Di Jatitujuh RNI
Terbang Tinggi
Senin, 10 Desember
2012
HARI Sabtu yang panas
di Jatitujuh, Majalengka. Para penari yang cantik mengabaikan matahari yang
sedang terik-teriknya. Seribu pekerja dari 11 pabrik gula di lingkungan PT
Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) sedang berkumpul di situ. Mereka
mengadakan syukuran. Musim giling 2012 sudah selesai. Hasilnya: top markotop.
Mereka bertepuk
tangan tidak habis-habisnya ketika diumumkan bahwa seluruh karyawan akan
mendapatkan jasa produksi sampai enam kali gaji. Ini tahun pertama karyawan
menikmati bonus sebesar itu setelah lebih enam tahun tidak pernah lagi
merasakannya.
Pabrik gula di
lingkungan PT PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Grup memang sudah lama
merugi dan merugi. Berbagai jalan keluar sudah diusahakan, tapi gagal dan
gagal. Kambing hitam pun dicari. Tidak jauh-jauh mencarinya. Kambing hitam itu
ada di dalam pabrik. Mesin-mesin pabrik gula yang sudah tua dijadikan tertuduh
tunggal.
Kata mereka: Kalau
tidak ada penggantian mesin, kalau tidak dibangun pabrik baru, kalau tidak
dilakukan revitalisasi, mustahil pabrik-pabrik gula itu bisa keluar dari
kesulitan. Kepada saya pun dikemukakan hal-hal seperti itu. Bahkan, ketika saya
dikerubungi karyawan dan para petani tebu di Cirebon sembilan bulan lalu, saya
seperti setengah dipaksa untuk merevitalisasi pabrik gula di sana. Saya
bergeming. Saya tidak mau melakukannya.
Saya melihat bukan di
situ persoalannya. Melakukan revitalisasi memang penting, tapi tidak sekarang.
Revitalisasi memerlukan dana yang amat besar: satu pabrik bisa Rp 2 triliun.
Waktunya pun bisa dua tahun. Kalau revitalisasi yang dipilih, perbaikan produksi
gula baru bisa dilakukan tiga tahun lagi. Itu pun kalau uangnya ada.
Padahal, kita perlu
meningkatkan produksi gula sekarang juga. Kita perlu memperbaiki nasib karyawan
sekarang juga. Kita perlu memperbaiki nasib petani tebu sekarang juga.
Revitalisasi pabrik gula memang ideal, tapi bisa-bisa hanya indah untuk
dibicarakan, namun sulit dilaksanakan.
Memperbaiki manajemen
jauh lebih cepat. Maka, perombakan manajemen di PT RNI dilakukan secara
drastis. Rasanya di PT RNI-lah perombakan manajemen paling drastis dilakukan
setahun lalu. Lebih drastis dibanding di BUMN mana pun. Ismed Hasan Putro,
komisaris di RNI, diangkat jadi direktur utama.
Semula memang agak
heboh-heboh. Serangan paling keras adalah Ismed dinilai sebagai teman baiknya
Menteri BUMN.
Ketika nama Ismed
diusulkan untuk menjadi Dirut RNI, saya sendiri sebenarnya agak ragu: bisakah
Ismed menjadi Dirut yang baik? Jangan-jangan dia hanya pandai demo. Saya tahu
dia tukang demo atau tukang memprakarsai demo. Jangan-jangan Ismed hanya pandai
berteriak-teriak di jalan. Jangan-jangan dia hanya pandai mengkritik.
Jangan-jangan dia hanya antikorupsi ketika melakukan demo, tapi ikut korupsi
ketika memegang kekuasaan.
Saya memang kenal
dia. Apalagi, kalau akhir Ramadan. Hampir setiap tahun (ketika belum jadi orang
pemerintah) saya selalu menghabiskan sembilan hari terakhir bulan puasa di
Makkah bersama dia.
Saya ragu apakah
badannya yang kecil bisa memikul tugas yang besar. Apalagi, budaya perusahaan
di RNI sudah begitu buruknya.
Maka, saya
timbang-timbang baik-buruknya. Lalu saya setujui: Ismed, si tukang demo yang
pemberani itu, jadi direktur utama PT RNI. Toh, selama itu dia sudah menjadi
komisaris RNI. Dia sudah tahu banyak penyakit yang ada di dalamnya. Dia sudah
lama geregetan dengan kondisi RNI selama dia menjadi komisaris di situ. Dia
memiliki dendam yang membara untuk memperbaikinya.
Selama dia
menjalankan tugas sebagai direktur utama, saya pun selalu waswas. Kalau dia
sampai gagal, saya pun akan terseret. Karena itu, saya ikuti dari jauh
gerak-geriknya. Saya sedikit lega ketika dia mengambil sikap egaliter: tidak
mau tidur di hotel selama mengunjungi pabrik-pabrik gula dan anak-anak
perusahaan RNI. Dia hampir selalu tidur di mes perusahaan di lingkungan pabrik.
Dia juga tidak minta mobil baru sebagai mobil dinasnya.
Dia pun seperti kipas
angin: muter terus tidak henti-hentinya. Dari satu pabrik ke pabrik lain. Dari
satu siang ke malam yang lain. Tidak sempat lagi melakukan demo atau
mengorganisasikan demo.
Saya amati dia juga
keras melakukan pembersihan. Praktik-praktik kotor di pabrik gula dan di ladang
tebu dia berantas. Orang-orang yang mau bekerja keras dan tidak korup dia
naikkan pangkat dan jabatannya. Hasilnya nyata: produksi meningkat, efisiensi
naik, dan laba pun melonjak. Kalau tahun lalu perusahaan ini rugi di atas Rp
100 miliar, dalam sekejap bisa laba lebih dari Rp 300 miliar.
Yang dia lakukan
adalah kerja, kerja, kerja. Tidak ada revitalisasi. Tidak ada pembelian mesin
baru. Tidak ada peralatan baru. Yang dia lakukan adalah pembenahan manusianya.
Manusia tetap sentral dari segala persoalan. Manusia tetaplah sentral dari
segala perbaikan.
Tanpa perbaikan
manajemen dan tanpa perbaikan manusia, mesin hanyalah binatang yang tidak
bernyawa. Seandainya dilakukan revitalisasi mesin pun, belum tentu ada gunanya.
Tanpa dilakukan perbaikan manusianya, mesin baru pun akan tiba-tiba menjadi
tidak berguna. Sebuah investasi yang sia-sia.
“Kasus” Ismed ini
mengingatkan saya pada peristiwa 30 tahun lalu. Waktu itu saya sudah menjadi
CEO Jawa Pos Group. Suatu malam, seorang bapak datang menemui saya. Dia adalah
guru nahwu-sorof (tata bahasa Arab) saya waktu di madrasah aliyah di Takeran,
Magetan. Sang bapak dengan penuh ketakutan curhat mengenai anak laki-lakinya
yang hari itu diwisuda sebagai sarjana elektro Universitas Gadjah Mada
Jogjakarta.
Mestinya dia bahagia
karena anaknya lulus cum laude dari fakultas teknik yang begitu sulit. Tapi,
sang bapak menderita batin. “Besok, kalau anak saya pulang, saya pasti ditangkap
Koramil,” katanya.
Dia tidak ingin
anaknya pulang. Sang anak adalah seorang ekstremis gerakan bawah tanah di
kalangan mahasiswa UGM. Dia juga aktivis di masjid kampus. Namanya Misbahul
Huda.
Kebetulan saya
memerlukan seorang sarjana elektro, untuk menangani mesin-mesin baru yang
mahal. “Besok anak Bapak bawa kemari saja. Biar mengekstremi mesin,” kata saya
sambil bercanda.
Sekian tahun
kemudian, ekstremis tersebut menjadi manajer yang andal. Prestasinya terus
meroket. Jabatannya pun terus menanjak. Sekarang dia menjadi direktur utama
berbagai perusahaan di grup itu.
Tentu banyak juga
aktivis yang lupa diri: dulunya anti kemapanan, tapi menjadi sangat mapan
ketika menduduki jabatan. Dulunya antikorupsi, tapi ikut-ikutan korupsi.
Dulunya antibirokrasi, ternyata jadi birokrat yang ampun-ampun birokratiknya.
Tidak ayal kalau belakangan sering muncul ejekan, “seseorang itu antikorupsi
atau tidak bergantung apakah dia sudah mendapat kesempatan atau belum”.
Ismed baru setahun
menduduki jabatan Dirut RNI. Dia belum teruji untuk jangka panjang.
Kemarin-kemarin dia masuk ke RNI dalam keadaan perusahaan tidak punya uang.
Kini dia berada di puncak jabatan sebuah grup perusahaan yang mulai punya
kekayaan. Ujian yang sebenarnya berada di depannya.
Maka, ketika juri
Anugerah BUMN 2012 menominasikannya sebagai salah satu CEO terbaik, saya
katakan jangan sekarang, tunggu tahun depan.
Apa langkah RNI ke
depan?
Tentu perbaikan pabrik gula masih jauh dari sempurna. Para kepala bagian umum yang Sabtu lalu naik panggung di Jatitujuh bertekad tahun depan ini adalah lahan jihadnya. Prestasi pabrik-pabrik gula itu memang sudah baik, tapi lingkungan kerjanya masih buruk: tanaman dan taman-tamannya tidak tertata, lantai pabriknya kotor dan tidak rata, mesin-mesinnya masih belum mengilap, dan di sana-sini berserakan onderdil-onderdil tua yang tidak tertata.
Saya juga memuji
rencana restrukturisasi Grup RNI. Anak-anak perusahaan yang tidak relevan lagi
sebaiknya dibubarkan atau dilepas. Regrouping bidang usaha juga merupakan ide
yang baik.
Ismed juga bertekad
membantu meningkatkan produksi daging sapi nasional dengan cara yang realistis.
Kalau di Sumatera dilakukan program sapi-sawit, di RNI dilakukan program
sapi-tebu. Sabtu lalu saya juga meninjau sebagian percobaan sapinya yang 3.000
ekor di seluruh RNI.
PG Jatitujuh sendiri
tahun lalu masih berstatus “dhuafa”. Tahun ini sudah terangkat dari status
fakir-miskin itu. Tetangga dekatnya, PG Tersana Baru, tahun lalu bukan hanya
masih dhuafa, tapi juga masih berstatus pasien UKP4 pimpinan Kuntoro
Mangkusubroto itu. Baru-baru ini UKP4 sudah mencabut surat pengawasannya. PG
Candi Baru di Sidoarjo menyatakan dirinya sebagai pabrik yang produksinya
terbaik sejak zaman kemerdekaan.
Yang juga melegakan,
cap buruk bahwa PG BUMN selalu kalah dari swasta, sekarang harus dihapus. PG
Krebet Baru, Malang, kini menghasilkan rendemen 9,2. Inilah rendemen tertinggi
di seluruh Jawa. Terbukti PG Krebet Baru tidak hanya bisa menjadi juara di
lingkungan pabrik gula BUMN yang berjumlah 52 itu, tapi juga sudah bisa
mengalahkan pabrik gula swasta di sebelahnya.
RNI kelihatannya akan
terus berkibar tinggi! (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar