(Koran SINDO 11/12)
Bambang Soesatyo
Anggota Tim Pengawas
Kasus Bank Century DPR RI/
Presidium Nasional Korps Alumni HMI
Yopie yang juga juru bicara wapres mengatakan
bahwa prestasi Pak Boediono sangat banyak sehingga sungguh sayang jika hanya
karena kasus Bank Century maka ia harus turun sebagai wapres. Tapi Yopie lupa
ada pepatah mengatakan bahwa karena nila setitik maka rusak susu sebelanga. Itu
dengan asumsi bahwa “susu”nya lebih dominan ketimbang “nila”-nya. Untuk itu
maka kita perlu melakukan kajian rekam jejak dari seseorang untuk mengklaim
bahwa kondisi seseorang sesuai dengan rusaknya susu sebelanga atau bukan. Yang
dimaksud 'bukan' di sini adalah kondisi sebaliknya yaitu lebih dominan nilai
ketimbang susunya. Rekam jejak seseorang harus diamati secara obyektif.
Dalam periode 1 Juli 1996 s/d 28 Desember
1997. Boediono menjabat sebagai Direktur III yang membidangi Urusan Pengawasan
BPR (UPBPR) Dan Urusan pengaturan dan pengembangan perbankan (UPPB). Dalam
periode 29 Desember 1997 s/d 13 April 1998 Boediono sebagai Direktur I
yang membidangi Urusan Operasi dan pengendalian Moneter (UOPM). Kedua
Jabatan Boediono diatas sangat berkaitan lansung dengan penyaluran BLBI.
Khususnya Bank Pelita dan Bank Umum Nasional. Berdasarkan laporan Audit
Investigasi penyaluran dan pengunaan BLBI oleh BPK No.
06./01/auditama II/AI/VII/2000 tanggal 31 Juli 2000 adalah sbb:
1.Total penyaluran BLBI kepada 48 Bank
sebesar Rp 144,5 T
2.Adanya penyimpangan dan penyalah gunaan
wewenang dalam penyaluran BLBI yang menimbulkan potensi kerugian Negara sebesar
Rp 138.4 T atau 96 % dari total BLBI
3.Pihak-pihak yang diduga terlibat adalah
manajemen Bank penerima dan pejabat Bank Indonesia
4.Penjabat Bank Indonesia yang diduga
terlibat Antara lain: Heru Supraptomo, Paul Sutopo, Hendro Budianto, Boediono,
dll
Catatan . 1.Putusan Mahkamah Agung RI NO. 981
K/Pid/2004, tanggal 10 Juni 2005. Dengan Terpidana Paul Soetopo. (Telah
dipenjarakan) 2. Putusan Mahkamah Agung R.I No. 977/K/Pid/2004 tanggal 10 Juni
2005 dengan Terpidana Prof. Dr. H. Heru Soepraptomo, S.H, S.E (Telah
dipenjarakan).
Dalam periode 9 Agustus 2001 sd 20 Oktober
2004 Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan dan sekaligus sebagai Anggota
Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yaitu suatu Komite pengambil keputusan
atas kebijakan BPPN diatas 1 Trilyun. Menteri Keuangan sebagai anggota KKSK
terlibat langsung dalam setiap penambahan biaya rekapitalisasi perbankan Di
BPPN. Berdasarkan laporan audit kinerja Laporan Gabungan oleh BPK tahun 2004
adalah sebagai berikut:
1.Total Biaya Rekap untuk 7 Bank
swasta yang dibebankan kepemerintah menurut BPPN sebesar Rp 141 T
2.Total Biaya Rekap Untuk 7 Bank Swasta Yang
dibebankan kepemerintah menurut BPK sebesar Rp 134 T
3.Ada Kerugian Negara akibat kesalahan
rekapitalisasi 7 bank Swasta sebesar Rp 7 T
Pihak 2 Yang Diduga Terlibat adalah Bambang
Soebianto dan Boediono.
Dalam periode 9 Agustus 2001 sd 20 Oktober
2004
Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan
dan sekaligus sebagai Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yaitu
suatu Komite pengambil keputusan atas kebijakan BPPN diatas 1 Trilyun. Menteri
Keuangan sebagai anggota KKSK terlibat lansung dalam setiap restrukturisasi dan
penjualan Aset di BPPN. Berdasarkan laporan BPPN pada saat penutupan
jumlah Asset recovery hanya 28% dari Total Aset yang dikelola sebesar Rp 449 T.
sehingga terjadi kerugian Negara sebesar 72 % atau sebesar Rp 323 T. kerugian
Negara tersebut dianggap sebagai Biaya krisis yang harus ditanggung Negara.
Besarnya kerugian Negara tersebut akibat kegagalan restrukturisasi dan
penjualan murah asset Di BPPN Salah satu keterlibatan Boediono yang sangat
fatal adalah mendorong dan menyetujui penjulan 51 % saham pemerntah di BCA yang
sangat murah Kepada Faralllon Capital sebesar RP 5.3 Trilyun tanpa
memperhatikan masih adanya obligasi pemerintah di BCA sebesar Rp 59 Trlyun.
Boediono juga sangat Aktif dalam mengusulkan
Released and Discharge untuk para obligor penerima BLBI kepada Presiden
Megawati. Total kerugian Negara akibat BLBI, Rekapitalisasi perbankan, asset
recovery yang rendah adalah Rp 468 T, belum termasuk bunga obligasi rekap yang
dibebankan kepada APBN setiap tahunnya sebesar Rp -/+ 40 trilyun. Semua
kerugian Negara tersebut dianggap sebagai biaya untuk menangani Krisis.
Bukan hanya itu, Boediono berperan
memerintahkan saudari SCF untuk membantu Bank Century setelah menerima hasil
analisis Direktur Pengawasan yang menyatakan bahwa Bank Century Tidak layak
untuk mendapatkan FPJP. Boediono menginisiasi berbagai Rapat RDG (Tgl 5 Nov, 13
Nov, 14 Nov 2008) untuk melakukan perubahan PBI agar Bank Century dapat
menerima FPJP. Boediono membiarkan terjadinya proses pengesahan PBI yang
tidak sesuai prosedur terkait dengan mendapatkan nomor LBN dan proses
pendaftaran dan penandatanganan oleh Menkumham. Pertanggung jawaban dari pihak
yang diberikuasa untuk menandatangani perjanjian pemberian FPJP tidak dilakukan
dan tidak diuji kembali oleh Boediono selaku pemberi Kuasa sehingga membiarkan
terjadinya proses proforma dalam pemberian FPJP kepada Bank Century.
Boediono selaku Gubernur BI tidak menyediakan
informasi yang mutakhir dan terindikasi tidak menggambarkan data dan fakta yang
sebenarnya dalam penentuan Bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai
berdampak sistemik. Boediono Menandatangani keputusan yang menetapakan Bank
Century Sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik selaku anggota Komite Koordinasi
yang tidak memiliki dasar hukum.
Jadi, sekali lagi. Yopi harus ingat bahwa
fakta-fakta hukum terkait penyimpangan dalam proses bailout Bank Century sudah
tumpah ke ruang publik. Fakta hukum dan Peraturannya yang sangat penting
diantaranya adalah Kebijakan yang salah, yang dilakukan dengan sengaja dengan
alasannya sendiri, seperti kekhawatiran ada terjadi krisis. Sehingga
menimbulkan kerugian keuangan negara dan dinikmati khususnya oleh Budi
Sampoerna selaku pemilik deposito Rp.2 triliun di Bank Century dan perusahaan
beberapa perusahaan BUMN yg memiliki dana ratusan miliar di Bank tersebut.
Sebab, jika Bank itu ditutup atau tidak di bailout, maka pemilik dana trilunan
dan ratusan miliar itu, sesuai UU hanya diganti/dijamin Rp.2 miliar.
Jadi, melihat realita tersebut patut di duga
tindakan pemberian FPJP maupun bailout, merupakan ciri2 Tindak Pidana Korupsi,
walaupun bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dengan merubah Peraturan BI secara
tidak wajar untuk tujuan tertentu juga merupakan Bukti Petunjuk yang ditegaskan
dalam Hukum Acara Pidana (vide KUHAP ps.183 dan 184).
Lebih dari itu, apa sesungguhnya yang terjadi
lagi jika bank tersebut ditutup? Dana fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP)
sebesar Rp.683 miliar yang dikucurkan Boediono ke Bank Century akan hangus. Dan
Boediono selaku gubernur BI harus pertanggung jawabkan dana tersebut.
Bank Indonesia sudah tersandera dengan
keteledorannya sendiri, sehingga mau tak mau memang harus ―ngotot menyelamatkan
(bailout) Bank Century. Sebab, sekali lagi. Menutup Bank Century sama dengan
membuka kotak pandora berbagai kemungkinan tindak pidana persekongkolan yang
sangat potensial merugikan negara. Mulai dari keganjilan penyerahan dokumen
Aset Kredit (a), kuantitas Aset Kredit (b), maupun kualitasnya ini (c),
mustahil tak bisa dikaitkan dengan aspek-aspek pengawasan dari orang-orang BI
sendiri, sejak Bank Century berstatus Bank Dalam Pengawasan Khusus, 6 November
2008.
Jadi, dari kebijakan bailout Bank Century
tersebut juga patut djuga terselip maksud untuk keuntungan Boediono sendiri
atau kelompok. Dan bukan untuk penyelamatan ekonomi Indonesia. Apalagi dengan
alasan akan berdampak sistemik jika bank tersebut ditutup.
Pertanyaan penting lainnya, Kalau memang
tujuan kebijakan itu untuk penyelamatan ekonomi Indonesia, mengapa dilakukan
secara diam-diam dan tidak dilaporkan kepada presiden yang waktu itu dijabat
oleh wapres Jusuf Kalla karena SBY sedang berada di AS. Padahal sesuai UU,
presiden adalah penanggung jawab tertinggi keuangan negara. Maka tidak heran
kalau kemudian JK menyebut apa yang dilakukan Boediono selaku Gubernur BI dan
Srimulyani selaku menteri keuangan sekaligus ketua KKSK sebagai operasi senyap.
Jadi, sekali lagi. Selain penyalahgunaan
wewenang, kebijakan bailout juga dapat dikatakan menguntungkan orang lain dan
diri sendiri. Yakni menguntungkan Budi Sampoerna yang memiliki dana Rp.2
triliun di Bank tersebut dan menguntungkan dirinya sendiri selaku Gubernur BI
yang bertanggung jawab atas dana FPJP dengan tidak hangusnya dana FPJP Rp.683
miliar di Bank Century.
Dan kalau kita kaitkan dengan temuan BPK
dalam Audit Investigasi lanjutan (forensik), ada alliran dana dari Budi
Sampoerna ke berbagai pihak menjelang pemilu legislatif dan pilpres. Maka makin
memprkuat dugaan kita untuk kepentingan apa Century diselamatkan. []
Sent from my BlackBerry smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar