(Harian Suara Merdeka, Semarang 11/12)
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI)
PROGRES signifikan yang diperlihatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan upaya habis-habisan guna menjaga momentum
perang melawan korupsi. Satukan barisan untuk melanjutkan perang ini, sebab ada
upaya sistematis untuk melumpuhkan KPK.
Menjaga konsistensi perang melawan korupsi di
negara ini ibarat menegakan benang basah. Tegas-galak dalam wacana, tetapi
melempem pada tahap tindakan. Padahal, penyakit korupsi sudah pada stadium yang
sangat menakutkan. Bukan hanya oknum penegak hukum yang ikut-ikutan
mempraktikan tindakan korup, tetapi juga sudah berani melakukan perselingkuhan
dengan sindikat kejahatan, termasuk sindikat narkoba.
Dalam konteks perang melawan korupsi, telah
muncul gejala yang mulai membuat masyarakat pesimis. Gejala itu adalah respons
minimalis penegak hukum terhadap sejumlah kasus korupsi berskala mega. Sebutlah
kasus Bank Century, kasus mafia pajak hingga kasus pencurian bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi. Sentuhan proses hukum pada tiga kejahatan besar itu tidak all
out. Sambil lalu, dan terkesan bahwa penegak hukum negara tidak
mengidentifikasinya sebagai kejahatan besar terhadap negara dan rakyat.
Padahal, kerugian negara dan rakyat sangat besar. Bukan hanya menghambat
pembangunan, tetapi juga menjadi faktor pendorong meluasnya kemiskinan.
Kelangkaan BBM bersubsidi akibat pencurian misalnya, menyebabkan aktivitas
perekonomian di sejumlah daerah terganggu.
Mengapa kejahatan-kejahatan besar itu tidak
ditanggapi serius oleh pemerintah dan penegak hukum? Inilah pertanyaan yang
sering bergema di ruang publik. Masyarakat yakin betul bahwa jika ada kemauan
baik, pemerintah dan penegak hukum mampu memerangi kejahatan-kejahatan besar
itu, menyeret siapa saja yang terlibat di dalamnya. Betapa terbelakangnya
penegak hukum negara jika sampai tak mampu mengungkap otak atau dalang
pencurian BBM bersubsidi.
Akan tetapi, masyarakat paham bahwa
pemerintah dan penegak hukum tidak independen dalam menyikapi kejahatan besar
seperti penggelapan pajak atau pencurian BBM bersubsidi. Sebab, pada
kejahatan-kejahatan besar tersebut, tersimpan kepentingan-kepentingan komersiel
oknum pemerintah maupun oknum penegak hukum. Praktik yang demikian ini sudah
menjadi cerita atau obrolan para pebisnis di jalanan.
Tentang pencurian BBM misalnya, sudah bukan
rahasia lagi bahwa ada pasar gelap BBM. Di pasar gelap itu, selalu ada
penawaran yang dilakukan dengan sangat berhati-hati. Pihak penawar muncul dari
berbagai kalangan. Penawaran atas BBM bersubsidi dilakukan ekstra hati-hati
dengan jumlah pemain sangat terbatas. Kalau penawar dan pembeli bersepakat,
yang diatur kemudian adalah pengamanan selama barang curian itu di perjalanan
menuju lokasi yang ditentukan pembeli, baik untuk perjalanan di laut maupun
darat. Akan dibangun komunikasi dengan oknum penegak hukum di pos-pos yang akan
dilalui barang curian itu. Dengan imbalan uang, barang curian itu tidak akan
disergap alias lolos dari pemeriksaan.
Kejahatan seperti ini sudah dilakukan dengan
sangat terbuka, dan karenanya sudah menjadi pengetahuan publik. Begitu juga
dengan perilaku menyimpang oknum pegawai pajak menerapkan modus diskon untuk
menggelapkan penerimaan negara. Tetapi, yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah
mengapa penegak hukum negara tak juga bisa menghentikan atau memeranginya?
Kecenderungan seperti inilah membuat masyarakat selama ini pesimis terhadap
kesungguhan penegak hukum negara memerangi korupsi.
Kini, optimisme masyarakat muncul lagi
setelah melihat progres yang dicatat KPK dalam menangani sejumlah kasus besar.
Dalam rentang yang relatif pendek, KPK berani menetapkan status tersangka
terhadap jenderal bintang dua dan seorang menteri yang masih aktif di kabinet.
Bahkan, KPK juga sudah menetapkan dua mantan deputi gubernur Bank Indonesia
sebagai tersangka dalam kasus Bank Century. Luar biasa. Masyarakat akan
menerjemahkan progres KPK itu sebagai keberanian untuk menyergap figur-figur
kuat yang disangka terlibat dalam sebuah kasus korupsi. Dalam konteks yang
lebih luas, apa yang sudah dilakukan KPK sampai saat ini adalah menghidupkan
kembali momentum perang melawan korupsi. Agar momentum ini tidak redup lagi,
masyarakat perlu menyatukan barisan untuk mendukung dan mengawal KPK. Upaya
melumpuhkan KPK harus dilawan.
Tidak berlebihan jika publik mengapresiasi
progres yang sudah dibukukan KPK, mengingat langkah-langkah berani KPK itu
justru ditunjukan ketika upaya-upaya pelemahan KPK sudah berani diperlihatkan
secara terbuka. Belasan penyidik angkat kaki, dan kemudian dilanjutkan dengan
upaya mendiskreditkan pimpinan KPK. Itulah gambaran nyata tentang betapa
sulitnya memerangi korupsi di negara ini. Namun, di tengah kesulitan dan
keterbatasannya, KPK sudah memberi pesan yang sangat jelas. Perang akan tak
akan pernah dihentikan, dan siapa saja bisa menjadi sasaran tembak KPK manakal
dia terindikasi terlibat kasus korupsi.
Kerugian Negara
Pada kasus penggelapan pajak dan pencurian
BBM bersubsidi misalnya, nilai kerugian negara dan rakyat mencapai puluhan
trilyun rupiah. Kalau diakumulasikan, kerugian negara per tahunnya bisa lebih
dari Rp 100 trliyun. Perkiraan ini pun masih mengacu pada kasus-kasus yang
sudah teridentifikasi. Untuk kasus penggelapan pajak yang bisa diidentifikasi
Ditjen Pajak pada 2010 misalnya, nilainya mencapai Rp 1,17 trilyun Padahal,
dalam isu penggelapan pajak, banyak persoalan yang tidak teridentifikasi atau
tidak sungguh-sungguh ditangani. Contohnya adalah kasus dugaan manipulasi
restitusi pajak oleh Wilmar Group.
Perkiraan angka kerugian negara paling
fantastis muncul dari pencurian BBM bersubsidi. Modusnya saja pencurian,
tetapi tetap saja esensinya adalah tindakan koruptif. Sebab, pencurian itu
diskenariokan dalam pengelolaan BBM bersubsidi. Praktik pencuriannya sendiri
sudah berlangsung sangat lama. Kendati kerugian negara akibat pencurian itu
terbilang sangat besar, respons penegak hukum maupun pemerintah terbilang
biasa-biasa saja. Kerugian yang begitu masif seakan-akan bukan persoalan besar.
Lucunya, pembengkakan nilai subsidi BBM bersubsidi selalu dikeluhkan
pemerintah, sampai-sampai subsidi untuk rakyat itu dijadikan kambinghitam
karena mengganggu keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Padahal, pembengkakan terjadi akibat salah kelola dan skenario pencurian. Kalau
dikelola dengan benar dan tepat sasaran, BBM bersubsidi tidak akan pernah
mengganggu APBN, karena jumlah warga yang berhak menerima subsidi sesungguhnya
tidak banyak.
Hasil kajian yang telah dipublikasikan
belakangan ini memunculkan angka pencurian BBM bersubsidi sampai 30 persen dari
total kuota BBM yang dialokasikan dalam setiap tahun anggaran. Coba hitung,
berapa besar BBM bersubsidi yang dikorupsi, kalau tahun ini pemerintah
mengalokasikan subsidi BBM Rp 137,4 triliun untuk kuota 40 juta kiloliter?
Bayangkan, hanya dari penyimpangan pengelolaan BBM bersubsidi saja, Jumlah
kerugian negara mencapai puluhan trilyun rupiah per tahun. Dan, kerugian
sebesar itu berlangsung setiap tahun dari pos anggaran yang sama.
Kebijakan mensubsidi BBM tidak salah. Tetapi
pengelolaan BBM bersubsidi yang koruptif menyebabkan BBM bersubsidi selalu
melampaui kuota dan tidak tepat sasaran. Dan, dengan dalih untuk memenuhi
permintaan masyarakat, pemerintah tidak sungkan untuk menambah kuota BBM
bersubsidi walaupun sebagian tambahan kuota itu akan dicuri lagi.
Ini kejahatan besar. Karena itu, KPK harus
didorong untuk memberi perhatian khusus, serta mendalami manipulasi pengelolaan
BBM bersubsidi. Penyimpangan dalam pengelolaan BBM bersubsidi sudah menjadi
modus untuk melakukan korupsi. Dan, kalau pencurian BBM tidak bisa dicegah, itu
karena aksi menyelewengkan BBM bersubsidi sudah dijadikan sarana korupsi
berjamaah. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar