Membaca Trend Globalisasi (27)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Dampak Spiritual Globalisasi
Oleh: Nasaruddin Umar
Dampak globalisasi terhadap kehidupan beragama kita beberapa di antaranya tak terelakkan. Kita semua perlu berbenah dan mempersiapkan generasi kita dengan pemahaman yang lebih komprehensif di dalam menghadapi masa depan. Pemahaman yang bersifat doktrinal-normatif sudah harus diperkuat dengan metode dialogis-rasional, sehingga nilai-nilai positif agama bisa dicerna oleh akan dan merasuk ke dalam jiwa.
Ada sejumlah fenomena menarik untuk dikaji bersama, dan fenomena ini berpotensi menggerus inklusivisme keagamaan di masa depan. Fenomena tersebut ada yang bersifat makro, global, massif, dan umum, seperti factor globalisasi nilai-nilai sebagai akibat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah sedang eksis. Fenomena lebih khusus globalisasi apa yang pernah disebut K.H. Hasyim Muzadi sebagai sebagai ideologi transnasional. Kelihatannya umat kita belum mendapatkan "pembekalan" bagaimana menghadapi dampak kedua fenomena ini. Apa jadinya jika dampak globalisasi nilai global ini terus menyerbu sampai ke ruang privat bangsa kita? Lingkungan keluarga terutama generasi muda penerus bangsa paling tampak pengaruhnya kepada mereka.
Fenomena umum yang dapat kita saksikan ialah adanya jarak antara umat dengan ajaran agama yang dianutnya. Agama mengajarkan apa tetapi keinginan umatnya apa, masih amt berjarak. Hal ini menimbulkan kepribadian ganda (split personality) yang amat dalam dan susah dideteksi orang banyak. Penyelesaian masalah umat kita selama ini lebih banyak membicarakan akibat, bukan sebab yang menyebabkan masalah itu terjadi. Dengan kata lain, kita hanya lebih banyak bicara tentang sesuatu yang dihilir, bukan penyebabnya yang ada di hulu. Analoginya, kita lebih banyak sibuk mengusir awan, bukan menyelesaikan masalah pembakar hutan, sehingga pesta pemadaman asap berlangsung secara rutin di musim kemarau, sebuah musim yang dicari oleh pelancong barat untuk menjalani musim liburnya.
Sederet masalah dalam rumah lain yang tidak mungkin dimuat di dalam kolom sempit ini. Di antaranya yang amat mendasar ialah fenomena maraknya aliran sempalan, seperti sempalan keyakinan, budaya, dan politik. Sudah mulai muncul saling kafir mengkafirkan seperti pemandangan yang terjadi di abad pertengahan yang mengantar runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam. Radikalisme di dalam beragama sudah masif. Bukan rahasia lagi di media-media sosial sudah dikuasai oleh kelompok garis keras. Sebuah hasil survei menunjukkan forum-forum agama di media sosial 80% didominasi kelompok garis keras. Ironisnya organisasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain tidak antisipatif. Apa jadinya umat kita di masa depan jika 'guru agama' mereka adalah garis keras?
Masalah sosial lainnya ialah semakin maraknya angka perceraian. Semenjak 10 tahun lalu penulis meneriakkan masalah ini. Angka perceraian sudah menembus angka lebih dari 10% per tahun. Artinya, jika perkawinan setiap tahun 2 juta pasang (sama dengan 4 juta orang) maka tahun terakhir sudah menembus ke angka 115 ribu pasang perceraian per tahun. Bahayanya lagi, perceraian tersebut didominasi (80%) oleh pasangan usia muda, usia rumah tangga lima tahun ke bawah. Itu artinya anak-anak mereka masih kecil-kecil, para jandanya masih mudah, pikiran dan kepribadian belum matang, dan menariknya lagi, 3/4 perceraian itu adalah cerai gugat, artinya isteri yang menceraikan suami, yang resiko hukumnya akan memberatkan kaum perempuan.
Tidak heran jika terjadi perceraian maka akan terjadi orang miskin baru, yaitu perempuan (muda) dan anak-anak. Menjadi janda muda serba salah di dalam budaya masyarakat Indonesia. Bersolek salah tidak juga salah. Keluar rumah salah tidak keluar rumah lebih salah. Sementara anak-anak yang tadinya di sekolah unggulan kini terpaksa sekolah di dekat rumah dengan alasan tidak ada biaya dan tidak ada yang antar jemput. Belum lagi masalah kenakalan remaja dan korban kekerasan anak yang semakin meningkat, yang datanya sudah sangat memprihatinkan. Kesemuanya ini membutuhkan perhatian serius oleh semua pihak. []
DETIK, 03 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar