Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Korps Alumni HMI (KAHMI)
Di tengah gaduh politik yang nyaris tak
berkesudahan, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi saat ini ibarat
tamparan keras yang mempermalukan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di mata rakyat. BBM bersubsidi kembali bermasalah karena
kabinet tidak fokus mengelola kebutuhan rakyat.
Para pembantu presiden sudah lama menerima
informasi tentang terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan BBM bersubsidi.
Praktik pencurian BBM bersubsidi bukan cerita baru. Tetapi, ketika sebuah hasil
kajian menyimpulkan bahwa volume pencurian BBM bersubsidi mencapai 30 persen
dari total alokasi untuk setiap tahun anggaran, persoalannya mestinya menjadi
sangat serius dan direspons dengan langkah-langkah yang luar biasa. Tetapi,
para pembantu presiden tampak menyederhanakan persoalan ini, sehingga strategi
memerangi pencurian BBM bersubsidi pun nyaris tanpa militansi.
Juga bukan cerita dan fakta baru bahwa BBM
bersubsidi pun banyak dinikmati oleh elemen-elemen masyarakat yang sesungguhnya
tidak berhak mendapatkan atau menikmati subsidi. Namun, ketika mereka yang
tidak berhak itu justru menyerap atau mengonsumsi BBM bersubsidi sampai 77
persen dari volume yang dialokasikan, itu menjadi bukti telah terjadinya
kesalahan fatal pada sistem distribusi BBM bersubsidi. Namun, para pembantu
presiden lagi-lagi tidak memaknai fakta ini sebagai persoalan yang sangat
serius.
Anehnya, para pembantu presiden sudah
berulangkali menjadikan fakta pencurian dan kesalahan distribusi BBM bersubsidi
ini sebagai argumentasi pembelaan diri. Logika persoalannya dibolak-balik
karena para pembantu presiden tidak ingin disalahkan. Para pembantu presiden
itu secara tidak langsung ingin mengatakan kepada masyarakat bahwa kuota BBM
bersubsidi cepat habis karena 30 persen dicuri dan 77 persen lainnya dikonsumsi
oleh pemilik kendaraan roda empat pribadi. Salah siapa? Jelas bahwa dengan
argumentasi seperti itu, para pembantu presiden ingin agar masyarakat
menyalahkan pencuri dan individu-individu pemilik kendaraan roda empat yang
ikut-ikutan mengonsumsi BBM bersubsidi.
Begitulah perilaku menutupi ketidakmampuan
dengan cara menyalahkan orang lain. Jelas bahwa dalam persoalan ini,
pemerintah cq Pertamina berada di posisi ‘pemilik’ dan pengelola BBM. Kalau BBM
bersubsidi-nya dicuri orang, pemerintah harus menyalahkan dirinya sendiri
karena tidak becus mengelola dan menjaga komoditas BBM bersubsidi. Begitu juga
dengan perkiraan 77 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh mereka yang tidak
berhak menikmati subsidi. Kenapa orang-orang berpunya itu diberi akses untuk
mendapatkan BBM bersubsidi? Berarti, pemerintah tidak pernah mau memperbaiki
kesalahan fatal yang terjadi pada sistem distribusi BBM bersubsidi.
Akibatnya, kelangkaan BBM bersubsidi kembali
terjadi. Rakyat di seluruh pelosok negeri, selama hampir dua minggu terakhir
ini , lagi-lagi terjebak dalam ketidaknyamanan karena pemerintah tidak becus
mengelola kuota BBM bersubsidi. Siapa yang akan dikambinghitamkan oleh
masyarakat dalam persoalan ini? Sudah pasti Presiden SBY, bukan para menteri
atau Pertamina. Masyarakat mencatat bahwa di era pemerintahan SBY sudah
beberapa kali terjadi kelangkaan BBM bersubsidi.
Kelangkaan BBM bersubsidi yang terjadi
sekarang ini benar-benar mempermalukan pemerintahan SBY, karena terjadi di
sela-sela kegaduhan politik yang dipicu oleh para pembantu presiden sendiri.
Mereka tidak sepenuhnya fokus dan berorientasi pada deskripsi fungsi, tugas dan
wewenang mereka sebagai pembantu presiden. Mereka malah bergenit-genit di
panggung politik membangun citra, dan melakukan manuver politik yang sama
sekali tidak relevan dengan tugas, fungsi dan wewenang mereka.
Karena Sekretaris Kabinet sibuk menghimpun
data kongkalikong antara oknum kementerian dan oknum anggota DPR dalam
penyusunan anggaran, dia tak punya waktu untuk menanyakan persoalan BBM
bersubsidi kepada Pertamina dan menteri-menteri terkait. Lalu, karena Menteri
BUMN menghabiskan energinya dengan isu pemerasan BUMN oleh oknum anggota
DPR, dia mungkin tak sempat berdiskusi dengan Pertamina tentang bagaimana
mereduksi pencurian BBM bersubsidi dan memperbaiki sistem distrbusinya.
Makin Rapuh
Disadari atau tidak, rangkaian kegaduhan
politik yang dipicu orang-orang dekat Presiden membuat manajemen pemerintahan
Presiden SBY semakin rapuh. Dan, Itu sebabnya masalah muncul silih berganti.
Dari masalah kisruh KPK versus Polri, berlanjut ke kontroversi grasi untuk
terpidana mati kasus narkoba Meirika Franola dan kini muncul lagi masalah
kelangkaan BBM bersubsidi. Jangan dilupakan bahwa konflik horizontal masih
sering terjadi di sejumlah daerah.
Rakyat memang merasakan negeri ini tiba-tiba
menjadi begitu gaduh dan sarat masalah. Sudah berkembang asumsi bahwa kemampuan
Pemerintah pusat dan daerah dalam mengendalikan segala sesuatunya terus
melemah, sehingga sejumlah masalah tidak tuntas penyelesaiannya. Contoh
kasusnya adalah kisruh KPK versus Polri yang ternyata berlanjut dengan
mundurnya sejumlah penyidik KPK dari unsur Polri. Mengapa presiden tidak menggunakan
wewenangnya untuk menghentikan upaya pelemahan KPK? Inilah pertanyaan yang
mengemuka di ruang publik.
Sementara itu, pihak berwenang di sejumlah
daerah bahkan tak mampu mencegah konflik horizontal. Penegasan Presiden SBY
bahwa ada jarak antara pemerintah pusat dengan warga di wilayah konflik karena
alasan otonomi daerah dirasakan janggal. Penegasan itu bisa ditafsirkan
sebagai niat pemerintah pusat mengurangi tanggungjawabnya terhadap upaya-upaya
mewujudkan ketertiban umum di daerah.
Oleh karena manajemen Pemerintahan terus
memburuk akhir-akhir ini, Presiden SBY perlu mengharmonisasi lagi anggota
kabinetnya, dan juga mengonsolidasi pemerintahan daerah. Soliditas
pemerintahan pusat dan daerah diperlukan untuk merespon sejumlah persoalan yang
mengemuka saat ini.
Manuver Sekretaris Kabinet Dipo Alam sudah
pasti menimbulkan disharmoni di tubuh Kabinet Indonesia Bersatu-II. Sangat
memprihatinkan karena perilaku tidak profesional itu dibiarkan oleh presiden.
Omong kosong kalau dikatakan semua anggota kabinet bisa menerima dengan lapang
dada apa yang dilakukan Dipo Alam. Mana ada Menteri dan jajaran kementerian
yang tidak gusar dituduh menyiasati dan mengorupsi anggaran.
Suasana di lingkungan manajemen BUMN pun
boleh jadi tidak kondusif, menyusul isu pemerasan BUMN oleh oknum anggota DPR.
Apalagi, beberapa laporan Menteri BUMN Dahlan Iskan sama sekali tidak
akurat, bahkan sudah memfitnah. Akan muncul persoalan psikologis di tubuh
manajemen BUMN, karena bagaimana pun akan terbentuk persepsi bahwa manuver Dahlan
Iskan sudah men-disharmoni DPR-BUMN..
Efektvitas pemerintahan di sejumlah daerah
pun menurun, setelah lebih dari 1.000 pejabat daerah dilaporkan ke pihak
berwenang karena bermasalah dengan hukum. Lebih dari 100 pejabat daerah
berstatus tersangka, ratusan lainnya terdakwa dan puluhan lainnya sedang
diadili.
Dalam suasana yang tidak kondusif seperti
itu, pemerintah dikhawatirkan tidak bisa berperan efektif untuk merespons
sejumlah persoalan. Kelangkaan BBM bersubsidi yang mulai terjadi di banyak
daerah bisa menimbulkan ekses yang serius jika pemerintah gagal
menyosialisasikan kebijakan BBM bersubsidi.
Karena itu, presiden harus bisa ‘memaksa’
para menteri dan para kepala daerah untuk fokus dan berorientasi pada deskripsi
tugas, fungsi dan wewenang mereka masing-masing. Waktu yang tersisa bagi
pemerintahan Presiden SBY untuk unjuk kinerja kepada rakyat tidak banyak lagi.
Sebab, 2013 adalah tahun persiapan menyongsong tahun politik pada 2014.
Periode waktu yang sangat berisiko bagi soliditas kabinet dan manajemen
pemerintahan. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar