Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
EFEKTIVITAS pemerintahan sekarang ini terus
menurun, sebagai akibat dari semakin banyaknya kepala daerah yang bermasalah
dengan hukum. Kalau selama ini hanya fokus pada penguatan koalisi partai
politik pendukung pemerintah, sudah waktunya pula Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) mengonsolidasi pemerintahannya hingga ke level pemerintah
daerah.
Secara keseluruhan, bisa ditegaskan bahwa
birokrasi pemerintah belum efektif, belum efisien dan belum sepenuhnya bebas
dari konflik kepentingan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sudah di atas Rp 1.200 trilyun, tetapi pemerintah belum mampu memaksimalkan
pembangunan infrastruktur. Ini bukti birokrasi yang belum efektif. Jumlah kasus
korupsi terus bertambah, melibatkan begitu banyak kepala daerah. Ini bukti
tentang birokrasi yang belum efisien dan belum bebas dari konflik
kepentingan.
Gangguan terhadap ketenteraman dan ketertiban
umum, yang ditandai oleh tingginya intensitas konflik antarkelompok masyarakat,
konflik agraria, dan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang masif, pun
mencerminkan rendahnya efektivitas pemerintahan. Contoh paling sederhana,
melanggar peraturan lalu lintas di Jakarta kini sudah menjadi hal yang dianggap
lumrah. Tidak ada lagi rasa malu saat seseorang melakukan pelanggaran, dan
tidak ada yang peduli.
Sulit bagi siapa saja untuk percaya kalau ada
yang mengklaim efektivitas pemerintahan sekarang ini masih terjaga. Telah
mengemuka sejumlah indikator yang menunjukan efektivitas pemerintahan terus
menurun. Jumlah pejabat pemerintah yang terjerat masalah hukum tampak
terus bertambah. Kualitas pelayanan publik masih jauh dari memuaskan.
Pengelolaan anggaran pembangunan pun masih jauh dari memuaskan, sehingga
pembangunan infrastruktur tidak mencatat progres yang signifikan.
Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak 2004
hingga 2012, tidak kurang dari 173 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Jumlah
ini meningkat jika dibandingkan data Januari 2011, yang menyebutkan 155 kepala
daerah tersangkut masalah hukum. Data tahun 2011 itu juga menyebutkan 17
di antaranya adalah gubernur. Sebagian besar terkait dengan kasus korupsi.
Sekitar 70 persen di antaranya divonis bersalah dan diberhentikan dari
jabatannya.
Persoalan yang sedang dihadapi Gubernur Riau
HM Rusli Zainal terkait kasus gratifikasi proyek Pekan Olahraga Nasional (PON)
menambah panjang daftar gubernur bermasalah. Atas permintaan KPK, Rusli Zainal
sudah dicekal. Mengacu pada fakta bahwa ada 33 provinsi, berarti lebih separuh
dari jumlah gubernur di negara ini bermasalah dengan hukum.
Jumlah kepala daerah yang bermasalah dengan
hukum bisa bertambah jika penegak hukum mendalami temuan Pusat Pelaporan dan
Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Sebab, PPATK menemukan 2.300 rekening
bermasalah milik kepala daerah. Sebagian rekening bermasalah itu dibuat atas
nama istri, anak-anak dan kerabat keluarga.
Kesimpulan seperti apa yang segera bisa
dibuat jika belasan gubernur dan lebih dari seratus bupati/walikota tidak
bisa mencurahkan seluruh perhatian dan konsentrasinya terhadap fungsi dan tugas
utamanya sebagai kepala daerah, karena harus berusaha maksimal lolos dari jerat
hukum? Secara personal, penyelesaian masalah hukum sudah pasti
lebih penting, sebab menyangkut martabat, nama baik seluruh keluarga serta
kerabat, dan masa depan karier politik. Karena itu, bisa dipastikan
sebagian besar energi dan konsentrasi akan dialihkan untuk mengatasi persoalan
hukum yang sedang dihadapi.
Bupati atau walikota bersangkutan pasti
mengaku roda administrasi pemerintahannya masih berjalan dengan baik. Benar
kalau yang dimaksud adalah pelaksanaan tugas-tugas rutin bawahannya. Tetapi,
bisa dipastikan bahwa untuk masalah-masalah yang bersifat strategis dan
prinsipil. prosesnya pasti tidak mulus karena tetap saja memerlukan
pertimbangan dan pemikiran dari seorang gubernur, walikota atau bupati. Proses
pengambilan keputusan pun menjadi sangat lamban, bisa saja maju-mundur.
Minim Kepedulian
Presiden SBY pernah mengecam seluruh aparatur
pemerintahannya ketika terjadi gangguan serius pada distribusi bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi, khususnya bensin premium. Itulah bukti
pemerintahan tidak efektif, karena tidak bisa segera merespons masalah faktual
yang sedang dihadapi masyarakat. Bukan hanya tidakk efektif, melainkan
pemerintah juga terkesan tidak sensitif. Pada beberapa kasus, muncul kesan
kalau pemerintah menempatkan persoalan publik sebagai tanggungjawab masyarakat,
sekali pun persoalan-persoalan itu muncul akibat kebijakan atau perubahan
regulasi buatan pemerintah.
Bahkan, karena ego sektoral masih begitu
kuat, koordinasi antarinstansi menjadi tidak mudah, yang tidak jarang
mengakibatkan persoalan terus tereskalasi. Contoh kasus paling mencolok adalah
rangkaian ledakan kompor gas, distribusi minyak tanah, juga pupuk dan
benih padi. Dalam kasus ledakan kompor gas, pemerintah seperti kebingungan.
Selain responsnya sangat lamban, bahkan terjadi saling lempar tanggungjawab
antarinstansi.
Selain lamban, gambaran lain dari rendahnya
efektivitas pemerintahan adalah kepedulian kepala daerah terhadap persoalan
infrastruktur di daerahnya yang relatif minim. Dalam beberapa tahun terakhir,
masyarakat sering mengeluhkan kerusakan parah sejumlah ruas jalan di banyak
daerah, bahkan termasuk di beberapa wilayah perkotaan. Walaupun keluh kesah
publik sudah dikemukakan secara terbuka dan berulang-ulang, perbaikan jalan tak
kunjung dikerjakan.
Sejumlah program untuk mengatasi masalah
kemiskinan juga belum mencapai hasil maksimal karena koordinasi antarinstansi
di tingkat pusat maupun koordinasi pusat dengan daerah, belum efektif. Seorang
ilmuwan LIPI pernah mensinyalir bahwa program Bantuan Langsung Tunai
(BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), distribusi beras rakyat miskin
(Raskin) dan PNPM tidak secara nyata terserap oleh masyarakat kurang
mampu.
Program-program ini relatif ideal, namun
masalahnya pada pelaksanaan. Terjadi tumpang tindih karena baik
masing-masing kementerian maupun Pemerintah daerah punya agenda sendiri-sendiri
dalam mengurangi penduduk miskin. Program PNPM, misalnya, tidak berdampak
langsung bagi masyarakat miskin karena alokasi dana sebagian besar untuk
pembangunan fisik. Sebab, masyarakat yang tergolong lebih mampu punya
kesempatan lebih besar dalam menjalankan pembangunan fisik seperti jalan atau
jembatan.
Rendahnya efektivitas pemerintahan saat ini
merupakan akumulasi dari berbagai persoalan; dari persoalan disharmoni
kebijakan pusat-daerah, buruknya koordinasi serta melemahnya fungsi dan peran
kepala daerah karena sangat banyak yang terjerat masalah hukum. Kalau lebih
dari 150 kepala daerah dipusingkan oleh persoalan hukum yang menjerat mereka,
omong kosong kalau pemerintahan mereka dikatakan tetap efektif.
Karena itu, Presiden SBY perlu mengonsolidasi
pemerintahannya. Tentu saja tidak hanya di tingkat pusat. Konsolidasi
pemerintahan daerah tampaknya perlu diprioritaskan. Diyakini bahwa upaya
presiden untuk menguatkan dan memaksimalkan peran pemerintah daerah selalu
dilakukan presiden dalam sejumlah rapat kerja pemerintah berskala nasional.
Namun, tidak perlu untuk menutup mata bahwa apa yang disepakati dalam rapat
kerja pemerintah itu belum dilaksanakan secara maksimal dan konsisten.
Akhir-akhir ini, publik menyimak bahwa
presiden cukup sibuk mengonsolidasi koalisi partai politik (Parpol) pendukung
pemerintah. Mudah-mudahan, penguatan koalisi Parpol itu bisa memberi nilai
tambah bagi peningkatan efektivitas pemerintahan saat ini. Tentu saja
publik juga berharap presiden tidak lupa mengonsolidasi pemerintahannya.
Konsolidasi itu hendaknya dimulai dari kantor
presiden. Para pembantu presiden harus sigap menyikapi setiap masalah yang
berkembang di ruang publik. Selain menyikapi masalah, kantor presiden pun harus
mau berkomunikasi dengan daerah untuk membahas sekaligus mendapatkan informasi
terkini atas masalah atau peristiwa terkini. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar