Setelah Persoalan
Makanan yang Mahal Dipecahkan
Senin, 03 Desember
2012
Dicari : 100.000 ekor
anak sapi
Waktu : Tahun 2013
Pembeli : BUMN
Tujuan : Dipelihara
sebagai sapi potong untuk membantu mengatasi kekurangan daging local
Itu bukan iklan
biasa. Itu iklan yang sangat mendesak. Mencari 20.000 ekor anak sapi saja
ternyata bukan main sulitnya. Apalagi 100.000 atau bahkan 200.000.
Maka, setelah
teman-teman BUMN menekuni persapian selama enam bulan, rupanya diperlukan
sebuah pertolongan. Teman-teman BUMN yang keahliannya berkebun sawit, tidak menemukan
akal untuk mengatasi kekurangan bibit sapi.
Jelaslah bahwa
mahalnya makanan ternak, yang dulu dianggap sebagai persoalan besar, ternyata
bukan satu-satunya persoalan di bidang peternakan sapi. Soal itu sudah
ditemukan jalan keluarnya: daun dan pelepah sawit ternyata bisa untuk bahan
pokok makanan sapi yang murah. Daun dan pelepah sawit dihancurkan untuk
dibentuk mirip rumput.
Tidak ada masalah
teknis di sini. Tinggal diperlukan beberapa tambahan untuk kelengkapan
nutrisinya.
BUMN memiliki sekitar 800.000 ha kebun kelapa sawit. Bermiliar pohon sawit menghasilkan daun dan pelepah yang luar biasa banyak. Begitu banyak daun sawit yang selama ini dibuang begitu saja di kebun.
BUMN memiliki sekitar 800.000 ha kebun kelapa sawit. Bermiliar pohon sawit menghasilkan daun dan pelepah yang luar biasa banyak. Begitu banyak daun sawit yang selama ini dibuang begitu saja di kebun.
Berdasar logika
itulah, saya memutuskan untuk menugasi perusahaan perkebunan sawit milik BUMN
untuk memelihara sapi. Ini agar bisa membantu kecukupan daging di dalam negeri.
Selama ini kita masih harus impor daging dalam jumlah yang sangat besar.
Tahun lalu kita impor
daging setara dengan kira-kira 300.000 ekor sapi. Tahun ini kita masih harus
impor daging kurang lebih sebesar itu lagi. Pada awalnya kami membuat target
yang agak ambisius: memelihara 100.000 ekor sapi di seluruh perkebunan kelapa sawit
BUMN.
Jumlah itu, meski
terlihat ambisius, masih terlalu kecil untuk bisa menutupi kekurangan daging
dalam negeri. Karena itu, kalau saja target 100.000 ekor berhasil, jumlahnya
akan terus ditingkatkan.
Ternyata tidak mudah
mendapatkan bibit sampai 100.000 ekor. Semula ada asumsi bahwa kita kekurangan
daging karena peternak kurang bersemangat memelihara sapi. Penyebabnya: makanan
ternak terlalu mahal sehingga hasil penjualan sapi habis untuk membeli makanan
ternak.
Kini BUMN memiliki
sumber makanan ternak yang sangat murah dan melimpah. Ternyata itu belum juga
menjadi solusi yang jitu.
Sulitnya mencari
anakan sapi yang bisa digemukkan di ladang-ladang sawit telah terbukti
menggagalkan target tersebut. Daerah yang biasa menjadi sumber anak sapi yang
besar (Lampung, Jateng, Jatim/Madura, Sulsel, Bali) menjadi sasaran pencarian.
Tapi, jumlah yang bisa dibeli sangat terbatas. Sampai akhir tahun ini
diperkirakan hanya akan ada 20.000 ekor.
Mungkin dari NTB/NTT
bisa diperoleh tambahan anak sapi. Tapi, ongkos angkut ke Sumatera sangat
mahal. Jumlahnya pun tidak akan bisa mencapai 100.000 ekor, apalagi 300.000.
Betul-betul perlu bantuan ide yang realistis dari siapa pun untuk memecahkan
persoalan ini.
Sumber makanan ternak
yang murah dan melimpah ada di Sumatera (barat). Sedangkan sumber bibit sapi
ada di NTB/NTT (timur). Jarak barat-timurnya begitu jauh.
Memang ada ide yang kelihatannya masuk akal: makanan ternaknya yang dikirim ke timur.
Di kebun-kebun sawit
di Sumatera bisa dibangun pabrik makanan ternak yang bahan bakunya dari daun
sawit dan bungkil kelapa. Lalu bahan itu diangkut ke timur. Mengangkut makanan
ternak lebih mudah dan lebih murah daripada mengangkut sapi hidup.
Tapi, ide yang
kelihatannya hebat ini tidak bisa dilaksanakan. Daun sawit yang selama ini
dibuang itu pada dasarnya menjadi pupuk bagi sawit itu sendiri. Kalau daunnya
diangkut keluar dari kebun, hilanglah salah satu sumber pupuk alami kebun
tersebut.
Ini berbeda kalau
daun sawit tersebut dimakan sapi di lokasi yang sama. Sapi akan mengeluarkan
kotoran. Kotoran sapi itulah yang dijadikan pupuk untuk menggantikan daun sawit
yang hilang. Meski kehilangan daunnya, kebun sawit mendapat ganti dari kotoran sapi.
Bagaimana memecahkan
ini? BUMN tetap ingin berbuat untuk ikut memecahkan persoalan kekurangan daging
ini. Tapi, diperlukan ide-ide yang realistis dan bisa dilaksanakan dengan
segera.
Salah satu ide baru
yang ditemukan adalah ini: harus ada program khusus membuat anak sapi
sebanyak-banyaknya di Sumatera. Dengan demikian, pengangkutan anak sapi ke
kebun-kebun sawit tidak terlalu jauh.
Tapi, harus ada
pendataan ini: ada berapakah sapi betina yang siap bunting di seluruh Sumatera?
Misalnya, ada 300.000 sapi betina usia bunting di seluruh Sumatera, BUMN bisa
membantu para pemilik sapi untuk melaksanakan kawin masal melalui “kawin suntik” (inseminasi buatan).
Kementerian Pertanian
sudah memiliki lembaga yang memproduksi sperma sapi dari benih unggul.
Lembaga itu memiliki reputasi sangat baik. Bahkan, sudah dipercaya Jepang,
Malaysia, dan beberapa negara tetangga. Mereka sering membeli sperma sapi
buatan Malang itu karena harganya yang sangat murah dan mutunya yang baik.
Tingkat keberhasilan
sperma sapi buatan negara maju memang lebih tinggi (96 persen). Tapi, karena
harganya yang 30 kali lipat lebih mahal daripada sperma bikinan Malang,
jatuhnya masih sangat mahal. Padahal, sperma bikinan Malang, meski tingkat
keberhasilannya kalah, tidak beda jauh: 81 persen.
Dokter hewan Herliantin, ahli inseminasi buatan lulusan Universitas
Airlangga Surabaya yang bekerja di lembaga tersebut, setuju dengan
ide itu. Syaratnya, jumlah sapi betina di seluruh Sumatera mencukupi.
Herliantin siap memasok sperma unggul sampai 500.000 paket.
Maka, teman-teman
BUMN punya pekerjaan baru: mengumpulkan data sapi betina di seluruh Sumatera.
Lalu melakukan koordinasi dengan dinas-dinas peternakan kabupaten: apakah para
pemilik sapi betina bersedia diajak mengikuti program kawin suntik ini.
Menurut drh
Herliantin, kini tidak ada lagi persoalan teknis maupun nonteknis. Dulu memang
pernah ada persoalan nonteknis di Madura: sapi hasil kawin suntik dianggap
haram. Tapi, setelah dilakukan berbagai penjelasan, akhirnya para ulama di
Madura tidak mempersoalkannya lagi.
Dengan sudah
ditemukannya sumber makanan sapi yang melimpah dan murah, persoalan
ketersediaan anak sapi menjadi persoalan utama yang harus dipecahkan. Peternak
memang lebih memilih usaha penggemukan daripada usaha memproduksi anak sapi.
Menggemukkan sapi
cukup dalam waktu enam bulan. Cukup membeli anak sapi yang sudah berumur dua
tahun. Enam bulan kemudian sudah bisa dijual.
Bandingkan kalau
peternak harus fokus ke usaha memproduksi anak sapi. Mereka harus membeli induk
dulu. Lalu dikawinkan. Kalaupun berhasil, 10 bulan kemudian baru beranak. Lalu
harus memelihara anak itu dua tahun.
Total diperlukan
proses pemeliharaan selama tiga tahun untuk bisa menjual anak tersebut. Selama
tiga tahun itu biaya yang dikeluarkan sangat besar seiring dengan mahalnya
makanan ternak.
Saya yakin, kalau
persoalan ini dibuka di sini, akan banyak ahli dan praktisi yang bisa ikut
memecahkannya. Prinsipnya, BUMN bersedia ikut membantu mengatasi kekurangan
daging tersebut. Prinsip yang lain: BUMN memiliki sumber makanan ternak yang
murah dan melimpah. Hanya lokasinya di Sumatera.
Tim BUMN pun akan
dengan senang menerima ide-ide itu melalui email: ideaanaksapi@gmail.com. Siapa tahu,
dan saya berharap, ada pemikiran yang bisa cepat diwujudkan. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar