Catatan Jelang Seabad
NU di Surakarta (3)
Sejak awal, sikap
anti kepada penjajah telah diperlihatkan NU, baik dengan cara simbolis melalui
pengharaman berpakaian menyerupai kaum penjajah, maupun dengan berbagai
tuntutan langsung kepada kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda, yang
dinilai banyak merugikan bangsa dan khususnya kepada umat Islam.
Dalam upaya
perjuangan melawan penjajah ini, puncaknya pada masa peperangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, para kaum santri pun ikut turun ke medan peperangan
dengan semboyan : Isy kariman au mut syahidan! (hidup mulia atau mati syahid).
Mereka siap ikut berperang jihad fi sabilillah mengusir penjajah dari Tanah
Air.
Para pemuda Ansor NU
ikut bergabung ke dalam Barisan Hizbullah dan Sabilillah. Para ulama pun tak
mau ketinggalan dengan membentuk ‘Barisan Kiai’. Tokoh NU Surakarta, Kiai
Ma’ruf Mangunwiyoto bahkan diangkat menjadi Pemimpin ‘Barisan Kiai’ Jawa
Tengah.
Kiai Ma’ruf yang juga
pengasuh Pesantren Jenengan (terletak di gang sebelah selatan Kantor PCNU
Surakarta, pen) bersama kiai lainnya seperti Kiai Ahmad Siradj, Kiai Abdul
Rahman, Kiai Martowikoro juga menjadi tempat rujukan para pejuang, untuk
meminta wejangan serta tambahan doa.
Sementara itu, kaum
wanita yang tergabung dalam Muslimat NU ikut berjuang di garis belakang. Para
pejuang dari kaum wanita yang antara lain dimotori oleh Nyai Mahmudah Mawardi,
ikut membantu di ‘Balai Kesehatan Hizbullah’, yang terletak di sebelah utara
Masjid Tegalsari Bumi Laweyan. (Soepanto, 1992)
Di Solo, pelatihan
para kiai dipusatkan di Lapangan Kartopuran Solo. Selama 1 minggu, sebanyak 40
kiai dari wilayah Karesidenan Surakarta. Di bawah bimbingan Kiai Isa (Kota
Barat), para peserta dilatih baris-berbaris dan latihan perang.
Mereka yang mengikuti
kegiatan pelatihan tersebut, antara lain : Kiai Imam Nawawi (Matesih
Karanganyar), Kiai Asfani (Bakdalem Karanganyar), Kiai R Salimulhadi
(Karanganyar), Kiai Abdul Muslim (Bolong Parakan), Kiai Muslih (Blimbing
Sukoharjo), Kiai Zaeni (Wonorejo Sukoharjo), dan Kiai Abdul Syukur
(Glondongan). Sedangkan di Sragen, Barisan Kiai dipimpin oleh KHM Bolkin,
bersama sejumlah kiai lain di antaranya KH Muslim, K Ridwan, K Sujak, K
Djarkasi.
Sementara itu, dalam
menindaklanjuti untuk persiapan pembentukan Hizbullah, umat Islam dari
Karesidenan Surakarta mengirimkan 25 pemuda untuk mengikuti pelatihan calon
Hizbullah. Para pemuda yang dikirim, berasal dari pesantren dan sekolah Islam
seperti Mambaul Ulum, Al-Islam, Muslimin Muhammadiyah, HIS Surakarta, dan
MULO-Mualimin Yogya. Sekembalinya dari latihan pusat, mereka disambut dengan
meriah oleh umat Islam di Masjid Agung Surakarta.
Kemudian pada 21 Juni
1945, umat Islam di Surakarta mengadakan latihan kemiliteran bertempat di
Pesantren Prasojo Gambuhan, kemudian disusul pelatihan di Masjid Agung
Surakarta dan Kustati yang dipimpin oleh Hadisoenarto. Sekitar 3 ribu orang
pemuda, ikut dalam pelatihan tersebut. Dari pelatihan itu pula, kemudian
tersusun organisasi Laskar Hizbullah di Surakarta, yang kelak dikenal sebagai
Divisi Sunan Bonang. []
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar