Senin, 18 Januari 2021

Alissa Wahid: Pemimpin Baru, Harapan Baru

Pemimpin Baru, Harapan Baru

Oleh Alissa Wahid

 

Tahun yang baru biasanya diikuti dengan niatan dan resolusi baru. Segala sesuatu yang baru biasanya membawa harapan baru, karena ia menyediakan kesempatan untuk memulai lagi. Hal-hal yang tidak memuaskan di bab sebelumnya dapat di-reset di lembaran baru yang kosong.

 

Demikian juga hadirnya para pemimpin dan pejabat publik baru di mana pun. Pemimpin baru biasanya tidak memiliki catatan noda di mata publik, kecuali bila kredibilitas di masa sebelumnya benar-benar buruk. Oleh karena itu, publik pun banyak melontarkan harapan akan masa depan yang lebih baik.

 

Di Amerika Serikat, publik merespons pengesahan Joe Biden dan Kamala Harris sebagai Presiden dan Wakil Presiden baru dengan kelegaan luar biasa dan lonjakan harapan. Apalagi setelah insiden penyerbuan massa ke Gedung Capitol Hill yang menjadi jantung demokrasi negara ”Paman Sam” tersebut akibat agitasi massa yang dilakukan oleh Presiden Trump dalam orasi di depan pendukungnya.

 

Di Indonesia, harapan berhamburan untuk para menteri baru hasil reshuffle kabinet oleh Presiden Jokowi di penghujung tahun 2020. Di antara keenam pembantu Presiden tersebut, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Sosial mendapatkan perhatian utama dari publik karena tugas fungsinya yang bersifat umum dan menyentuh semua lapisan masyarakat.

 

Untuk Menteri Kesehatan, harapan publik tertinggi saat ini adalah pengelolaan wabah Covid-19 yang sudah sampai titik kritis. Untuk Menteri Sosial, harapan terkuat rakyat adalah pengelolaan berbagai bentuk program bantuan sosial untuk rakyat kecil yang saat ini terpukul oleh efek pandemi agar merata dan bebas praktik koruptif. Sementara terhadap Menteri Agama, harapan tersemat untuk menjaga umat beragama dari sikap beragama yang eksklusif dan bahkan ekstrim, serta memastikan hak beragama setiap warga negara terpenuhi secara adil dan berimbang.

 

Berbeda dengan pemimpin di sektor bisnis yang dapat hanya berfokus pada produk dan profit usahanya, para pejabat publik secara umum menghadapi dua wajah peran. Wajah pertama ke arah luar menghadap publik dan wajah kedua ke arah dalam menghadapi struktur institusi barunya.

 

Wajah publik adalah tentang kebijakan dan muatan utama yang terkait dengan kehidupan rakyat. Di era teknologi informasi, para pejabat publik bekerja layaknya dalam akuarium kaca, dapat dilihat dengan jelas oleh rakyat.

 

Sayangnya, banyak pejabat publik terjebak pada gimmick politik belaka. Padahal, publik menuntut hasil yang jelas terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Wajah kedua, yaitu wajah pemimpin institusi, menjadi tantangan tersendiri karena sifat jabatan yang bukan karier, melainkan political appointee (jabatan politis).

 

Pejabat publik baru harus dapat membuktikan bahwa dirinya bukanlah pemimpin karena jabatannya saja, melainkan betul-betul pemimpin transformatif yang akan membawa perubahan yang fundamental dan berkelanjutan. Contoh paling kuat adalah transformasi pelayanan Kereta Api Indonesia yang dipimpin oleh Ignasius Jonan dan kita nikmati sampai saat ini.

 

Seorang bupati pernah menyampaikan, tantangan utamanya adalah publik menuntut hasil yang langsung terlihat dalam waktu cepat. Ini pun masih ditambah konteks jangka waktu kepemimpinan politis yang relatif pendek. Dibutuhkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara menghasilkan kemenangan kecil (quick wins) dan target jangka panjang yang membutuhkan proses transformasi.

 

Demikian juga kompleksitas struktural yang dihadapi. Untuk satu sektor tertentu, banyak institusi lain yang terlibat. Semisal, urusan kesehatan dikelola oleh Kementerian Kesehatan, sementara puskesmas sebagai ujung tombak berada dalam wewenang pemda di bawah otoritas Kementerian Dalam Negeri. Ini menyulitkan seorang pejabat publik untuk betul-betul mengendalikan keseluruhan ekosistemnya.

 

Oleh karena itu, salah satu tantangan terpenting bagi seorang pejabat publik adalah mengelola harapan dan ekspektasi, baik di ruang publik maupun di dalam institusinya sendiri. Menurut Janine Popick dalam tulisannya di Inc. Magazine, mengelola ekspektasi adalah keterampilan kepemimpinan yang paling diremehkan, padahal sangat membantu. Sebagian pemimpin baru menganggap hal ini tidak penting dan dapat diserahkan pada berjalannya proses. Sebagian lagi terjebak mengasumsikan publik atau timnya memahami apa yang menjadi tugasnya.

 

Para pemimpin sektor privat yang mampu memperjelas ekspektasinya kepada anggota timnya terbukti mampu mengerek kinerja anggota timnya. Di sektor sosial, para pemimpin yang mampu mengelola ekspektasi para pengikutnya terbukti dapat membangun kepercayaan yang lebih besar. Dengan kedua wajah kepemimpinannya, mengelola ekspektasi menjadi keterampilan penting bagi para pejabat publik.

 

Para pejabat publik dapat mengelola ekspektasi publik dengan visi, prinsip, dan strategi kerja yang disampaikan secara jelas dan terukur. Gimmick politik di awal jabatan perlu segera dilengkapi dengan peta jalan dan strategi implementasinya. Ini akan membuat kepercayaan rakyat meningkat, berangkat dari kepastian dan kejelasan mengukur kinerja sang pejabat publik.

 

Di sisi satunya, para pejabat publik dapat melengkapi visi, prinsip, dan strategi kerjanya dengan memperjelas arahan bagi para pembantu utamanya tentang langkah perubahan yang akan diambil. Dengan demikian, mesin struktur organisasi dapat segera menyelaraskan dirinya dengan strategi kerja baru.

 

Kepemimpinan di sektor publik memang bukan hal mudah. Saat ekspektasi tidak terpenuhi, publik akan merespons dengan kemarahan dan kecurigaan. Tetapi, dengan upaya semestinya, dukungan dari dalam institusi maupun dari publik akan menjadi sumber daya kemajuan yang luar biasa. Pejabat publik puas atas kinerjanya, rakyat pun bahagia. []

 

KOMPAS, 10 Januari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar