Ideologi,
Perikemanusiaan dan Manusia
Oleh:
KH. Abdurrahman Wahid
Di waktu jaya-jayanya pemerintahan Orde Baru, penulis dan teman-teman mendirikan Forum Demokrasi. Dalam forum itu bergabung aneka ragam manusia dengan ideologi masing-masing. Ada yang berideologi sosialistik, nasionalistik dan bahkan berideologi humanistik (perikemanusiaan). Forum ini oleh sementara kalangan intern, dianggap tidak efisien dan kurang mencapai hasil. Di sisi lain oleh pemerintahan Orde Baru, forum ini dianggap sebagai bahaya dan karenanya mereka ingin melarang/membubarkannya. Kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelegen Negara) waktu itu, Letjen Subagyo memanggil penulis untuk berbuka bersama dengan wakilnya dan para direktur badan tersebut. Ia melakukan interogasi atas diri penulis, bahkan “menuntun” penulis untuk menyatakan bahwa forum tersebut bukanlah sebuah organisasi, tidak punya keanggotaan dan tidak mempunyai pemimpin terstruktur. Dengan demikian Forum Demokrasi tidaklah merupakan oposisi terhadap pemerintah.
Dengan “tuntunan” seperti itu selamatlah forum itu, dan hanya dianggap sebagai wadah untuk mengobrol dan menumpahkan uneg-uneg para warganya belaka. Tentu saja sikap dan jawaban penulis itu terkadang menjengkelkan kawan sendiri. Penulis dianggap kurang tegas, kurang bersungguh-sungguh dan tidak berjuang menurut matriks/pola teoritis yang ada. Memang penulis tidak pernah mempergunakan kumpulan tersebut untuk maksud-maksud “yang praktis”, selain untuk tetap menghidupkan aspirasi demokratis dalam dada para warga perkumpulan tersebut. Karena itu, ia juga tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan tiba-tiba ke arah reformasi, dengan lengsernya mantan Presiden Soeharto. Dengan kata lain, Forum Demokrasi memang bersasaran terbatas, dan dengan demikian salahlah kalau dianggap harus bertindak lebih dari itu.
Memang penulis dengan gigih mempertahankan hak-hak kaum minoritas, dan tidak pernah memencilkan siapapun, termasuk mereka yang dianggap (atau benar-benar) berideologi komunis. Begitu banyak mereka yang dianggap orang komunis, tetapi tidak mengerti hakekat ideologi tersebut, menjadi “kawan” penulis. Mungkin karena “persamaan nasib” antara mereka dan penulis yaitu sama-sama dibungkam. Penulis tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah orang berideologi komunis, melainkan dalam banyak hal berpendirian sama dengan mereka. Karena itu penulis tidak pernah memperlakukannya sebagai seorang komunis. Ia lebih percaya bahwa Toer adalah seorang penulis yang lebih menekankan aspek perikemanusiaan dari pada ideologi. Demikain pula Iwan Simatupang dan Sitor Situmorang, kalau tidak bahkan Basuki Abdullah yang melukis dengan “Jiwa Kerakyatan”.
****
Pendirian penulis di atas sering membuat penulis berada dalam posisi yang tidak disukai oleh para penganut ideologi tertentu, karena dianggap tidak berdasarkan tindakan/aksi. Tetapi penulis menyadari bahwa sebanding dengan jumlah orang yang mengerti benar lingkup perjuangan, yang sebenarnya lemah dalam kenyataan walaupun kuat dalam rumusan, tidak memungkinkan diambilnya tindakan yang sesuai dengan sebuah ideologi. Kita masih berada dalam tahap melestarikan sesuatu jenis perjuangan, bukanya memaksakan hal itu untuk turut “diperjuangkan” dalam bentuk tindakan. Memang sikap seperti ini dapat dianggap sebagai kelemahan dalam perjuangan, tetapi dalam pandangan penulis rakyat harus lebih dahulu sadar akan tujuan, dan cara-cara mencapainya harus diutamakan. Kalau keduanya belum dimengerti betul oleh orang-orang yang diharapkan menjadi kawan mereka, rasa-rasanya sulit untuk dapat berhasil.
Sikap ini oleh sementara kalangan disebut sebagai sikap yang tidak revolusioner, kurang tajam unsur pendobraknya. Penulis secara teoritik dapat memahami sikap seperti itu, tetapi dalam praktek ia senantiasa mendahulukan keselamatan “api” perjuangan dari pada melakukan dobrakan-dobrakan. Karena itu penulis lebih mengutamakan upaya penyadaran terus-menerus, daripada membuat dirinya sendiri “pahlawan” karena telah berani mengadakan dobrakan. Dalam hal ini di mata penulis, orang yang pernah ditahan maupun mereka yang tidak pernah ditahan, sama-sama mempunyai jasa. Yang satu menyadarkan masyarakat melalui tindakan-tindakan yang diambilnya, yang lain melakukan penyadaran dengan memberikan contoh dan ajakan dalam bentuk kata-kata belaka. Karena itulah terkadang sikap penulis dirasakan “aneh” oleh mereka yang pernah ditahan oleh sistem yang mereka tentang. Kalau mereka dianggap non-konformis, terasa aneh bahwa penulis dianggap seorang yang konformis.
Karena sikapnya yang demikian itu, terkadang penulis dianggap sebagai pejuang yang “berbelok jalan” dalam perjuangan jangka panjang. Memang penulis hidup dalam lingkungan keagamaan, yang hampir selalu mencari “kompromi” dengan penguasa, yang tentu saja menyakitkan kawan-kawan seperjuangan. Karena itu penulis harus bersedia memberikan tempat pertama di barisan depan, kepada kawan-kawan yang melakukan tindakan nyata, dan mencoba memberikan (mencarikan) dukungan bagi apa yang mereka lakukan. Sebaliknya kepada warga lingkungannya sendiri dikalangan gerakan keagamaan, penulis selalu menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan dan keadilan. Ini berarti penulis harus sanggup menjadikan perjuangan menengakkan demokrasi sebagai “perjuangan tetap” yang dilakukannya.
****
Sekarang keadaan sudah berbeda walaupun reformasi sudah “dicuri” orang, yang atas nama demokrasi hanya mementingkan golongan mereka sendiri dan lupa kepada tujuan semula. Tetapi penulis tetap pada sasaran semula: demokrasi yang berintikan kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undang-undang. Untuk itu kita harus melakukan perubahan, guna membangun Indonesia yang demokratis di masa depan. Penulis pernah ditanya seorang wartawan dari Australia Barat, demokrasi hanya akan tercapai penuh dalam waktu 80 sampai 90 tahun. Mengapakah penulis justru menyuarakan ajakan demokrasi itu sekarang? Penulis menjawab, menurut pepatah Tiongkok kuno, perjalanan sepuluh ribu lie (lebih kurang 5.000 km) dimulai dengan sebuah langkah pertama. Penulis ingin agar langkah pertama ke arah demokrasi itu, dimulai sekarang juga.
Karean itu jugalah semenjak lengser dari kepresidenan 2,5 tahun yang lalu, penulis tidak pernah mendasarkan diri pada pemberitaan dan analisa media, termasuk polling yang mereka lakukan tentang kekuatan orang-orang yang dicalonkan menjadi Presiden. Tetapi sebaliknya penulis memulai apa yang dapat dinamakan “komunikasi langsung” dengan rakyat. Penulis berkeliling di seluruh Indonesia, umumnya lima hari dalam seminggu. Tiap hari penulis berbicara di hadapan umum 3 atau 4 kali. Waktu selebihnya di jalan, penulis gunakan untuk memantau pendapat rakyat tentang jalannya pemerintahan dan berlangsungnya kehidupan mereka. Dari proses itu, penulis yakin akan menang dalam pemilihan Presiden nanti, dan partainya (PKB -Partai Kebangkitan Bangsa) akan memenangkan pemilu legislatif yang akan datang. Sejarah yang akan membuktikan, benar atau tidaknya kesimpulan tersebut.
Nah, jelas dari uraian di atas bahwa penulis memang memiliki ideologi atau quasi ideologinya sendiri. Namun berkebalikan dari semua ideologi, penulis tidak pernah menggangap ideologi-ideologi lain sebagai musuh atau lawan. Ini adalah ciri utama dari sikap demokratis yang senantiasa memberikan tempat kepada perikemanusiaan sebagai landasan dari pandangan politik yang dianut. Karenanya penulis berharap hal ini juga diperhatikan oleh siapaun yang memegang kekuasaan, sehingga tidak diperlukan penggunaan kekuasaan, atau penggunaan wewenang secara salah. Memang mudah dikatakan, melainkan sulit diaksanakan, bukan?
Jakarta, 5 Januari 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar