Sejarah “Hitam” Kaum Wahabi
Oleh: MN Harisudin
Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap
kaum Wahabi. Seperti dituturkan KH Abd. Muchith Muzadi, sang Begawan NU dalam
kuliah Nahdlatulogi di Ma’ had Aly Situbondo dua bulan yang silam, jam’iyyah
Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem
pemahaman agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum
Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Kemal
Attartuk di Turki, saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul Ulama
di tahun 1926 M sejatinya merupakan simbol perlawanan terhadap dua kutub
ekstrem tersebut.
Hanya saja, kali ini, karena keterbatasan
space, saya akan membatasi tulisan ini pada bahasan kutub ekstrem yang pertama,
Wahabi. Pun bahwa saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara khusus pada
sejarah kelamnya di masa lampau, belum pada doktrin-doktrin, tokoh-tokohnya
atau juga yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita
gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang
akan datang. Karena bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat
itu merupakan goresan noda hitam. Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah
wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam
yang semula ramah menjadi penuh amarah.
***
Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah
sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn
Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad
Ibn Hanbal. Ibnu Abd Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah,
masuk daerah Najd yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia sekarang.
Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari
jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah
sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin
Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik
kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah).
(Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)
Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini
dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur’an
maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi,
menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman
yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di
luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa
dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling
mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak
ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama
yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt.
Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi
ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu
Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan
dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud
misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu
kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir’iyyah. Koalisipun
dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung
dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan
membid’ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu
Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi
orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul
Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda
pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak
sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak
sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan bahkan
wajib diperangi. Sementara, predikat muslim menurut Wahabi, hanya merujuk
secara eklusif pada pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Unwan
al-Majd fi Tarikh an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan
membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah,
termasuk anak-anak dan wanita.
Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H,
Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota
Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para
ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian
pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan
bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur’an dan al-Hadits,
pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mau’idzah hasanah sebelum khutbah
Jumat, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharamkan
kopi.
Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu
menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial.
Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400
ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak
dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa
di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab
Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku
Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan
para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka
sebagai harta rampasan perang.
Di sini, setidaknya kita melihat dua hal
tipologi Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama,
ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan
secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang
berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka
memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan
dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan.
Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan
amar maruf nahi mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam.
***
Membanjirnya buku-buku Wahabi di Toko Buku
Gramedia, Toga Mas, dan sebagainya akhir-akhir ini, hemat saya, adalah
merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal,
intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi
Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa
dilakukan adalah dengan membid’ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan
mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas
hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran
demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.
Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat
nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan
militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan
pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan
mereka. Jika wong NU, jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas lain yang satu
barisan dengan keislaman yang moderat dan rahmatan lil alamien tidak mampu membentenginya,
saya membayangkan Indonesia yang kelak menjadi Arab Saudi jilid kedua. Saya
tidak dapat membayangkan betapa mirisnya jika para kiai dan ulama kita kelak
akan menjadi korban pembantaian kaum Wahabi, terutama ketika mereka sedang
berkuasa di negeri ini. Naudzubillah wa naudzubilah min dzalik. Wallahualam. **
* Wakil Sekretaris PCNU Jember, Wakil
Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdaltul Ulama Jember, PW Lajnah Talif wa
an-Nasyr NU Jawa Timur dan kini menjabat sebagai Deputi Direktur Salsabila Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar