Hari-hari Hamil Tua
di Pabrik Gula
Senin, 7 Mei 2012,
06:56 WIB
Dahlan Iskan, Menneg
BUMN
Hari-hari ini situasi
pabrik gula kita seperti menghadapi istri yang lagi hamil tua. Musim giling
sudah di depan mata. Pertaruhan sedang dibuat: apakah pabrik gula kita masih
akan kembali melahirkan bayi yang cacat?
Tahun lalu dari 52
pabrik gula milik BUMN tinggal 20 yang masih baik. Yang 22 dalam keadaan jelek
dan jelek sekali. Ada pengamat yang bilang payahnya pabrik gula kita karena
mesin-mesinnya yang sudah tua. Pengamat lain mengatakan kondisi payah itu
karena manajemennya yang buruk. Ada juga yang bilang penyebabnya adalah tata
tanam tebu yang kian sembarangan.
Juga, karena harga
gula kita yang terlalu murah sehingga petani tebu kurang terangsang untuk maju.
Di masa lalu harga gula itu selalu tiga kali lipat lebih mahal dari harga
beras. Sekarang harganya hampir sama: padahal menanam padi hanya perlu waktu
tiga bulan, sedang menanam tebu memerlukan masa 16 bulan.
Banyak juga yang
menyorot payahnya pabrik gula kita karena budaya korupsi yang sudah mengakar
dan menggurita.
Yang manakah penyebab
sesungguhnya? Dari acara bahtsul masail gula di Surabaya tiga bulan lalu
(dilanjutkan dengan pertemuan Banaran sebulan kemudian) diketahuilah bahwa
penyebab yang benar adalah: ya semua itu tadi dijadikan satu.
Karena itu langkah
perbaikannya tidak hanya menggunakan satu jurus. Untuk pabrik-pabrik yang tua
telah dilakukan perbaikan dan perawatan yang lebih khusus dari biasanya.
Jalur-jalur pipa yang ruwet yang membuat boros uap sudah dibetulkan.
Ketel-ketel yang tidak efisien diperbaiki. Mesin-mesin itu memang masih tetap
tua, tapi mesin tua yang dirawat dan yang tidak dirawat tidak akan sama.
Lihatlah Widyawati! Atau Ayu Azhari!
Di samping itu,
penentuan dimulainya musim giling pun kini disepakati tanggalnya. Tidak lagi
masing-masing pabrik gula "mencuri start". Di masa lalu pabrik gula
berebut mulai giling lebih awal dengan maksud agar bisa menyedot tebu dari
wilayah pabrik gula yang lain. Akibatnya ada pabrik gula yang tidak kebagian
tebu.
Sedot-menyedot tebu
inilah yang membuat lalu-lintas tebu kacau sekali. Tebu dari wilayah barat lari
ke pabrik gula yang di timur. Tebu timur lari ke barat. Akibatnya, pabrik gula
tidak perlu punya program membantu petani sekitarnya untuk menanam tebu yang
lebih baik. Sedot saja tebu dari wilayah yang jauh.
Caranya: memberi
subsidi biaya angkut jarak jauh. Korupsi pun terbuka. Tebu dari wilayah sekitar
dibukukan dari jauh agar ada biaya subsidi angkut.
Akhirnya bisnis
angkutan tebu bisa lebih menarik dari bisnis tebu itu sendiri.
Memang ada juga tebu
yang lari ke pabrik yang jauh dengan alasan yang rasional: pabrik yang jauh itu
bisa memberikan hasil rendemen yang lebih tinggi. Ini bisa diterima akal. Namun
harusnya hal itu menjadi bahan koreksi bagi pabrik yang tidak mampu
menghasilkan rendemen yang tinggi.
Karena itu di samping
menyepakati tanggal dimulainya giling, saya juga membuat keputusan yang lebih
mendasar: berikan jaminan rendemen minimal. Masing-masing pabrik gula harus
memberikan jaminan kepada petani tebu di sekitarnya: berapa rendemen terendah.
Dengan jaminan
rendemen minimal itu tidak akan ada lagi petani yang merasa ditipu pabrik.
Rendahnya rendemen yang diakibatkan ketidakefisienan sebuah pabrik gula tidak
lagi dibebankan kepada petani tebu. Di mana dosa petani tebu kalau rendemen
rendah itu akibat mesin ketel yang tidak efisien? Bukankah itu sepenuhnya dosa
pabrik? Mengapa petani tebu harus ikut menanggung?
Kalau yang demikian
tidak diatasi, manajemen pabrik akan terus saja sembrono. Tapi dengan
diberlakukannya jaminan rendemen minimal, mau tidak mau manajemen pabrik gula
akan lebih disiplin. Kalau tidak pabriknya akan rugi karena uangnya habis untuk
membayar jaminan rendemen minimal.
Tentu jaminan
rendemen minimal itu tidak boleh berdampak buruk. Misalnya membuat petani
menanam tebu secara sembarangan. Toh sudah dijamin rendemennya tidak rendah.
Memang hal itu mungkin saja terjadi. Tapi manajemen pabrik tidak akan bodoh.
Pabrik akan lebih rajin melakukan tes.
Tebu yang akan
ditebang akan dites dulu untuk melihat rendemennya. Kini sudah ada alat yang
sederhana yang bisa dipakai pabrik untuk melihat rendemen tebu yang akan
ditebang.
Rendemen memang
persoalan sentral. Tebu yang ditanam tanpa mengikuti standar penanaman tebu
yang baik tidak akan bisa menghasilkan gula dengan rendemen yang tinggi. Ini
sesuai dengan prinsip bahwa gula itu bukan dibuat di pabrik gula, melainkan
dibuat di ladang tebu.
Sebaliknya, jangan
sampai terjadi, tebu yang baik tidak menghasilkan rendemen yang tinggi
gara-gara pabriknya tidak efisien. Dengan kata lain sikap fair dari pabrik gula
sangat diperlukan oleh petani tebu. Termasuk jangan sampai terjadi tebang
pilih.
Jangan sampai
manajemen pabrik sengaja memilih kebun-kebun milik kerabatnya untuk ditebang
pada puncak pembentukan rendemen gula. Sedang milik petani yang tidak punya
koneksi ditebang agak awal (saat kadar gula dalam tebu belum tinggi) atau
ditebang agak akhir (ketika kadar gula dalam tebu mulai menurun).
Karena itu manajemen
pabrik yang disiplin, teliti, fair, dan jujur menjadi andalan untuk memupuk
kepercayaan petani tebu kepada pabrik gula. Para direksi PTPN yang membawahkan
pabrik gula sudah melakukan pembenahan personalia di pabrik gula. Jajaran
manajemen PG sekarang ini sudah siap menghadapi musim giling dengan sikap yang
baru: berlaku fair kepada petani.
Yang tidak mengikuti
kebijakan baru ini akan terkena sanksi.
Direksi PTPN kini
sudah diberi keleluasaan untuk memilih personil yang terbaik untuk memimpin pabrik
gula. Tidak lagi terbelenggu oleh aturan lama bahwa untuk memimpin pabrik gula
harus sudah pernah menjabat jabatan-jabatan tertentu di berbagai bidang dan
jenjang. Akibat aturan itu seorang kepala pabrik biasanya sudah pada umur yang
produktivitasnya menurun. Padahal pabrik gula perlu dipimpin oleh generasi yang
lebih muda yang masih bisa tidak tidur dua hari dua malam.
Ternyata, setelah
saya cek, peraturan tersebut hanyalah peraturan direksi. Karena itu saya minta
peraturan tersebut diubah. Dengan demikian kini direksi bisa lebih banyak
pilihan untuk mengangkat seorang kepala pabrik (disebut Adm). Tenaga-tenaga
yang potensial di PTPN tidak lagi terlalu lama antre yang ketika antrean sudah
dekat usianya sudah terlalu tua.
Keputusan mendasar
lainnya adalah: pabrik gula harus memberikan dana talangan kepada petani tebu.
Selama ini petani baru menerima uang hasil giling tebunya tiga minggu kemudian.
Padahal petani-petani non tebu selalu bisa meneima uang begitu hasil panennya
diserahkan ke pembeli. Akibatnya petani tebu selalu mencari uang ke pedagang
gula dengan segala konsekwensinya.
Dengan
keputusan-keputusan baru yang mendasar itu barangkali pabrik-pabrik gula memang
akan lebih berat tahun ini, tapi akan berdampak baik tahun depan: petani
memperbaiki kebunnya, mereka mulai percaya kembali kepada pabrik gula, dan
manajemen pabrik gula kian profesional.
Tentu di musim giling
yang segera tiba ini, kebijakan baru itu segera diuji di lapangan. Tapi saya
percaya dengan tekad baru seluruh jajaran manajemen pabrik gula saat ini
perbaikan yang mendasar itu akan berhasil.
Tahun depan kita
kerja, kerja, kerja lebih keras lagi demi Indonesia. []
*Menneg BUMN Dahlan
Iskan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar