Membaca Surat Al-Fatihah secara keseluruhan dalam shalat apa pun hukumnya wajib baik bagi imam maupun makmum sebab ia merupakan salah satu rukum shalat. Namun, bagi makmum masbuq (telat) tidak menyelesaikan bacaan al-Fatihah pada rakaat pertama masih bisa dibenarkan, yakni ketika ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukannya disebabkan imam sudah ruku’ sehingga ia harus segera menyesuaikan dengan apa yang dilakukan imam. Dalam masalah ini kewajiban makmum sudah dalam tanggungan imam.
Terkait dengan pertanyaan kapan sebaiknya seorang makmum membaca al-Fatihah, hal ini dapat ditemukan jawabannya dalam kitab Bidayatul Hidayah, karangan Imam al-Ghazali, sebagai berikut:
و يجهر بقوله آمين في الجهرية و كذلك المأموم و يقرن المأموم تأمينه بتأمين الإمام معا لا تعقيبا له و يسكت الإمام سكتة عقب الفاتحة ليئوب إليه نفسه و يقرأ المأموم الفاتحة في الجهرية في هذه السكتة ليتمكن من الاستماع عند قراءة الإمام و لا يقرأ المأموم السورة في الجهرية إلا إذا لم يسمع صوت الإمام
Artinya: “Hendaklah imam mengeraskan suaranya ketika mengucapkan ‘âmîn’ (segera selesai membaca surat al-Fatihah), demikian pula makmum hendaknya melakukan hal yang sama dengan imam sacara bersama-sama dan tidak menunggu imam selesai mengucapkannya. Hendaklah imam diam sejenak atau beberapa lama setelah membaca surat al-Fatihah. Hal ini dimaksudkan agar di samping ia dapat mengatur napasnya kembali, juga agar makmum membaca al-Fatihah dengan suara jelas pada saat ia diam. Cara ini memungkinkan makmum dapat sepenuhnya mendegarkan bacaan imam, dan makmum hendaknya tidak membaca surat kecuali bila ia tidak bisa mendengarkan suara bacaan imam.” (Imam al-Ghazali, BidayatulHidayah dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali : Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., hal. 409).
Dari kutipan di atas, dapat diuraikan bahwa seorang imam hendaknya secara bersama-sama dengan makmum mengucapkan “âmîn” dengan suara keras. Segera setelah itu hendaknya imam diam sejenak atau beberapa lama guna memberikan kesempatan kepada makmum menyelesaikan bacaan al-Fatihah masing-masing sekaligus memanfaatkan kesempatan ini untuk mengatur napasanya normal kembali.
Cara makmum membaca al-Fatihah harus dengan suara jelas (tidak dibatin) namun tidak sampai mengganggu makmum lain di sebelah kiri dan kanannya. Ketika para makmum kira-kira telah selesai membaca al-Fatihah masing-masing, hendaklah imam membaca surat dengan suara keras agar didengar secara jelas oleh mereka.
Jadi pada saat imam mulai membaca surat setelah mengucapkan “âmîn” bersama-sama makmum, makmum hendaknya sudah selesai membaca Al-Fatihah. Jika ternyata belum selesai, makmum wajib menyelesaikannya karena sekali lagi membaca al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat yang mempengaruhi sah tidaknya.
Hal yang sebaiknya dilakukan makmum setelah membaca al-Fatihah adalah mendengarkan imam membaca surat dengan suara kerasnya sebelum akhirnya imam melakukan ruku’. Dalam hal makmum tidak mendengar suara imam karena ada satu dan lain hal, misalnya mesin pengeras suara mati atau lainnya, maka makmum diperbolehkan membaca surat dengan suara jelas (tidak dibatin) di saat imam sebenarnya sedang membaca surat.
Makmum memang sebaiknya mendengarkan atau menyimak apa yang dibaca imam secara keras, terutama al-Fatihah dan surat sebab di dalam Al-Quran dikatakan sebagai berikut:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Al-A’raf : 204).
Jadi di samping mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh imam, makmum sebaiknya juga menyimaknya bagi yang mampu sambil berusaha memahami maknanya. Dalam hal ini, keterlibatan makmum dalam mendengarkan atau menyimak apa yang dibaca imam, terutama Al-Fatihah dan surat sangat penting untuk mengantisipasi kalau-kalau imam lupa atau salah dalam bacaannya sehingga makmum bisa membantu mengingatkan atau membetulkan bagaimana bacaan yang seharusnya. Dengan demikian ada kerja sama yang baik dalam shalat antara imam dan makmum.
Meski petunjuk Imam Al-Ghazali tentang kapan sebaiknya makmum membaca Al-Fatihah sudah jelas sebagaimana disebutkan dalam kitab Bidayatul Hidayah ini, dalam praktiknya imam tidak selalu memberi waktu yang cukup kepada makmum sebelum melakukan ruku’. Jarak antara “âmîn” dengan bacaan surat terkadang sangat pendek.
Akibatnya kadang-kadang terjadi makmum masih membaca al-Fatihah pada saat imam sudah mulai membaca surat. Apalagi di saat Ramadhan seperti sekarang ini di mana umat Islam disunnahkan melaksanakan jamaah shalat tarawih. Kadang terjadi ada seorang imam yang cepat sekali baik gerakan maupun bacaannya di dalam shalat. Hal ini memang tidak mempengaruhi keabsahan shalat berjamaah, tetapi kurang baik dilihat dari adab berjamaah.
Memang pembahasan topik ini dalam kitab Bidayatul Hidayah ada dalam bab آداب الامام والقدوة (Adab Imam dan Makmum). Jadi pembahasan topik ini dalam perspektif ilmu tasawuf sehingga terasa sekali kehati-hatian Imam al-Ghazali dalam masalah ini yang sekaligus memberikan petunjuk bagaimana idealnya shalat jamaah dilaksanakan dengan kualitas tinggi.
Kesimpulannya, makmum hendaknya dalam membaca al-Fatihah tidak membarengi imam saat membaca ummul kitab ini. Hendaklah ia membacanya antara “âmîn” dan bacaan surat oleh imam. Tentu saja ini belaku untuk shalat-shalat tertentu di mana imam harus membaca al-Fatihah secara keras seperti dalam shalat Maghrib, Isya’, Shubuh, Jumat, Idul Fitri, Idul Adha, tarawih, dan shalat-dhalat sunnah lainnya.
Dalam hal imam tidak memberikan waktu yang cukup untuk membaca al-Fatihah sebelum ia membaca surat, maka makmum (kecuali makmum masbuq) harus tetap menyelesaikannya meski imam sudah mulai membaca surat karena dalam setiap rakaat shalat ada kewajiban kita membacanya, yakni di saat kita berdiri dalam kondisi normal. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surkarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar