Senin, 11 Januari 2021

(Ngaji of the Day) Makna ‘Yadullah’ Bukanlah Tangan Allah dalam Arti Fisik (2)

Pada bagian sebelumnya dipaparkan dengan jelas bahwa istilah “yad” atau “tangan” tidaklah harus berarti tangan secara fisik, bahkan susunan kalimat dalam beberapa ayat Al-Qur’an bisa menjadi absurd ketika kata “tangan” selalu dipaksa untuk dimaknai sebagai tangan dalam arti organ fisik. Dengan demikian, maka mau tidak mau harus diakui bahwa kata “yad” atau “tangan” itu kadangkala harus dipahami secara metaforis, bukan sebagai tangan dalam arti organ fisik tetapi sebagai makna yang lain agar kalimatnya bisa dipahami dengan baik.

 

Ketika diberi penjelasan seperti di atas, sebagian orang yang terpapar aqidah tajsim (menganggap Allah sebagai jisim) mencoba beralasan bahwa meskipun kata “yad” bisa jadi hanya metaforis (majas) saja, namun yang disifati dengan “yad” haruslah yang betul-betul punya tangan secara fisik. Misalnya ungkapan “tangan Zaid terbuka lebar” memang dapat berarti bahwa Zaid adalah orang dermawan, tetapi Zaid yang disebut dermawan itu memang betul-betul mempunyai tangan secara fisik. Demikian juga ketika Allah menggunakan ungkapan metaforis bahwa “kedua tangannya terbuka lebar”, maka selain berarti bahwa Allah dermawan, Allah juga betul-betul mempunyai tangan secara fisik. Inilah salah satu gugatan andalan mereka.

 

Pandangan seperti itu jelas salah sebab untuk menggunakan ungkapan metaforis tidak disyaratkan seperti itu. Dalam bahasa Indonesia misalnya ada ungkapan “nyiur melambai-lambai” padahal semua tahu bahwa nyiur tidak mempunyai tangan, apalagi melambai. Demikian juga dalam bahasa Arab, ungkapan yang memakai kata “yad” tidak semuanya mempunyai tangan secara fisik. Misalnya saja firman Allah: “di antara kedua tangan pembicaraan khususmu” dalam Surat al-Mujadilah: 12 dan 13, ungkapan tersebut sama sekali tidak berarti bahwa pembicaraan khusus mempunyai tangan secara fisik.

 

Dalam konteks inilah Imam Abu Manshur al-Maturidi (333 H) menjelaskan dalam tafsirnya:

 

فَإِنَّهُ قَالَ: (بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ)، وَلَيْسَ لِلّنَجْوَى يَدٌ وَلاَ بَيْنَ، وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: (لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ)، وَلَمْ يُشْكَلْ عَلَى أَحَدٍ أَنَّهُ لَمْ يُرِدْ بِالْيَدِ الْجَارِحَةَ هَاهُنَا؛ فَكَيْفَ فُهِمَ فِيْمَا أُضِيْفَ إِلَى اللَّهِ - تَعَالَى - فِي قَوْلِهِ: (بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ)، وَقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ (اَلصَّدَقَةُ تَقَعُ فِي يَدِ الرَّحْمَنِ) اَلْجَارِحَةَ، لَوْلاَ فَسَادُ اِعْتِقَادِهِمْ فِي اللهِ - تَعَالَى - وَتَشْبِيْهُهُمْ إِيَّاهُ بِالْخَلْقِ.

 

Sesungguhnya Allah berfirman: “Di antara kedua tangan (di depan) pembicaraan kalian” padahal pembicaraan tidak punya tangan dan tidak punya “antara”. Begitu juga dengan firman Allah “Tidak datang kebatilan pada Al-Qur’an, baik dari antara kedua tangannya (di depan) atau dari belakangnya”. Tidak ada kemusykilan pada seorang pun bahwa kata “tangan” di sini tidak dimaksudkan sebagai anggota badan.Bagaimana bisa apa yang disandarkan pada Allah dalam firman-Nya “Keduatangan-Nya terbuka lebar” dan sabda Rasulullah “Sedekah sampai di tangan al-Rahman” dipahami sebagai anggota badan? Seandainya bukan karena rusaknya aqidah mereka dan penyerupaannya dengan makhluk [maka tidak akan memahami demikian]. (Abu Manshur al-Maturidi, Ta’wîlâtu Ahli al-Sunnah, IX, 574)

 

Bila kata yad tidak bermakna tangan dalam arti fisik, lalu apa artinya? Dari sinilah para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama memilih tak memaknainya secara spesifik dan memasrahkan makna sebenarnya pada Allah saja. Tindakan ini disebut dengan tafwidh yang merupakan pilihan banyak ulama salaf. Sebagian lagi memilih untuk memaknainya dengan makna selain tangan secara fisik yang dapat di lihat di berbagai kamus dan kebiasaan penuturan manusia sejak dahulu kala. Misalnya dalam kamus al-Ma’ani disebutkan bahwa kata “yad” mempunyai beragam arti alternatif, di antaranya adalah kenikmatan dan kebaikan (an-ni’mah wal ihsan), kekuasaan (as-sulthan), kemampuan (al-qudrah), kekuatan (al-quwwah) dan lain sebagainya yang bisa disematkan kepada Allah tanpa ada keraguan sebab Allah memang memiliki kebaikan, kekuasaan, kemampuan, kekuatan dan lain sebagainya. Tindakan ini disebut sbagai takwil, dan ini adalah tindakan yang valid yang tak diragukan kebenarannya.

 

Sebagian orang yang terpapar aqidah tajsim juga mencoba menggugat pemaknaan secara takwil ini dengan mempersoalkan bentuk kata “yad” yang berupa kata dual, yakni “yadani” yang secara literal berarti kedua tangan. Allah menggunakan redaksi “kedua tangan” ini di berbagai tempat yang menurut mereka berarti tangan Allah betul-betul ada dua. Redaksi dual ini bagi mereka tidak mungkin diartikan sebagai dua kekuatan, dua kenikmatan, dua kemampuan dan sebagainya.

 

Gugatan seperti di atas mudah dipatahkan dengan fakta bahwa ungkapan metaforis “dua tangan” memang tak harus berarti sesuatu yang berjumlah dua. Bisa saja artinya hanya bentuk penekanan saja dari ungkapan “satu tangan”. Istilah semacam ini dipakai dalam ungkapan bahasa Arab وَمَا لِي بِفُلَانٍ يَدانِ (Aku tidak mempunyai dua tangan untuk fulan), maknanya adalah aku tidak mempunyai kekuatan. (Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, XV, 422). Demikian pula dalam suatu syair gubahan Ka’b bin Sa’ad al-Ghanawi, seorang penyair besar di tingkatan kedua, disebutkan:

 

فاعمِدْ لِما يَعْلُو، فَمَا لكَ بِالَّذِي ... لَا تستَطِيعُ مِنَ الأُمورِ يَدانِ

 

Maka raihlah apa yang engkau sanggupi, karena perkara yang engkau tak mampu tak bisa [digapai] kedua tangan. (Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, XV, 422).

 

Maksud syair tersebut tentu saja sama sekali bukan membahas tangan dalam arti fisik yang berjumlah dua buah, tidak juga berarti kekuatan yang berjumlah dua buah, tetapi maksudnya adalah adalah kemampuan manusia secara umum. Penggunaan redaksi “dua tangan” di sini tak lebih sebagai bentuk penekanan saja pada makna yang akan disampaikan. Wallau a’lam. []

 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, peneliti bidang aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur dan Wakil Sekretaris PCNU Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar