Khilafah Perspektif Hizb
al-Tahrir
(Resume Disertasi Doktor)
Oleh: DR. Ainuurofiq Alamin (Pimred Majalah
NAHDLAH PCNU Jombang)
Ide pokok Hizb al-Tahrir adalah negara
khilafah. Khilafah inilah yang menjadi faktor determinan eksistensi gerakan
Islamis ini. Dikatakan demikian, karena dalam karya-karya dan aktivitas para
aktivisnya, hampir semuanya dikaitkan dengan khilafah. Khilafah menjadi
nomenklatur tak tergantikan, dewa penolong, awaited savior, serta semua problem
dan benang kusut yang ada di dunia sekarang ini, solusinya hanya satu; khilafah
harus tegak dan dibaiatnya seorang khalifah. Akhirnya, khilafah dianggap
sebagai satu-satu sistem politik yang benar, islami, dan diakui oleh Allah
serta diterima oleh Rasulullah. Sistem politik lain, semisal, republik, atau
bahkan republik Islam, adalah tidak absah, tidak islami, dan haram, serta
illegal eksistensinya.
Untuk itu, sangat urgen meneliti tentang
khilafah dengan rumusan masalah; pertama, Mengapa Hizb al-Tahrir ingin
menegakkan negara khilafah, dan bagaimana argumentasinya dibangun?; Kedua,
Bagaimana konsekuensi logis dan politis dari pemikiran khilafah yang
dikonstruksi oleh Hizb al-Tahrir?
Penelitian ini berjenis kualitatif dengan
fokus pada kajian pustaka. Adapun metode analisisnya menggunakan prinsip
pengujian kritis, yakni prinsip yang akan mengkaji secara mendalam dan kritis
terhadap ide khilafah. Prinsip ini akan menguji kontradiksi tidaknya dan
konsisten tidaknya ide khilafah yang digulirkan Hizb al-Tahrir. Jadi prinsip
ini menginginkan koherensi interen. Prinsip pengujian kritis ini tidak bisa
disamakan dengan teori kritis seperti Mazhab Frankfurt, namun antara keduanya
punya misi yang sama, yakni menginginkan penghapusan dominasi. Metode
penelitian ini akan dibantu dengan political approach (pendekatan politik).
Pendekatan politik ini menurut VD. Mahajan dalam Political Theory-nya berguna
untuk provide a framework for explanation and prediction. Untuk itu akan
dikemukakan teori-teori negara dan politik yang berguna untuk membaca ide
khilafah Hizb al-Tahrir.
Hasil penelitian (tertuang dalam bab IV dan
V) sekaligus menjawab dua rumusan masalah di atas menunjukkan; bagi Hizb
al-Tahrir , isu urgen dunia muslim saat ini adalah kembali menegakkan hukum
Allah dengan cara mendirikan khilafah. Mendirikan khilafah adalah suatu
kewajiban paling agung bagi seluruh umat Islam. Memang pada mulanya kewajiban ini
hanya fardu kifayah, namun karena seluruh umat Islam di dunia belum ada yang
berhasil menegakkan khilafah, maka kewajibannya menjadi fardu ‘ain. Tidak
berhenti sampai di situ, pelaksanaan fardu ain ini tidak sekedar adaul fard,
tapi sudah berubah menjadi qadaul fard, dengan alasan batas waktu boleh
kosongnya khilafah hanya tiga hari, padahal dalam hitungan Hizb al-Tahrir,
khilafah sudah kosong sejak 1924, dan sekarang tahun 2011, artinya sudah 87
tahun. Dengan demikian, siapa yang meremehkan penegakan khilafah ini, maka hal
itu adalah kemaksiatan maha besar yang akan dihukum dengan siksa yang pedih.
Kewajiban menegakkan khilafah dapat di-traced back dari tiga unsur utama yang
menjadi penopang argumentasinya; landasan filosofis, landasan normatif, dan landasan
historis.
Landasan filosofis ada tiga alasan. Pertama,
konsekuensi dari kamil dan syamil-nya Islam. Islam menurut Hizb al-Tahrir tidak
hanya mengatur urusan domestik, tapi juga publik berarti juga politik. Urusan
politik yang berhak mengatur adalah khilafah, tentu argumen tersebut rentan
kritik. Kedua, konsekuensi kaidah penyerta kesempurnaan, yakni suatu hal yang
bisa menjadi penyempurna kewajiban, maka suatu hal tersebut adalah wajib. Dalam
hal ini menurut Hizb al-Tahrir kewajiban ajaran Islam akan bisa terlaksana
apabila ada khilafah, maka mewujudkan khilafah menjadi wajib. Pendapat ini
adalah kesimpulan yang tergesa. Ketiga, konsep mabda’ yang digulirkan oleh Hizb
al-Tahrir. Islam adalah suatu mabda’ yang terdiri dari fikrah (ide-ide Islam)
dan tariqah (cara melaksanakan Islam). Satu-satunya tariqah sebagai pelaksana
ide-ide Islam adalah khilafah. Sekali lagi, ini adalah kesimpulan yang terlalu
cepat.
Landasan normatif ada tiga. Pertama, landasan
dari al-Qur’an. Dalam pandangan Hizb al-Tahrir banyak ayat yang menjelaskan
tentang kewajiban mendirikan khilafah seperti:
…Dan barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir. (al Maidah:44)
…Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim. (al Maidah:45)
…Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik (al Maidah:47)
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik (al Maidah:49)
Ayat-ayat di atas dalam formulasi Hizb
al-Tahrir sebagai petunjuk bahwa umat Islam wajib berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,
berarti telah terjerumus ke dalam jurang kekufuran, kezaliman, dan kefasikan.
Dalam perspektif Hizb al-Tahrir, yang berhak menjadi hakim (penguasa) adalah
khalifah. Artinya khalifah dengan khilafahnya menjadi wajib diwujudkan. Ini
adalah sebentuk dari jumping to conclusion. Karena yang namanya hakim
(penguasa) tentu tidak hanya khalifah saja, presiden atau yang lain juga bisa
disebut penguasa. Dalam musyawarah Alim Ulama sekitar tahun 1950-an, Soekarno
disebut sebagai penguasa dengan julukan waliyyul amri ad daruri bissyawkah.
Kedua, landasan dari hadis-hadis, seperti
hadis, “Sesungguhnya Imam itu adalah seperti perisai, orang berperang di
belakangnya, dan berlindung kepadanya.” Menurut Hizb al-Tahrir, imam dalam
hadis berarti adalah khalifah. Ini adalah jumping to conclusion juga, karena
jelas yang disebut imam tidak harus khalifah. Ketiga, landasan dari ijmak
sahabat. Hizb al-Tahrir berpendapat bahwa pasca Nabi wafat, para sahabat
berkumpul di balai irung Saqifah Bani Saidah yang akhirnya bersepakat membaiat
Abu Bakr untuk menjadi khalifah. Hal yang menjadi pertanyaan, apakah betul para
sahabat telah berijmak atau berittifaq dalam peristiwa historis di atas? Kalau
ditelusuri dalam tarikh, semisal tarikh Tabari, Tabaqat Kubra, Ansabul Kubra
dan lain-lain, ternyata tidak semua sahabat bersepakat. Terbukti Sahabat yang
bernama Saad bin Ubadah bersumpah tidak akan membaiat Abu Bakr dan Umar bin
Khattab hingga menemui ajalnya. Dengan demikian, argumen ijmak sahabat atas
wajibnya khilafah menjadi gugur.
Selanjutnya landasan historis yang berupa
khilafah telah ada sejak awal Islam hingga tahun 1924 saat runtuhnya Turki
Uthmani. Pada masa berabad abad tersebut menurut Hizb al-Tahrir adalah masa
kekhilafahan. Dengan penelitian yang mendalam dari peneliti, ternyata, argumen
di atas adalah rapuh. Terbukti masa tersebut tidak hanya khilafah saja, selain
itu juga tidak ada kesatuan khilafah secara kontinyu pada masa tersebut, dan
yang lebih penting, apakah nilai-nilai Islam sepenuhnya mengejawantah pada
dunia nyata pada masa itu? Masih menjadi pertanyaan besar.
Hasil lain dari penelitian ini; khilafah bagi
Hizb al-Tahrir sebagai sistem politik yang tak tergantikan, tidak dapat
ditukar, dan tidak boleh diubah. Walaupun kenyataannya, dalam karya-karya yang
dikeluarkan oleh gerakan ini, masalah khilafah telah mengalami evolusi atau
perubahan, ini adalah sebentuk dari inkonsistensi. Konsekuensi lain, pemikiran
khilafah versi Hizb al-Tahrir akan membuka peluang menjadi negara absolut dan
pemerintahan yang autokratik. Hal ini terbukti semisal dengan satu contoh
kewenangan khalifah yang begitu besar. Kalau meminjam trias politika yang
disitu ada separasi kekuasaan; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tiga
kekuasaan ini semuanya ada di tangan khalifah. Para bawahan khalifah atau
struktur yang ada dalam negara khilafah, kewenangannya adalah sekedar delegasi,
bukan atribusi. Walhasil, khalifah adalah khilafah itu sendiri, dan itu
dinyatakan dalam rancangan undang-undangnya, dan masih banyak contoh lain yang
peneliti uraiakan dalam disertasi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar