Justice
Collaborator
Bambang
Soesatyo
Anggota
Komisi III DPR RI
NILAI heroik
dari keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlebar penanganan kasus
suap Wisma Atlet dan kasus Hambalang meredup begitu saja ketika dimunculkan
wacana justice collaborator kepada seorang tersangka. Syukurlah hal itu segera
dibantah oleh KPK.
Butuh
keberanian ekstra untuk mengubah status seorang politisi menjadi tersangka
kasus korupsi. Apalagi jika sang politisi diketahui dekat dengan pusat
kekuasaan. Bukan hanya tarik menarik kepentingan, tetapi tidak jarang diwarnai
adu kekuatan, saling ancam serta saling menyandera. Karena itu, ketika pimpinan
KPK mengumumkan status tersangka atas Angelina Sondakh dalam kasus suap proyek
Wisma Atlet, tindakan itu dinilai berbagai kalangan sebagai sangat heroik. Bisa
dimaklumi jika penilaian seperti itu mengemuka, karena kinerja dan keberanian
institusi penegak hukum sering menimbulkan keraguan publik.
Diyakini
bahwa kepemimpinan KPK periode sekarang tidak bisa disandera karena bersih,
serta integritas mereka siap diuji. Dan, ketika surat penahanan Angelina
ditandatangani, integritas KPK memang sudah teruji. Bukti bahwa KPK
berani untuk tidak mau mundur, sekali pun hanya satu langkah. Publik pun
menangkap kesan bahwa KPK sedang dan terus mengasah pisau hukum.
Dalam
konteks pemberantasan korupsi, semua orang paham bahwa KPK memang memiliki
kewenangan sangat besar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, besarnya
kapasitas kewenangan itu tidak dimanfaatkan. Menyikapi kasus besar yang menjadi
perhatian publik, KPK lebih banyak berwacana daripada bertindak. Bahkan,
sempat muncul kesan KPK menjadi kompromistis ketika harus menyentuh kasus korupsi
yang diduga melibatkan orang-orang kuat di negara ini. Semangat kompromi KPK
itu tampak begitu telanjang ketika menyikapi skandal Bank Century atau mafia
pajak. Akibat kecenderungan itu, pesimisme terhadap pemberantasan korupsi
sempat meluas. Bahkan KPK dituduh ikut-ikutan mempraktikan tebang pilih.
Oleh
karena itu, posisi dan sikap KPK dalam menangani persoalan hukum yang dihadapi
Angelina Sondakh plus sejumlah nama lain patut dipahami sebagai upaya
mengaktualisasi kewenangan besar yang melekat pada KPK. Bahkan layak juga
disebut sebagai upaya merevitalisasi kewenangan besar KPK. Agar revitalisasi
itu mencapai tujuan utamanya, tentu saja semua orang KPK harus tegar. Sebab,
tantangannya sangat berat ditengah praktik korupsi yang makin marak sekarang ini.
Bukan hanya godaan berupa ajakan mengomersialisasikan jabatan atau melanggar
etika, tetapi juga dihantui ancaman dan jebakan yang direkayasa. Kepemimpinan
KPK periode sekarang harus mengambil hikmah dari pengalaman buruk yang dialami
pendahulu mereka.
Sudah
terbukti bahwa upaya KPK merevitalisasi kewenangan besarnya mendapatkan
apresiasi dari seluruh elemen masyarakat; minus komunitas koruptor tentu saja.
Apresiasi dan dukungan publik menjadi modal dasar yang tak ternilai. Sudah lama
rakyat menderita akibat tirani koruptor. KPK dihadirkan untuk meruntuhkan
tirani itu. Oleh karena itu, independensi KPK menjadi faktor kunci yang
menentukan kuat-lemahnya KPK. Fakta bahwa sumbu korupsi itu ada dalam birokrasi
kekuasaan. Karena itu, sangat penting bagi KPK untuk berani menjaga jarak
dengan birokrasi kekuasaan yang sarat koruptor itu. Sebab, hanya birokrasi
kekuasaan yang bisa melemahkan KPK, bukan unsur lain.
Oleh
karena itu, banyak kalangan terkejut ketika KPK menawarkan justice
collaborator kepada tersangka Angelina Sondakh. Terkejut karena tawaran itu
benar-benar bertolakbelakang dengan asumsi maupun persepsi publik. Bisa
dimaklumi jika tawaran KPK itu ditentang oleh sebagian besar pemerhati. Kajian
atau analisis hukum para ahli terhadap konsekuensi hukum yang kemungkinan
dihadapi Angelina memang sudah terlanjur jauh. Sebab , karena para ahli mengacu
pada sejumlah kesaksian di persidangan kasus Wisma Atlet, baik keterangan
terdakwa Muhammad Nazaruddin maupun penuturan sejumlah saksi.
Akal-akalan?
Dari
persidangan kasus Wisma Atlet, baik terdakwa maupun sejumlah saksi sudah
memberi gambaran sangat jelas tentang sumber dana, dan juga perihal aliran
dana, baik yang diterima individu maupun kelompok. Juga dari persidangan
kasus yang sama, dimunculkan indikasi tentang praktik pencucian uang.
Pihak-pihak yang terlibat maupun diduga terlibat telah menjadikan sebuah unit
usaha sebagai sarana mengumpulkan uang jasa (fee) proyek, sebelum dibagikan
atau dialirkan ke pihak lain.
Dengan
konstruksi kasus seperti itu, para ahli berpendapat bahwa KPK bisa menggunakan
UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat
pihak-pihak yang terlibat. Bahkan, dengan menggunakan UU TPPU sebagai pintu
masuk, KPK bisa menelusuri ketidakwajaran sumber-sumber kekayaan tersangka atau
pihak-pihak yang sudah diduga menerima aliran dana dari kasus Wisma Atlet
maupun Hambalang. Artinya, publik ingin agar dirumuskan dakwaan maksimal
terhadap semua pihak yang terlibat. Dakwaan maksimal perlu agar tumbuh efek
jera.
Maka,
tawaran justice collaborator memang tidak terlihat urgensinya karena indikasi
keterlibatan sejumlah nama dalam kasus Wisma Atlet sudah terungkap. Untuk
mendapatkan bukti-bukti yang lebih kuat, para penyidik KPK hanya perlu bekerja
lebih keras lagi. Mengapa, misalnya, KPK tidak menelusuri nama pemilik nomor
telepon seluler yang berkomunikasi dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang?
Sebab, bukankah pemilik nomor telepon harus mendaftarkan identitasnya pada
operator telepon seluler? Artinya, untuk mendapatkan bukti-bukti yang lebih
kuat, masih terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh penyidik KPK untuk
menggugurkan tawaran justice collaborator itu.
Sudah
muncul kekhawatiran tentang adanya motif tertentu dibalik tawaran justice
collaborator itu. Ada upaya merancang mekanisme ini dengan target
meringankan dakwaan. Bukan tidak mungkin dari konstruksi dakwaan menerima suap
berubah menjadi kasus gratifikasi. Artinya, tawaran justice collaborator itu
tak lebih dari akal-akalan untuk mengakomodasi kepentingan pihak tertentu yang
sangat mengharapkan agar penerima tawaran justice collaborator tidak mengungkap
keterlibatan mereka. Imbalannya, si justice collaborator akan diajukan ke
Pengadilan Tipikor dengan dakwaan yang ringan.
Kalau
hal itu yang terjadi, berarti predator proses hukum justru ada di dalam tubuh
penegak hukum itu sendiri. Fakta dan pengalaman membuktikan bahwa rekayasa
dakwaan untuk menguntungkan posisi terdakwa pun bisa terjadi di pengadilan
tipikor. Karena itu, pimpinan KPK harus mewaspadai kemungkinan itu.
Kalau
pun tawaran justice collaborator itu akan direalisasikan, segala sesuatunya
harus transparan. Sebab, kasus ini sudah menjadi perhatian publik. Publik harus
tahu apa yang menjadi target KPK dari seorang justice collaborator itu. Harus
ada kesediaan KPK dan justice collaborator untuk berbicara kepada publik.
Artinya, kalau KPK menargetkan justice collaborator menyebut keterlibatan nama
lain, justice collaborator bersama KPK harus menyebut atau mengumumkannya di
ruang publik, tidak cukup sekadar di ruang pemeriksaan.
Pun
bukan sekadar nama warga sipil biasa , apalagi hanya supir pribadi. Target KPK
dari justice collaborator harus besar dan strategis agar setara dengan
keringanan dakwaan terhadap justice collaborator. Kalau kesaksian justice
collaborator tidak setara atau sekadar menyebut nama seseorang berstatus
pembantu, tawaran justice collaborator harus digugurkan. Sebab, bagaimana
pun, KPK tidak boleh kompromistis terhadap tersangka koruptor. []
Sent
from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar