Awalnya adalah Mengamati
yang Tampak
Oleh: Djamhur Effendi
Perkembangan konsep alam semesta telah lahir
sejak adanya peradaban manusia. Secara fitrah manusia ingin tahu lebih banyak
dan juga ingin mendapatkan kejelasan tentang bagaimana hakikat atas segala
sesuatu yang dilihatnya. Bagaimana manusia mengenal lingkungan tempat
tinggalnya kemudian beranjak tentang bentuk bumi dan hubungannya dengan
“langit” sesuai yang dilihatnya.
Memperhatikan berbagai objek dan gejala di
langit adalah kegiatan yang sudah dimulai sejak peradaban yang paling kuno
sekalipun. Hal ini mendorong aktivitas pengamatan dan mencatatnya sebagai hasil
pengamatan (data). Data itu diinterpretasikan dan digunakan oleh peradaban
manusia dari masa ke masa, dari bangsa ke bangsa.
Namun, objek-objek dan gejala yang dilihat
adalah yang itu-itu juga, kesannya bisa berbeda, padahal kebenaran ilmiah
adalah tunggal. Berbagai pendapat menyimpulkan, mulai konsep bumi datar,
berbentuk silinder, dan akhirnya diketahui Bumi bulat atau pepat di kedua
kutubnya.
Pengetahuan mengenai planet juga sudah
disadari ribuan tahun yang lalu. Seperti planet Mars yang dikenal sebagai
Doshiri (Mesir) jauh sebelum abad 6 SM, bahkan tentang gerak mundur atau
retrograde-nya. Pengetahuan bahwa Matahari-Bumi-Bulan dan planet-planet merupakan
suatu keluarga telah di kemukakan sejak abad 3 SM, termasuk pendapat
heliosentris oleh Aristarchus.
Kendatipun demikian, penelitian Tata Surya
secara sistematis oleh Nicolaus Copernicus pada tahun 1510 M dapat dikatakan
sebagai tonggak sejarahnya. Kemajuan penelitian Tata Surya selanjutnya
dipelopori oleh misalnya Tycho Brahe, Johan Kepler (dikenal dengan hukum
peredarannya), Galileo Galilei (teleskop), Christian Huygens, Gian Domenico
Cassini (perumus gaya tarik menarik antar benda langit atau gravitasi, serta
penemu cincin Saturnus).
Lalu ada William Gilbert (ada gaya yang
mengatur pergerakan benda langit), Edmund Halley (pendataan Komet dan
pengenalan sifatnya), Sir Isaac Newton (gravitasi Universal), Herschel
(Uranus), Leverrier-Adams (Neptunus), Percival- Tombaugh (Pluto), Piazzi (Asteroid),
dan banyak lagi.
Pendayagunaan gerak rutin Matahari dan Bulan
dilangit untuk membuat sistem pencatat waktu, dalam skala waktu panjang berlaku
di negeri Mesir kuno, dari Aleksandria ke Babilonia, Aremenia, Yunani, Romawi,
Arab, Bagdad dan Eropa.
Planet dalam Tata Surya dalam pengembaraannya
mempunyai kondisi sendiri sendiri. Planet Bumi berotasi sehingga menimbulkan
fenomena siang malam, ada fajar, ada senja bagi manusia penghuni bumi. Malam
untuk beristirahat dan siang untuk bekerja. Siang malam membentuk pola kerja
manusia dan makhluk lainnya di planet bumi.
Peredaran bumi mengelilingi Matahari dan
posisi sumbu rotasi Bumi yang miring 23.5 derajat terhadap sumbu ekliptika
membuat dinamika musim. Ada musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim
semi; musim kemarau dan musim penghujan.
Dengan mengetahui saat-saat musim
berlangsung, para petani bisa bercocok tanam. Apabila planet Bumi mencapai
sebuah titik tertentu pada orbitnya saat ini dan misalkan suatu tempat di
belahan Bumi selatan sedang berada pada musim panas, maka 13 000 tahun
kemudian, saat planet Bumi mencapai titik itu, akan berada pada musim dingin.
Pernahkah kita membayangkan pada setiap
sekitar 13 000 tahun sekali, pola musim akan berubah? Selain siklus periodik
tahunan Matahari, kenyataan lainnya adalah Bumi tidak berbentuk bola sempurna.
Terdapat puntiran (torque) oleh gaya tarik Bulan dan Matahari serta planet
dalam Tata Surya.
Sebagai akibatnya Bumi dipuntir seperti
gasing (panggal) sehingga sumbu Bumi perlahan berpresesi mengelilingi kutub
ekliptika. Sumbu Bumi berpresesi beredar mengitari kutub ekliptika dengan pola
perioda 26 000 tahun sekali edar.
Adanya gerak presesi Bumi telah dikenal sejak
zaman Hipparchus ( 146-127 SM) dan Ptolemy sekitar 2M. Namun, beberapa penelitian
meragukan bahwa angka yang dipergunakan Hipparchus bukan hasil pengamatannya
sendiri melainkan meminjam dari hasil astronom Babilonia.
Teori presesi diawali oleh astronom dan
matematikawan dari Mesopotamia, Thabit ibn Qurra (826-901 M), seorang astronom
muslim kebangsaan Arab yang pernah tinggal di Kairo, Ibn Yunus (940-1009)
menemukan harga presesi 1 derajat per 70 tahun, mendekati harga yang diperoleh
dalam astronomi modern. (*)
*) Djamhur Effendi adalah Staf Biro Litbang
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Pusat, Purnakarya LAPAN Bandung, Dosen
UNPAD dan UNISBA. Makalah disampaikan dalam Diklat Nasional Pelaksana Rukyat
Nahdatul Ulama, Masjid Agung Jawa Tengah, 19 Desember 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar