Saatnya Bijak Memahami
Perbedaan
Oleh : Ahmad Biyadi
Agama Islam adalah agama yang luar biasa.
Menghormati perbedaan, tapi tegas berprinsip. Ada batas yang tak boleh
diterjang, namun apapun, selagi masih dalam batasan itu, akan selalu
ditoleransi. Perbedaan pendapat akan diterima selagi pendapat itu berasaskan
pada prinsip dan kapasitas keilmuan yang dicanangkan oleh syariat.
Dalam ijtihad fikih misalnya, kita temukan
ada begitu banyak mujtahid mutlak yang bisa diikuti. Begitu juga dalam bidang
keilmuan yang lain, semisal tafsir dan Hadis. Para pakar yang memiliki otoritas
dipersilahkan untuk mengungkapkan kebenaran yang tampak baginya. Aturan itu
jelas, siapa punya otoritas, silakan bicara. Dan siapa yang tak sanggup, ngikut
saja, tak usah banyak kata.
Pun juga begitu dalam ranah fikih rukyah dan
hisab. Keduanya berada dalam lingkaran khilafiyah yang kompleks. Ada banyak
sekali pendapat yang saling silang. Masing-masing pendapat memiliki dalil dan
landasan yang kuat. Hanya saja, terkadang ada pandangan yang dalam fikih tidak
diakui sebagai pandangan yang dapat diterima, karena berasaskan tidak pada pola
pikir yang dibenarkan. Maka di sinilah kita butuh memahami lebih mendalam
perbedaan tersebut, menimbangnya, kemudian menentukan langkah yang sebaiknya
kita ambil.
Dalam menyikapi perbedaan penetapan hari
raya, setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, ragam metode
penetapan hari raya. Kedua, itsbat pemerintah dan keharusannya untuk diikuti.
Penetapan hari raya dapat ditentukan dengan
tiga metode; rukyah (melihat anak bulan), hisab (perhitungan posisi bulan dan
matahari dalam kaitannya terhadap anak bulan), istikmal (menggenapkan hitungan
bulan menjadi 30 hari). Di mana masing-masing dari ketiga metode ini memiliki
aturan-aturan yang harus diterapkan. Masalahnya, para pakar berbeda pendapat
terkait aturan-aturan ini. Misalnya rukyah dengan teleskop; ada ulama yang
menganggapnya cukup ada yang tidak. Atau juga tentang kapasitas hukum sebuah
rukyah, apakah berlaku hanya pada daerah tersebut, atau daerah dalam satu
mathla’ atau seluruh negeri atau bahkan di seluruh dunia. Para ulama berbeda
pandangan dalam hal itu.
Selanjutnya tentang hisab, meski ada beberapa
ulama yang menolaknya, tidak sedikit pula ulama yang mengiyakannya. Hingga
siapapun yang memiliki kemampuan mengetahui kapan terjadinya hilal dengan ilmu
perhitungan yang dimilikinya, dia dipersilakan untuk mengamalkan hasil
perhitungannya. Dan siapapun yang mempercayai pakar hisab tersebut, juga
dipersilakan untuk mengikutinya. Maka dengan begitu, penetapan awal bulan
menjadi kian beragam karena banyak pakar hisab yang mengamalkan hasil ilmu
hisabnya.
Belum lagi perbedaan metode hisab dan jenis
hisab yang dipakai. Kesemua itu kian menambah kompleksnya perbedaan pandangan
dalam menetapkan awal bulan hijriyah yang menyebabkan sulit–kalau enggan
mengatakan mustahil–untuk menyatukannya dalam satu pendapat saja.
Di sisi lain, terkadang perbedaan pendapat
itu dapat diatasi ketika pemerintah melakukan penetapan (itsbat) awal bulan.
Setelah menerima beberapa persaksian rukyah dari berbagai kalangan plus
beberapa hasil perhitungan hisabnya, pemerintah kemudian memberikan suatu
ketetapan kapan awal bulan terjadi. Dengan begitu, seluruh warga Indonesia bisa
berhari raya pada hari yang sama dengan ketetapan pemerintah tersebut.
Sebagaimana yang diterapkan di Saudi Arabia, ketika pemerintah memberikan
ketetapan hari raya, seluruh warga Saudi Arabia harus tunduk pada ketetapan
tersebut.
Hanya saja, permasalahan menjadi berbeda
ketika asas yang diterapkan di Indonesia adalah asas demokrasi, di mana setiap
orang atau kalangan bebas mengikuti pendapat yang berbeda-beda. Kemajemukan
rakyat Indonesia dirangkul oleh pemerintah. Hingga kita temukan ada begitu
banyak kalangan yang memiliki cara penetapan hari raya yang berbeda satu dengan
yang lainnya, bahkan juga dengan ketetapan yang diberikan oleh pemerintah,
sebut saja beberapa pondok pesantren dan beberapa organisasi, semisal Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah.
Sikap Kita
Pada dasarnya kita, atau siapapun, bebas
mengikuti ketetapan hari raya, baik itu ketetapan pemerintah atau kalangan
tertentu. Asalkan penetapan itu berdasarkan pada pendapat yang dibenarkan oleh
syariat, dan kita mengetahui betul siapa yang memiliki ketetapan itu. Berbeda
halnya ketika kita hanya mendengar desas-desus yang tak diketahui kebenarannya.
Jika demikian, sebaiknya kita mengikuti ketetapan pemerintah, karena pada
dasarnya memang pemerintahlah yang memiliki wewenang untuk itsbat dan
mengumumkannya pada masyarakat luas.
Tentu saja, saat kita mengikuti suatu
ketetapan, kita harus mengikuti konsekwensi penetapan tersebut, semisal salat
Id, kaharaman berpuasa, dan lain sebagainya.
Kita juga tak perlu mempermasalahkan
perbedaan pendapat yang banyak terjadi. Toh, pemerintah yang memiliki wewenang
menyatukan hari raya justru memberi masyarakat kebebasan memilih. Biarlah
perbedaan itu menjadi ragam warna yang indah, membentuk pelangi rahmat Tuhan.
Bersatu bukan berarti tak berbeda, tapi saling menghormati. Wallahu a'lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar