Bagaimana Hukum Nikah
Mut’ah?
Secara lughawi nikah berarti ad-damm wal-jam’ (penggabungan
dan pengumpulan) atau al-wath'u
(persetubuhan). Secara istilahi nikah adalah ikatan perjanjian (‘aqd) yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT untuk mensyahkan istimta'
atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahramnya. Selain ibadah, nikah merupakan wujud sikap ta’awun atau kerjasama
antara individu dalam pendirian lembaga keluarga dan sarana reproduksi.
Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang
rusak atau tidak sah, yakni nikah
syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa
mahar), nikah mut’ah (dibatasi
dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap
perempuan yang dalam proses khitbah
(pinangan) laki-laki lain, dan nikah
muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak
bisa dirujuk lagi).
Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah
dengan daasr suat An-Nisa' ayat 24:
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Maka isteri-isteri yang telah kamu
campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu
kewajiban. (“Ujrah”
yang umumnya diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah
mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak).
Selain itu dasar penghalalannya adalah hadis
Nabi Muhammd SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa para sahabat
pernah diperkenankan untuk menikahi perempuan-perempuan dengan sistem kontrak
waktu.
Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal).
Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i
juz V hlm 71, Fatawi
Syar'iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III
hlm 278 – 279, Al-Mizan
al-Kubraa juz II hlm 113, dan As-Syarwani
'alat Tuhfah juz Vll hlm. 224.
Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang
ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui
(temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun
talak antara kedua pasangan suami istri. (Al-Umm
V/71)
Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya
mekenai pernikahan dengan akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa
seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu
yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat
tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut
dengan nikah mut’ah. (Fatawi
Syar'iyyah II/7)
Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu
tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah,
misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata:
“Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.”
Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah
dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik
nikah mut'ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi.
Munas Alim Ulama di Pondok pesantren
Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20
Rajab 1418 H / 17-21 Novemver 1997 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar