Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
MENGAPA harus takut menyelesaikan persoalan?
Hak Menyatakan Pendapat (HMP) atas skandal Bank Century yang diwacanakan DPR
belakangan ini dilandasi semangat menyelesaikan persoalan. Implikasi politiknya
memang tak terhindarkan. Mengapa juga harus takut dengan implikasi politik dari
HMP?
Itulah risiko yang harus ditanggung bangsa
ini, jika ada kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan hingga
tuntas skandal Bank Century. Mengambangkan penyelesaian hukum dan penyelesaian
politik skandal Bank Century merefleksikan sikap pengecut. Kalau pengecut,
jelas Anda tidak layak memangku jabatan-jabatan strategis untuk mengelola
kepentigan negara dan kepentingan rakyat. Tentu akan lebih buruk lagi kalau
motif mengambangkan penyelesaian Skandal Century adalah menyembunyikan
pelanggaran hukum yang diduga dilakukan elit penguasa. Ini kebiasaan buruk yang
coba diulang-ulang.
Kalau kebiasaan buruk ini tidak dihentikan,
perjalanan sejarah bangsa memasuki dekade-dekade selanjutnya akan sarat dengan
dosa sejarah karena ketakutan generasi saat ini menyelesaikan persoalan. Ada
begitu banyak kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang terjadi pada era
sebelumnya tak pernah ditangani. Kasus BLBI bahkan nyaris sudah menjadi dosa
sejarah karena generasi terkini pun tak berani menuntaskan kasus itu. Haruskah
nasib skandal Century dibiarkan sama dengan kasus BLBI karena bangsa ini takut
menyesaikan persoalan-persoalan besar?
Indonesia tidak boleh terperangkap dalam rasa
takut itu. Mewujudkan Indonesia Negara Hukum menuntut konsistensi. Konsistensi
harus dibuktikan dengan kemauan dan keberanian politik yang sungguh-sungguh
dalam menyelesaikan hingga tuntas persoalan-persoalan hukum, baik skala besar
maupun kecil. Sebesar atau sekecil apa pun persoalan hukum itu, penyelenggara
negara dan pemerintahan harus memastikan tidak pertanyaan yang tersisa di benak
rakyat dari setiap kasus atau persoalan hukum. Itulah konsistensi yang
dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia Negara Hukum.
Sistem hukum dan sistem politik Amerika
Serikat (AS) saat ini sedang menyelesaikan skandal perselingkuhan yang
melibatkan (mantan) direktur Badan Intelijen AS (CIA), David Petraeus dan John
Allen, jenderal bintang empat yang menjabat Panglima Pasukan AS di Afghanistan.
Di Prancis, mantan Presiden Nicolas Sarkozy diajukan ke pengadilan karena
dituduh menerima dana sumbangan ilegal untuk kampanye tahun 2007 dari ahli
waris industri kosmetika L'Oreal, Liliane Bettencourt. Sementara di Italia,
mantan Perdana Menteri Silvio Berlusconi juga harus dihadapkan ke pengadilan
dengan tuduhan menyalahgunakan kekuasaan dan membayar remaja usia 17
tahun untuk melakukan hubungan seksual. Itulah contoh negara yang mencoba
konsisten menegakan keadilan dan contoh konsistensi tentang menempatkan semua
orang sama di hadapan hukum. Tidak ada implikasi politik yang luar biasa
di tiga negara itu berkat kedewasaan dan kematangan berpolitik.
Pertanyaan kemudian adalah mengapa harus
terjadi ketakutan luar biasa manakala muncul desakan agar skandal Bank Century
segera dituntaskan, baik melalui mekanisme hukum maupun mekanisme politik?
Kalau yang dijaga semata-mata stabilitas pemerintahan, berarti aspek
keadilan yang dikorbankan. Kalau seperti itu maunya, jangan lagi berangan-angan
mewujudkan Indonesia Negara Hukum. Kalau dikhawatirkan pemakzulan Wakil
Presiden (Wapres) Boediono akan memakan biaya politik sangat besar, berarti
benar bahwa budaya politik kita masih jauh dari tahap dewasa. Kalau pun harus
terjadi pergantian figur wakil presiden, mestinya tidak mahal. Juga tidak harus
menimbulkan implikasi politik yang luar biasa. Sebab, hanya dibutuhkan
kesepakatan sejumlah partai politik anggota koalisi yang mendukung pemerintahan
saat ini.
Soal Pilihan
KPK sudah menemukan fakta tindak pidana
korupsi oleh dua pejabat Bank Indonesia (BI) dalam pemberian fasilitas pinjaman
jangka pendek (FPJP) untuk eks Bank Century, sehingga merugikan keuangan
negara. Selain itu, kedua pejabat BI itu diduga menyalahgunakan wewenang mereka
saat menetapkan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Sangat logis juga kalau KPK sampai pada kesimpulan bahwa Gubernur BI waktu itu,
Boediono (kini menjabat Wapres RI), juga mengerti dan berperan dalam
pemberian FPJP sebesar Rp 6,7 triliun pada 2008 itu.
Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum
skandal Bank Century tentu saja harus memberi perhatian ekstra ketika KPK
menegaskan bahwa Boediono tidak kebal hukum. Dia bisa diperiksa lagi oleh KPK,
dan tak tertutup kemungkinan menjadi tersangka jika KPK sudah memeriksa dua
pejabat BI yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Mengacu pada progres yang diperlihatkan KPK,
sebuah tim kecil yang dibentuk Timwas DPR mulai menyusun draff laporan akhir.
Laporan itu akan dibahas dalam rapat pleno internal Timwas DPR pada awal
Desember 2012. Pleno Timwas DPR akan menetapkan sebuah keputusan, yang akan
dibacakan dalam forum sidang paripurna DPR untuk penutupan masa sidang 2012,
yang dijadualkan pertengahan Desember 2012.
Bagaimana pun, Timwas DPR menggarisbawahi
keputusan KPK yang telah meningkatkan penanganan kasus Bank Century ke tahap
penyidikan karena telah diketemukannya fakta tindak pidana korupsi, perbuatan
melawan hukum, penyalahgunaan wewenang dan unsur kerugian negara. Karena
fakta-fakta itu terjadi saat Boediono menjabat Gubernur BI, Timwas DPR
kemungkinan besar akan merekomendasikan kepada DPR untuk menggunakan HMP.
Dianggap sangat penting karena HMP akan memberi kepastian hukum dan kepastian
politik bagi Boediiono.
Timwas DPR sadar betul bahwa agenda HMP tak
mudah. Bukan pekerjaan ringan untuk bisa mendapatkan dukungan mayoritas di DPR.
Sebab, pelaksanaan HMP harus didukung dua pertiga suara anggota DPR. Publik
tahu bahwa di atas kertas, mayoritas anggota DPR adalah pendukung pemerintah.
Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menunggu pandangan akhir Mahkamah
Konstitusi (MK). Untuk sampai pada penilaian akhir, MK bisa butuh waktu 90 hari.
Kalau menurut MK tidak ditemukan cukup bukti
adanya perbuatan melawan hukum, Boediono otomatis bebas. Nama baiknya wajib
dipulihkan. Dengan demikian, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono tidak memiliki beban lagi atau
tersandera kasus Bank Century. Sebaliknya, jika penilaian MK sejalan dengan
temuan BPK dan Pansus DPR, terbuka peluang bagi tokoh-tokoh Partai
Demokrat untuk menduduki kursi Wapres yang ditinggalkan Boediono. Sebab,
wewenang untuk mengajukan pengganti Boediono dalam Sidang Istimewa MPR adalah
Presiden SBY.
Idealnya, wacana tentang HMP dipahami sebagai
niat menyelesaikan persoalan hukum yang selama ini menyandera pemerintahan
SBY-Boediono. Bahwa HMP punya implikasi politis, memang tak terhindarkan karena
HMP itu menyentuh jabatan politis. Maka, Implikasi politik dari HMP harus
diterima sebagai konsekuensi logis. Apa yang ditakutkan dari implikasi itu?
Pilihannya sebenarnya sangat jelas dan
sederhana. Tetap membiarkan pemerintahan ini tersandera plus citra buruk yang
harus ditanggung Boediono, atau membebaskan pemerintahan SBY dari kecurigaan
dan tuduhan sekaligus memulihkan nama baik Boediono? Siapa yang bisa dan berhak
memilih tak perlu disebutkan lagi.
Tapi, kalau rakyat yang ditanya, bukan
jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan balik; kenapa harus takut
menuntaskan kasus Century? []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar