Membaca Trend Globalisasi (36)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Trend Jilbab (4): Wacana Jilbab dalam Hadis
Oleh: Nasaruddin Umar
Hadis yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya ditemukan dalam dua hadis ahad, hadis yang diriwayatkan secara perorangan, bukan secara kolektif dan massif (masyhur atau mutawatir). Hadis pertama bersumber dari Aisyah, Rasulullah bersabda: "Tidak diperkenankan seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig menampakkan (anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di sini", sambil menunjukkan setengah hasta.
Namun yang menjadi pembahasan kita ialah apakah jilbab itu merupakan bentuk standar pakaian muslim yang ditetapkan oleh Syari'ah atau hanya di antara species di antara beberapa genus pakaian penutup aurat perempuan. Dalam suatu kesempatan Nabi pernah mengumumkan akan memindahkan shalat 'Id dari masjid ke lapangan terbuka karena daya tampung masjid sudah tidak mampu menampung keseluruhan jamaah yang semakin bertambah populasinya. Seorang perempuan tiba-tiba bertanya kepada Nabi dengan mengatakan, bagaimana kami yang belum memiliki jilbab? Nabi menjawab dengan mengumumkan kepada kaum muslimah, siapa di antara kalian memiliki jilbab (pakaian luar menutupi kepala sampai kaki) lebih dari satu lembat hendaknya meminjamkan kepada saudara-saudaranya yang belum memiliki jilbab. Hadis ini mengisyaratkan banyak pemahaman. Bisa berarti saat itu tidak semua perempuan memiliki jilbab, berarti tidak atau belum wajib. Bisa juga berarti perempuan yang akan berkumpul dengan laki-laki di ruang terbuka sebaiknya menggunakan jilbab. Bisa juga berarti jilbab itu sudah wajib.
Hadis lain dari Daud yang diterima dari Aisyah, yang
menceritakan ketika Asma binti Abi Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah Saw,
lalu Rasulullah mengatakan kepadanya: "Wahai Asma, sesungguhnya perempuan
jika sampai usia balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini", sambil
Rasulullah menunjukkan wajah dan telapak tangannya. 'Asymawi memberikan
komentar kedua hadis di atas. Pertama, kedua hadis itu hadist ahad, bukan hadis
mutawatir atau masyhur.
Berdasar dengan hadis ahad memang kontrovesrsi di
kalangan ulama Ushul Fikih. Kedua, salah satu hadis tersebut di-mursal-kan
(jaringan penutur terputus) oleh Abu Daud, karena bersumber dari Khalid ibn
Darik yang bukan hanya tidak mu'asharah (berjumpa), tetapi juga tidak ketemu
(liqa') dengan Aisyah. Ketiga, hadis ini mulai populer pada abad ketiga H.,
dipopulerkan oleh Khalid ibn Darik, yang kemudian dimonumentalkan dalam Sunan
Abu Daud. Keempat, kalau sekiranya hadis ini direpresentasikan pada umat Islam,
maka sejak awal jilbab menjadi tradisi kolektif keseharian (sunnah mutawatirah
bi al-fi'l), bukannya dengan kualifikasi hadits ahad-mursal. Tradisi jilbab di
kalangan sahabat dan tabi'in, menurut Asymawi, lebih merupakan pakaian adat
istiadat, daripada ketaatan pada tradisi agama ('adah ijtima'iyyah laisa ittiba'
li sunnah diniyyah).
Di tempat lain ia mengatakan jilbab lebih merupakan
syiar politis daripada keniscayaan agama (al-hijab syi'ar siyasiy wa laisa
fardlan diniyyan). Muhammad Syahrur dalam bukunya, Al-Kitab wa al-Qur'an, juga
pernah menyatakan bahwa hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan
urusan halal atau haram (al-jilbab min bab al-haya' wa laisa min bab al-halal
wal haram). Jauh sebelumnya, di awal abad 19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah
sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan bahwa meskipun berpandangan
kritis terhadap jilbab tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi
perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus
kreatifitas dan produktifitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan
pembukaan jilbab. []
DETIK, 12 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar