Mencintai Ahlulbait dan
Sahabat Nabi Secara Proporsional
Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah,
salah satu kewajiban Umat Islam adalah mencintai keluarga dan para sahabat Nabi
Muhammad. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa’ yakni Sayyidah
Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan seluruh
keturunannya (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi yang kemudian disebut
dengan Ummahatul Mukminin (QS. Al-Ahzab: 6 ).
Kecintaan yang dimaksud dengan tetap
berpedoman pada prinsip seimbang (tawazun), tengah-tengah (tawassuth), dan
tegak lurus (i’tidal), serta tidak berlebih-lebihan. Menanamkan fanatisme buta
kepada keluarga Nabi dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka.
Bahkan pada tingkat tertentu dengan tanpa disadari justru menistakan keluarga
Nabi sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan penakut
(taqiyyah). Padahal Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah
dari perilaku yang kotor dan tercela tersebut (QS. Al-Ahzab: 33). Apalagi telah
maklum bagi seluruh umat Islam bahwa Sayyidina Ali itu dijuluki ”laitsu Bani
Ghalib” pendekar yang tak terkalahkan dalam setiap pertempuran. Jadi, sangatlah
tidak mungkin jika beliau bersikap taqiyyah apalagi menganjurkannya.
Salah satu contoh adalah sikap kelompok yang
terlalu berlebihan kecintaannya kepada Sayyidina Ali. Dalam keyakinan mereka,
ketika Sayyidina Ali tidak terpilih menjadi khalifah pertama oleh mayoritas
sahabat, beliau marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan
menyebarkan caci maki, dan kelak di akhir zaman, orang-orang yang dianggap
merampas jabatannya akan dihidupkan kembali untuk dipukuli, disiksa, disalib
dan dikeroyok oleh Sayyidina Ali beserta para putra dan pengikutnya untuk
melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar sejak lama, sebagaimana dalam
i’tiqad adanya raj’ah.
Kepercayaan ini memang berawal dari kecintaan
yang berlebihan kepada Sayyidina Ali. Namun dampak yang diakibatkan cukup merisaukan,
karena menggambarkan potret buram keluarga Nabi yang suci dengan gambaran
orang-orang yang selalu menyimpan dendam kesumat, gila jabatan, dan tidak
berperikemanusiaan.
Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal
itu tidak mungkin terjadi pada keluarga Nabi Muhammad. Memang sejarah telah
mencatat ada perselisihan antara sebagian keluarga dan para sahabatnya, tetapi
hal tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang
zaman. Allah sendiri telah memberikan jaminan-Nya. Sebagaimana dalam
firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ. (الاية) الفتح
:29.
”Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah bersikap tegas terhadap orang-orang
kafir, tetapi senantiasa memelihara kasih sayang diantara sesama mereka.” (QS.
Al-Fath: 29).
Keyakinan ini bukan sekedar isapan jempol
semata, tetapi didasarkan pada fakta sejarah, dari berbagai literatur baik dari
sumber Ahlussunnah maupun Syi’ah yang menyatakan bahwa di antara Ahlul Bait dan
para sahabat Nabi Muhammad ada kemesraan yang terjalin, saling mencintai karena
Allah, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Di antaranya adalah pernyataan
Sayyidina Abu Bakar tentang kecintaan beliau kepada keluarga Nabi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا .قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي. (صحيح البخاري، رقم 3730).
“Dari ‘Aisyah R.A., sesungguhnya Abu bakar
berkata, “Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai dari pada
keluargaku sendiri. (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3730).
Sayyidina Umar juga merupakan salah seorang
sahabat yang selalu memperhatikan dan memuliakan keluarga Nabi. Simak hadits
berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَطَبَنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ أَقْضَانَا وَأُبَيٌّ أَقْرَؤُنَا (صحيح البخاري، 4121).
“Dari Ibn Abbas, ia bercerita, “Sayyidina
Umar pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar Rasulullah r, Ia berkata, “Sayyidina Ali adalah
orang yang paling ahli di bidang hukum, dan Ubay adalah orang yang paling fasih
bacaannya.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 4121) .
عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ صَلَّى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْعَصْرَ
ثُمَّ خَرَجَ يَمْشِي فَرَأَى الْحَسَنَ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَحَمَلَهُ
عَلَى عَاتِقِهِ وَقَالَ بِأَبِي شَبِيهٌ بِالنَّبِيِّ لا شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ وَعَلِيٌّ
يَضْحَكُ (صحيح البخاري، 3278).
”Dari Uqbah bin Harits ia berkata, ”Suatu
ketika Abu Bakar melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu berjalan pulang dan
melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan anak-anak sebaya. Abu Bakar
kemudian menggendongnya seraya berkata, ”Sungguh, anak ini sangat mirip dengan
Nabi, tidak mirip Ali”. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa.” (Shahih
al-Bukhari, nomor hadits. 3278).
Senda gurau tersebut tidak mungkin terjadi
jika di antara keduanya ada permusuhan. Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait
kepada para sahabat Nabi Muhammad itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut,
sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan Sayyidina Ali:
عَنْ
مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لأَبِي أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ قُلْتُ
ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ أَقُولَ ثُمَّ مَنْ
فَيَقُولَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَةِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ
رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ (سنن ابي داود، 4013).
”Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata,
“Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib), ”Siapakah manusia paling
mulia setelah Rasulullah?”, Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Abu Bakar”. Aku
bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?” Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Umar
bin Khattab.”. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi, ”Kemudian siapa
lagi?”, Sayyidina Ali menjawab, ”
Sayyidina Utsman bin Affan.” Lalu aku
berkata, ”Kemudian Engkau wahai ayahku.” Sayyidina Ali menjawab (seraya merendahkan
diri), ”Tidak, aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya.”(Sunan
Abi Dawud, nomor hadits. 4013).
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ وُضِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ بَيْنَ الْمِنْبَرِ وَالْقَبْرِ فَجَاءَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
حَتَّى قَامَ بَيْنَ يَدَيْ الصُّفُوفِ فَقَالَ هُوَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ
قَالَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْكَ مَا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْ أَنْ أَلْقَاهُ بِصَحِيفَتِهِ بَعْدَ صَحِيفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ ثَوْبُهُ (مسند أحمد، 823).
“Dari Ibn Umar ia berkata, “Ketika jenazah
Sayyidina Umar diletakkan di antara minbar dan makam Rasulullah, Sayyidina Ali
datang dan berdiri di shaf terdepan, seraya mengatakan, “Inilah orangnya,
inilah orangnya, inilah orangnya. Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya
kepadamu. Tidak seorangpun hamba Allah SWT yang paling aku cintai untuk bertemu
Allah (dengan membawa buku catatan yang baik), setelah buku catatan Nabi, selain
dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina
Umar).” (Musnad Ahmad, nomor hadits. 823).
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari
ungkapan Sayyidina Ali ini. Pertama, penghormatan Sayyidina Ali yang begitu
tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau. Tidak ada
rasa dendam atau merasa tersaingi dan didholimi. Kedua, kerendahan hati
sayyidina Ali. Dalam kapasitas beliau sebagai Ahlul Bait, tidak ada perasaan
lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan, ”Aku hanya seorang laki-laki
biasa seperti muslim lainnya”. Ketiga, tidak mungkin beliau melakukan taqiyyah
(pura-pura) dalam ucapannya itu, sebab pujian Sayyidina Ali diungkapkan pada
saat orang yang disanjung itu telah meninggal dunia (hadits riwayat Ahmad),
bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifah seperti dalam hadits riwayat Abu
Daud di atas. Data seperti tersebut di atas tidak hanya dicatat dalam
kitab-kitab Ahlussunnah tetapi dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab Syi’ah,
misalnya dalam kitab Talkhis Asy-Syafi (Juz. II, Hal. 48), Asy-Syafi (hal.
428), dan lain-lain.
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنْ جَمِيْعِ بْنِ عُمَيْرَ التَّيْمِي قَالَ: دَخَلْتُ وَمَعِي عَمَّتِي عَلَى عَا ئِشَةَ فَسَأَلْتُ: أَيُّ النَّاسِ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ فَاطِمَةُ فَقِيْلَ: مَنِ الرِّجَالُ؟ فَقَالَتْ: زَوْجُهَا إِنْ كَانَ مَاعَلِمْتُ صَوَّاماً قَوَّا ماً (رواه الترمذي).
“Jami’ bin Umair al-Taymi berkata, Suatu saat
aku bersama bibiku menemui ‘Aisyah dan aku bertanya kepada beliau: Siapakah
orang yang paling dicintai oleh Rasulullah, Sayyidah ‘Aisyah menjawab: ialah
Fatimah: ditanyakan lagi kepada beliau, kalau dari kalangan laki-laki? Jawab
Sayyidah ‘Aisyah: Ialah suaminya (Sayyidina Ali) karena aku tahu dia itu rajin
berpuasa dan sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab.” (HR. Tirmidzi, nomor
hadits 3873).
Mungkinkah Sayyidah ‘Aisyah menyampaikan hadits tersebut jika di lubuk hatinya ada dendam dan iri hati? Jawabnya: Tentu tidak mungkin, karena hadits tersebut menginformasikan keutamaan Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah.
Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan
persaudaraan itu berlangsung terus hingga anak keturunan mereka. Bahkan
kecintaan yang mendalam di antara para sahabat dengan keluarga Nabi Muhammad
tidak cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada pembuktian yang nyata
seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar itu.
Misalnya Sayyidina Ali di antara 33 putra putri beliau ada yang diberi nama
dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 9). Sayyidina
Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 14 putra-putrinya. Sayyidina
Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 9 putra putrinya
(Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali baitin Nabi). Imam Ali Zainal Abidin
menunjukkan kecintaannya kepada para sahabat Nabi juga dengan memberi nama
salah seorang putranya dengan nama Umar. Begitu pula Imam Musa al-Kadzim
memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, juz.
2, hal. 217), Imam Ali al-Ridla memberi nama salah seorang putrinya dengan nama
’Aisyah (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi t juga memberi nama salah seorang
putrinya dengan nama ’Aisyah. (Al-Fushuulul Muhimmah, hal. 238).
Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan
nama pada putra-putrinya, tentu memilih nama-nama yang paling disukai sembari
tersirat sebuah harapan semoga anak yang dimaksud dapat meneladani dan memiliki
kualitas individu sebagaimana orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu
tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam kesumat.
Ini sebagai bukti bahwa Allah melindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad dari berbagai
penyakit hati.
Isteri Sayyidina Husain yang bernama
Syahrbanu adalah puteri dari Yazdajird, raja terakhir dari kerajaan Persia.
Semula beliau adalah tawanan perang bersama dayang-dayang kerajaan yang
diboyong ke Madinah. Kemudian beliau dihadapkan kepada Sayyidina Umar bin
al-Khaththab. Semua orang menduga bahwa beliau akan dinikahi oleh Sayyidina
Umar bin al-Khaththab sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putra
beliau sendiri, Abdullah bin Umar. Akan tetapi di luar dugaan justru Sayyidina
Umar menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina Husain sembari
berkata:
يَا
أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.
“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina
Husain)! Pernikahan engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik
manusia di atas bumi.”
Maka kemudian puteri Yazdajird tersebut
dinikahi oleh Sayyidina Husain, dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama
Ali bin Husain yang dikenal dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal.
466-467). Riwayat tersebut di atas tampak jelas bahwa Sayyidina Umar sangat
menghormati dan mencintai Sayyidina Husain baik dengan ucapan maupun tindakan.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para
sahabat dan keluarga Nabi Muhammad tidak hanya terbatas pada pemberian nama
pada putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan
perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar menikah dengan Ummi Kultsum putri Sayyidina
Ali. (Al-Kafi, juz. 5, hal. 346). Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan. menikah
dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Abdullah bin Amr bin
Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib
yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz.
IV, hal. 114 dan 120) (Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Utsman adalah
keponakan sepupu dari Sayyidina Ali dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti
Baidla’ binti Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li al-Mas’udi, juz. 2, hal.
340). Dengan demikian di tubuh Sayyidina Utsman juga mengalir darah Bani
Hasyim.
Imam Muhammad al-Baqir, ayahanda dari Imam
Ja’far al-Shadiq menikah dengan cucu Sayyidina Abu Bakar, yakni Ummu Farwah
putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah
Asma’ binti Abdurrahman bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah
(Al-Kafi, juz. I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far al-Shadiq
menyatakan:
وَلَدَنِيْ
أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ (ابن عنبة, عمدة الطالب : 195)
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali
(yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya).” (Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib,
hal. 195).
Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul karimah. Simaklah baik-baik apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far al-Shadiq kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi Hafshah:
عَنْ
سَالِمْ بنُ أَبِي حَفْصَه, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا
سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ.
وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ عَلِيٍّ شَيْئًا, إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ
أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ الاَلْمَاسِ, ص 97).
“Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki
kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku, jika aku mengharapkan syafaat dari
Ali t tentu aku
mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar. ” (Uqud Al-Almas, hal. 97).
Last but not least, Sayyidina Ali t menikah dengan Asma’ binti Umais
(janda Sayyidina Abu Bakar) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binti
Umais tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah selama sakit
di akhir hayatnya, padahal Asma’ binti Umais tersebut pada waktu itu masih
menjadi istrinya Abu Bakar (Al-Amali, juz. I, hal. 107). Al-Irbili mengatakan
bahwa Asma’ binti Umais adalah orang yang turut memandikan jenazah Sayyidah
Fathimah (Kasyful Ghummah, juz. I, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa
Sayyidah Fathimah berwasiat agar Asma’ binti Umais turut mengkafani dan
mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat
tersebut (Jila’ul Uyun, hal. 235 dan 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan
tanpa seizin Abu Bakar sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah,
tidak mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika Asma’ bukan wanita yang
shalehah, tentu sayyidina Ali tidak bakal menikahinya.
Fakta-fakta tersebut di atas menambah
keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Sayyidina Ali tidak ada masalah dengan
Sayyidina Abu Bakar, bahkan Sayyidina Ali sejak awal turut membai’at Sayyidina
Abu Bakar sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn
Hibban (Irsyad As-Sari, juz. VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil, juz. II,
hal. 220). Dengan demikian antara Sayyidina Ali dan Sayyidina Abu Bakar pada
hakikatnya di antara keduanya terjalin tautan kasih dan tambatan sayang yang
kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan ombak yang
dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan sayyidina Umar, sayyidina Utsman dan para
sahabat lainnya. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad dalam membimbing
keluarga dan para sahabatnya.
Sejatinya, kalau dipikirkan dengan sederhana
semua umat Islam mengetahui bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar adalah
mertua dari Rasulullah. Sayyidah ’Aisyah binti Abu Bakar dan Sayyidah Hafshah
binti Umar dinikahi Rasulullah. Sementara Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Ummu
Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman secara berurutan. Sedangkan Sayyidah
Fatimah adalah isteri Sayyidina Ali. Nabi tentu tidak salah dalam memilih
mertua dan menantu karena beliau terjaga dari berbuat kesalahan (ma’shum).
Jika kita benar-benar mencintai Ahlul Bait
dan sahabat Nabi Muhammad, tentu kita wajib mencontoh sikap santun dan
kerendahan hati mereka. Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad, yang bersih hati
dan lidahnya, mereka jauh dari hal-hal yang mengotorinya, semisal umpatan dan
caci maki, apalagi hasut dan dengki. Semua itu jauh dari mereka, sejauh
panggang dari api. Walaupun di sisi lain tanpa harus menumbuhkan fanatisme buta
yang berujung pada kultus yang dilarang agama. Begitu pula sebaliknya, sikap
anti pati, memusuhi apalagi mengkafirkan generasi terbaik Islam itu harus
dijauhkan dari dalam dada kita.
Inilah cerminan sikap tawassuth, tawazun dan
i’tidal golongan Aswaja kepada keluarga dan sahabat Nabi. Dan dengan cara
inilah kita mencintai ahlul bait dan sahabat Nabi secara proporsional. []
(Disampaikan Rais Syuriah PCNU Jember, K.H.
Muhyiddin Abdusshomad dalam DAKWAH (Daurah Kader Ahlussunnah Wal Jama’ah)
“Mengukuhkan Aqidah Aswaja di Lingkungan Nahdliyyin” PWNU Jawa Timur di
Surabaya, Tgl. 18-20 Desember 2010 di Islamic Centre, Jln. Dukuh Kupang, no. 22
Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar