Rabu, 09 Mei 2012

BamSoet: Menjaga KPK dari Serangan Predator

Menjaga KPK dari Serangan Predator



Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI



KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menumbuhkan optimisme baru di bidang penegakan hukum, karena telah menjadikan pisau hukum kembali terasa tajam. Namun, KPK tetap harus waspada karena akan selalu ada predator yang berupaya menumpulkan pisau hukum.



Agar pisau hukum tidak tumpul lagi, proses hukum beberapa kasus besar yang sedang dilaksanakan KPK harus dikawal oleh seluruh elemen masyarakat. Penanganan beberapa kasus besar oleh KPKP sudah mencatat progres  yang cukup meyakinkan, walaupun belum final. Karena itu, pengawalan oleh publik menjadi sangat penting untuk mempersempit ruang gerak predator.



Pengawalan publik tidak dalam arti mengintervensi kerja KPK. Publik hanya mengawasi, mengikuti dan ikut mewaspadai berbagai kemungkinan yang ingin memperlemah KPK. Mengacu pada progres penanganan kasus suap Wisma  Atlet dan kasus Hambalang, publik memang bisa berkesimpulan bahwa daya tahan KPK sudah cukup teruji. Ketangguhan KPK itu layak diapresiasi. Kalau daya tahan KPK lemah, sudah pasti tidak ada progres dalam penanganan dua kasus itu. Jangan lupa, dua kasus itu diduga melibatkan sejumlah orang penting yang tidak jauh dari pusat kekuasaan. Sehingga, progres sekecil apa pun sangat berarti, setidaknya bagi citra penegakan hukum di mata rakyat.



Melanjutkan penanganan kasus suap Wisma Atlet dan kasus Hambalang, KPK telah memeriksa istri seorang ketua umum partai politik dan seorang anggota DPR yang juga petinggi partai berkuasa. Pemeriksaan anggota DPR itu berujung pada penahanan. Inilah progres itu. Relatif sederhana, namun bermakna sangat strategis. Progres ini secara tidak langsung menjawab keragu-raguan masyarakat selama beberapa bulan terakhir ini. Masyarakat sempat menilai KPK tidak akan bisa melangkah lebih jauh dalam menangani kedua kasus itu.



Asumsi ini terus berkembang di ruang publik sebagai konsekuensi dari isu keretakan di level pimpinan KPK.  Sedangkan masyarakat sudah terlanjur menjadikan kasus suap Wisma Atlet dan Kasus Hambalang sebagai salah satu barometer untuk mengukur independensi dan keberanian KPK dalam memberantas korupsi. Selain dua kasus itu, masyarakat menunggu dan masih ingin melihat progres penanganan kasus Bank Century. Jika saja proses hukum kasus suap Wisma Atlet dan kasus Hambalang terhenti pada Muhammad Nazaruddin, pesimisme akan meluas karena rakyat akan melihat KPK  tak lebih dari macan ompong.



Namun, progres terbaru yang dimunculkan dari proses hukum kasus suap Wisma Atlet maupun kasus Hambalang pada pekan terakhir April 2012 memberi bukti bahwa KPK masih dan terus mengasah pisau hukum. Dalam diam, KPK terus bekerja mengumpulkan bukti-bukti tindak pidana pada dua kasus itu. Hasilnya memang cukup meyakinkan. Setelah sekian lama dirasakan tumpul, pisau hukum di negara ini tiba-tiba dirasakan sangat tajam. Ketajamannya bahkan bisa menorehkan luka psikologis bagi sejumlah orang yang sebelumnya terkesan punya ‘imunitas’ atas hukum di negara hukum ini.



Dua-tiga hari setelah diumumkannya penahanan anggota DPR itu, pujian terus mengalir untuk KPK. Rasanya, puja puji itu sudah lebih dari cukup. Seluruh elemen masyarakat yang peduli pada penegakan harus kembali pada posisi waspada. Sebab, sekali lagi, KPK sedang berurusan dengan elemen-elemen yang tidak jauh dari pusat kekuasaan. Artinya, kemungkinan munculnya upaya memperlemah KPK selalu terbuka. Pimpinan KPK pun harus antisipatif.



Bisa dipastikan bahwa akan muncul perlawanan terhadap KPK. Pihak-pihak yang merasa dirugikan atau terancam bisa saja mengerahkan para predator untuk merusak proses hukum yang sedang berjalan. Predator itu bisa saja dari luar, atau dari dalam KPK sendiri.



Bersikap Kritis



Ungkapan mafia hukum dan apa saja yang dikerjakan mafia hukum sudah menjadi pengetahuan umum. Merekalah predator proses hukum. Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan pun memiliki tangan-tangan kotor atau predator mengintervensi proses hukum. Inilah tantangan nyata agenda penegakan hukum di negara.



Dalam konteks itu, kewaspadaan bersama untuk mengawal kerja KPK menangani kasus suap Wisma Atlet dan Kasus Hambalang harus diaktualisasikan dengan sikap kritis. Agar selalu terjaga dan bekerja keras, KPK harus terus dihujani kritik membangun. Bahkan, manakala muncul indikasi melemah karena diintervensi tangan-tangan kotor kekuasaan, siapa pun jangan segan-segan mengecam KPK. Pengawasan oleh masyarakat akan menjadikan KPK semakin kuat, independen dan berani dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi dan menghindari tebang pilih penegakan hukum.



Tantangan KPK otomatis semakin berat dalam menangani kasus suap Wisma Atlet dan Kasus Hambalang. Sebab, seperti juga KPK, masyarakat pun sudah memiliki catatan yang tidak kalah lengkap mengenai dugaan tindak pidana korupsi dalam dua kasus itu. Ditambah lagi, beberapa pihak terlibat sudah mendapat vonis pengadilan.



Dari rangkaian persidangan kasus Wisma Atlet, misalnya, baik terdakwa maupun sejumlah saksi sudah memberi gambaran sangat jelas tentang sumber dana, dan juga perihal aliran dana, baik yang diterima individu maupun kelompok.  Juga dari persidangan kasus yang sama, dimunculkan indikasi tentang praktik pencucian uang.  Pihak-pihak yang terlibat maupun diduga  terlibat telah menjadikan sebuah unit usaha sebagai sarana mengumpulkan  uang jasa (fee) proyek, sebelum dibagikan atau dialirkan ke pihak lain.



Dengan konstruksi kasus seperti itu, KPK bisa sekaligus menggunakan UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat. Bahkan, dengan menggunakan UU TPPU sebagai pintu masuk, KPK bisa menelusuri ketidakwajaran sumber-sumber kekayaan tersangka atau pihak-pihak yang sudah diduga menerima aliran dana dari kasus Wisma Atlet maupun Hambalang.



Ingin ditegaskan di sini bahwa publik pun memiliki catatan yang sangat detil tentang kasus ini. Dengan isi catatan seperti itu, sudah barang tentu publik juga ingin melihat bagaimana KPK akan mendakwa tersangka lain. Berarti, ujian berikutnya bagi KPK adalah kekuataan dakwaan. Menahan tersangka baru memang sebuah kemajuan, tetapi jauh lebih penting adalah apa yang akan didakwakan kepada tersangka itu.



Pada titik dakwaan itulah predator proses hukum bisa masuk. Dan, kemungkinan inilah yang paling dikhawatirkan berbagai kalangan. Sebab, kuat-lemah dakwaan-lah yang bisa menjerat atau meloloskan (meringankan) seorang terdakwa di pengadilan. Fakta dan pengalaman membuktikan bahwa rekayasa dakwaan untuk menguntungkan posisi terdakwa pun bisa terjadi di KPK. Karena itu, Abraham Samad dan pimpinan KPK lainnya harus mewaspadai kemungkinan itu. Sebab, pengalaman juga membuktikan bahwa tidak semua orang di dalam institusi KPK satu visi.



Kalau boleh menyarankan, Abraham Samad sebaiknya memberi perhatian khusus saat para jaksa KPK mulai merumuskan dakwaan (pengenaan pasal). Jangan sampai KPK justru kecolongan pada tahapan yang penting itu. Mengintervensi dakwaan jauh lebih mudah karena lolos dari pengamatan publik. Cukup berbicara lewat telepon, isi dakwaan bisa diubah-ubah. Sungguh, baik para ahli hukum maupun mereka yang awam, kini lebih tertarik untuk menunggu bunyi dakwaan KPK. 



Secara teknis, apa yang mestinya dikerjakan KPK tidak terlalu sulit. Namun, faktor non-teknis-lah yang menjadi tantangan paling berat. Intgegritas orang-orang KPK memang terus diuji, karena mereka selalu dalam intaian predator. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar