Dialog Pesantren
Oleh: Sobih Adnan*
Paling tidak, memasuki dunia pesantren harus
memiliki niat dan kesiapan untuk mengenal berbagai hal yang berkaitan dengan
barokah. Hanya di sebuah kelembagaan pesantren inilah istilah unik tersebut
dapat ditemukan. Sebuah nilai tambah kebaikan dan keutamaan yang dipercaya
tumbuh sebagai manfaat dari berjuta pengorbanan Kiai maupun kelembagaan
pesantren itu sendiri.
Untuk selanjutnya, nilai tambah kebaikan
tersebut dapat diusahakan untuk terraih siapa saja –santri-, dengan ketulusan
dan pengabdian terhadap kiai dan pesantren, yang telah secara bulat mengabdikan
seumur hidupnya untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa, agama, dan negara.
Selain tentang nilai tambah dan keutamaan
tersebut, ada beberapa hal yang turut mewarnai kebertahanan lembaga
kepesantrenan di Indonesia, terutama pesantren-pesantren yang bernaung di bawah
kekuatan jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU). Pesantren hadir dengan pola-pola
tersendiri sesuai dengan kebutuhan waktu di mana dia hadir dan mengabdi. Pada
zaman penjajahan Belanda dan Jepang misalnya, pesantren mampu mewujud sebagai
benteng perlawanan bangsa terhadap kolonial. Pesantren merupakan kekuatan dan
lambang penolakan terhadap segala bentuk penjajahan dan penindasan.
Beberapa catatan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia menunjukkan bahwa perlawanan rakyat terhadap penjajah yang sangat
terrekam heroik itu kerap terinisiasi oleh kekuatan komunikasi jaringan
pesantren. Di Zaman awal republik, pesantren hadir sebagai suatu kesatuan yang
terus mengawal kemerdekaan dari gangguan-gangguan yang masih tersisa, maupun
ketidak-stabilan internal bangsa dengan diwarnai pemberontakan-pemberontakan di
daerah. Di periode Orde Baru, pada mulanya pesantren masih tetap dalam prinsip
yang sama, yakni tetap mengawal kemerdekaan dan merancang pembangunan bangsa
bersama pemerintah. Namun dalam perjalanannya, akibat beberapa temuan yang
kurang berpihak kepada rakyat, pesantren mengambil posisi sebagai lembaga
kontrol pemerintah dan negara untuk kembali memiliki keberpihakan kepada
rakyat. Meskipun di beberapa catatan, akibat posisi tersebut pesantren justru
mengalami pendiskriminasian karena dianggap mengganggu dan berseberangan dengan
hasrat pemerintah pada masa itu. Dan di era reformasi hingga sekarang ini,
selain tetap sebagai kontrol negara yang mesti dipertimbangkan, pesantren juga
memiliki PR lain yang tidak kalah mendesaknya, meski tentu hal tersebut tetap
menyangkut dengan nasib dan masa depan keutuhan bangsa, yakni dampak
globalisasi dan geliat-geliat intoleransi yang mulai tumbuh di mana-mana.
Terutama tentang maraknya tindak kekerasan yang mengatas-namakan agama. Untuk
era ini, pesantren mampu menerapkan satu jurusnya kembali untuk tetap berdiri
tegak memperjuangkan kepentingan rakyat dan keutuhan bangsa, yakni melalui
sebuah tradisi dan kekhasan pesantren melalui seri dakwah dan dialog
keagamaannya yang ramah dan mempertimbangkan keberagaman dalam tubuh Indonesia.
Dialog Pesantren: Dakwah di Negeri Multikultural
Di sudut persoalan globalisasi, dakwah dihadapkan pada persoalan tentang bagaimana caranya menyampaikan pesan-pesan Islam dalam konteks masyarakat global yang ditandai dengan makin sempitnya sekat-sekat antar kultur dan sekat masyarakat etno-religius. Jika dulu dakwah masih sangat memungkinkan untuk bersikap apriori terhadap luar dunia muslim misalnya, maka saat ini di mana istilah dunia muslim menjadi kelihatan kabur batas-batasnya oleh fenomena globalisasi, maka jalur dakwah tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa menjalin interaksi yang lebih intens dan persuasif dengan banyak komunitas etnis dan etno-religius di seluruh dunia, terlebih di dalam kehidupan bangsa itu sendiri. Di Indonesia yang beragam dan sangat perlu pertimbangan mengenai gambaran di atas, sejak munculnya, pesantren tidak memiliki banyak masalah dengan hal-hal tersebut. Sebab, pesantren memiliki catatan panjang sejarah yang hangat dan romantis dengan keragaman budaya dan etnik di tengah masyarakat. Konteks keislam-an yang ditawarkan oleh dunia pesantren adalah pemahaman agama yang merespon baik kekayaan budaya dan tradisi lokal. Bahkan, mengadopsinya sebagai kekuatan ritual keagamaan yang sangat bersahabat dengan jati diri bangsa. Tahlil, syukuran-syukuran dalam event-event sakral keluarga seperti nujuh bulanan, atau yang lainnya.
Memahami alur dakwah yang seperti ini, maka dirasakan sangat perlu jika pesantren kembali mempertimbangkan konsep-konsep dasar dakwahnya tersebut sebagai solusi untuk tetap menjaga kelanggengan agama dalam era globalisasi. Dari sana kita dapat memahami ternyata seri dakwah pesantren memiliki karakter tersendiri dengan beberapa sub. Pertama, dakwah pesantren menghargai keunikan dan keragaman etno-religio. Kedua, mengakui adanya beberapa titik kesamaan dalam keragaman etno-religio, meskipun tentu tidak secara keseluruhan. Ketiga, paradigma keberagaman sebagai fenomena kultur. Keempat, sebuah keharusan dalam progressivisme dan dinamisme dalam memahami agama.
Metode Dakwah Pesantren
Terdapat beberapa hal yang mesti dianalisis kembali mengenai metode-metode dakwah yang biasa dilihat dalam masyarakat, dari hal tersebut maka akan dengan mudah apa dan bagaimana dakwah pesantren, terutama alur yang representatif untuk memunculkan peran keagamaannya dalam konteks masyarakat kekinian.
Pertama, dalam Hidayat al-Mursyidin ila thuruq al wa’zi wa al irsyad (Kairo: Dar al I’tisam, tt). Syeikh Ali Mahfuz yang diakui sebagai berotoritas dalam ilmu dakwah membedakan dakwah itu sendiri dalam tiga ranah. Dakwah antar individu muslim, dakwah antar golongan umat muslim, dan dakwah umat muslim kepada non-muslim. Yang menarik adalah dalam perkembangannya justru dakwah hanya berkutat pada ranah yang terakhir, yakni dalam pengertian sederhana gerakan dakwah adalah gerakan meng-Islamkan umat non-muslim. Di sinilah metode dakwah pesantren akan sedikit mengambil posisi yang lebih bermanfaat. Pesantren tidak menganggap bahwa konversi iman sebagai inti dari sebuah gerakan dakwah. Lebih dari itu dakwah pesantren mengusulkan agar target dakwah dikonsentrasikan pemberdayaan umat dalam ranah internal. Dakwah memiliki titik sasaran pemberdayaan untuk kemandirian masyarakat muslim, membuka kesadaran untuk bangkit, dan menawarkan jalinan silaturrahmi yang kuat antar komunitas dengan kebersamaan menguatkan bangsa.
Kedua, dalam ranah kebijakan publik dan politik, dakwah pesantren adalah dakwah yang menawarkan gagasan ide tentang kesetaraan hak-hak warga negara. Sesuai dengan ciri khas gerakan pesantren yang tumbuh kembang bersama rakyat lapis bawah secara langsung, maka gerakan dakwahnyapun harus mengikuti dan menjawab kebutuhan masyarakat akar-rumput.
Ketiga, dalam ranah sosial, gerakan dakwah pesantren lebih memilih pendekatan dakwah kultural dibanding militan. Pesantren lebih cenderung memberikan gagasan pengembangan Islam sebagai sistem moral – al Islam huwa al nizham al akhlaqiyah -. Pesantren menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan, terlebih dengan mengatas-namakan agama dan gerakan dakwah.
Keempat, dalam konteks komunikasi global, dakwah pesantren justru memberikan peluang dialog antara budaya dan keyakinan. Pesantren melalui kelembagaan yang lebih formalnya yakni Nahdlatul Ulama (NU) menjadi sebuah tampilan sistem keagamaan yang ramah sekaligus sangat bersikap universal. Berusaha hadir dengan melindungi siapa saja, dan mengembalikan pengertian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Gerakan dakwah pesantren seperti ini tentu memilliki konsentrasi dan cita-cita mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa, dan ini dipandang lebih penting dan sesuai dengan konteks keIndonesiaan, dibanding hanyut dalam romantisme sejarah kejayaan Islam yang memiliki perbedaan yang tajam dengan kondisi sekarang.
Jika digali dan dikaji lebih lanjut, mungkin masih banyak hal yang menarik dapat ditemukan dari tradisi dakwah ala-pesantren yang benar-benar dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Namun paling tidak, keempat narasi besar metode gerakan dakwah pesantren tersebut cukup mewakili sebuah prinsip bahwa gerakan dakwah pesantren lebih cenderung bersifat dialogis, sebuah gerakan dakwah yang responsif terhadap fenomena dan kebutuhan zaman, memiliki pertimbangan kuat terhadap budaya dan tradisi lokal, beriringan dengan prinsip-prinsip perjuangan hak-hak dan nasib masyarakat, serta sebagai corak keagamaan yang ramah dan peka terhadap keberagaman.
* Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadi-ien (MTM) Kempek Cirebon, dan Mahasiswa Pemikiran Islam di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar