tujuan Pendidikan Karakter membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mempu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan ummat manusia, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik.
Nilai karakter terakhir yang ditanamkan oleh KH Abdul Wahid Hasyim adalah religius. Nilai religius ini merupakan nilai yang menjadi landasannya dalam bersikap. Dalam berbagai tulisan dan pemikirannya, KH Abdul Wahid Hasyim selalu mengkaitkan dengan keagamaan (Islam). Posisinya sebagai ulama mempertegasnya nilai karakter religius tersebut. Nilai ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Sudrajat bahwa Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekat, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.
*Penulis adalah Praktisi Pendidikan di SMK NU Mambaul Ulum Modo Lamongan, Pengurus Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar