Menggelegaknya Magma
Politik Kaum Nahdliyin
Selasa, 04 Desember
2012 , 09:52:00 WIB
DUNIA politik
nasional tiba-tiba dikejutkan oleh riuh-rendahnya kaum Nahdliyin dan simpatisan
Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berunjuk rasa di
cabang-cabang kantor Partai Demokrat hampir di seluruh Indonesia. Bahkan di
beberapa kota di Jawa Timur, para pengunjuk rasa ada yang melakukan sweeping
terhadap anggota partai yang dibina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Kemarahan kaum
Nahdliyin dipicu oleh pernyataan salah satu petinggi Partai Demokrat yang juga
Ketua Komisi VII DPR, Sutan Bhatoegana, dalam acara Dialog Kenegaraan yang
rutin digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di lobi gedung DPD di Senayan,
Jakarta, Rabu dua pekan lalu (21/11).
Meskipun Bhatoegana
tidak secara eksplisit mengatakan pemerintahan Gus Dur jatuh karena kasus
korupsi dana Yanatera Bulog (Buloggate) dan sumbangan Sultan Brunei (lazim
disebut Bruneigate), yang beritanya marak pada pertengahan tahun 2000,
penjelasannya di berbagai forum - pemerintahan Gus Dur tidak bersih makanya
dijatuhkan - kian membuat publik geram. Makanya, eskalasi aksi di kantor-kantor
Partai Demokrat di seluruh Indonesia yang bergulir sejak Senin pekan lalu
(26/11) pun terus meningkat.
Beruntung Ketua Umum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum, juga beberapa petinggi lain partai tersebut,
lekas mengambil inisiatif meminta maaf kepada keluarga (alm) Gus Dur dan warga
Nahdliyin. Puncaknya, Kamis pekan lalu (29/11) Anas dan pimpinan lain Partai
Demokrat "membawa" Bhatoegana ke kediaman keluarga Gus Dur di
Ciganjur, Jakarta Selatan, untuk mencabut pernyataannya dan meminta maaf.
Padahal sebelumnya Bhatoegana keukeuh pada pendapatnya bahwa Gus Dur
dilengserkan karena tidak bersih alias korupsi.
Dalam konteks itu,
Bhatoegana memang terkesan memutarbalik fakta. Sebab kenyataannya, Sidang Istimewa
MPR, Juli 2001, digelar karena (Presiden) Gus Dur menetapkan Wakil Kepala Polri
Komjen Chaeruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kepala Polri,
menggantikan Jenderal (Pol) Soerojo Bimantoro. Hal ini oleh Ketua MPR (ketika
itu) Amien Rais Cs dianggap menyalahi Tap MPR No VII/MPR/2000.
Sedangkan
diterbitkannya “Maklumat Dekrit” (22/7/01) oleh Gus Dur, merupakan langkah
ekstra konstitusional yang bisa dilakukan Presiden untuk menghentikan tindakan
inkonstitusional Amien Rais Cs. Tapi dalam perkembangannya, Amien Rais Cs malah
mengubah alasan SI MPR pada 23 Juli 2001 itu untuk segera dilaksanakan karena
Presiden KH Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekrit.
Bagi pengikut Gus Dur
(Gusdurian), khususnya kaum Nahdliyin, tragedi konstitusi 2001 itu memang
sangat menyakitkan. Kegeraman atas ketidakadilan politik yang diperlakukan
kepada (Gus Dur) pemimpin mereka waktu itu, terus terpendam, menjadi magma
(kemarahan) sosial yang setiap saat bisa menggelegak dan keluar dari perut
bumi, menjadi api kemarahan kolosal.
Magma dalam perut
bumi NU itu kini memang bergolak-golak karena dipanaskan oleh pemandangan
politik penegakkan hukum hari-hari ini yang janggal. Skandal rekayasa bailout
Bank Century yang merugikan keuangan negara Rp 6,7 triliun, yang melibatkan
orang-orang Istana, dan sudah ditetapkan jenis pelanggarannya oleh tiga lembaga
negara (BPK, DPR dan KPK) ternyata dibiarkan terus mengambang. Juga, kasus
korupsi Hambalang dan korupsi lain yang melibatkan para menteri SBY lainnya.
Pemandangan politik
dan penegakkan hukum yang kian permisif terhadap para koruptor di kalangan
penguasa inilah yang mengusik “rasa keadilan politik” warga Nahdliyin, sehingga
menjadi sangat sensitif. Fatwa “Hukum Mati Koruptor” dalam Musyawarah Nasional
Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa
Barat, pertengahan September lalu bagian dari magma itu.
Pernyataan Bhatoegana
memang hanya pemicu meluapnya magma itu. Makanya, permintaan maaf para petinggi
Partai Demokrat tidak menjamin meredanya kemarahan warga Nahdliyin. Mereka
mengharapkan ada perlakuan politik dan penegakkan hukum yang sama kepada
penguasa yang korup.
Apalagi korupsi yang
bersimaharajalela di pusat kekuasaan sekarang ini faktanya sudah sangat jelas
dan terbuka. Bahkan untuk skandal rekayasa bailout Bank Century sudah
dinyatakan bersalah oleh tiga lembaga negara yang memiliki otoritas untuk itu:
Bedan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). [***]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar