Jumat, 08 Januari 2021

Buya Syafii: Perpecahan Parpol di Indonesia (IV)

Perpecahan Parpol di Indonesia (IV)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Parpol lain (PNI, NU, PSII, Perti) yang termasuk sistem politik yang sedang berlaku harus membunuh daya kritisnya karena itulah satu-satunya pilihan yang terbuka. PKI adalah satu-satunya parpol yang paling diuntungkan sistem ini, sekalipun pimpinan Angkatan Darat (AD) mengamatinya dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan. Bahwa bentrokan keduanya pasti terjadi sudah diramalkan orang. Tinggal masalah waktu saja.

 

Dengan meledaknya pemberontakan G-30-S/PKI pada 1965 dan pembunuhan beberapa jenderal serta seorang perwira AD oleh pelaku gerakan makar itu, peta politik nasional berubah radikal dan dramatis. Dalam tempo singkat, DT dan penciptanya serta PKI menjadi lumpuh berantakan. Pada 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan oleh penguasa baru: Jenderal Soeharto.

 

Rezim militer ini di bawah jubah Orde Baru (Orba) dan Demokrasi Pancasila (DP) mampu memimpin Indonesia sampai 21 Mei 1998 di atas puing DT, yang hanya bertahan enam tahun.

 

Bagaimana situasi parpol selama Orba? Almarhum Masyumi yang berupaya dihidupkan kembali oleh tokoh-tokoh partai itu pada ujungnya menemui jalan buntu. Rezim Orba tidak "berkenan" memberi izin hidup kembali. Alasannya tidak sulit untuk ditebak: Orba tidak mau disaingi oleh kekuatan demokrasi yang sudah teruji itu. Bubarnya Masyumi sangat memukul perkembangan demokrasi di Indonesia.

 

Karena gagal merehabilitasi Masyumi, aspirasi itu lalu muncul dalam pendirian partai baru, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada 17 Agustus 1967. Kemudian kongres awal November 1968 memilih Mr Mohamad Roem, tokoh moderat Masyumi, sebagai ketuanya. Tetapi, rezim Orba tidak bisa menerima Roem sebagai ketua Parmusi.

 

Lalu muncul Djarnawi Hadikusuma, tokoh Muhammadiyah, sebagai penerus Roem. Djarnawi pun tidak disukai, lalu digantikan lagi oleh yang lebih lunak di mata penguasa. Permainan penguasa yang “semau gue”.

 

Orba memang rezim otoritarian. Kebebasan berserikat yang dijamin Pasal 28 UUD 1945 dianggap sebagai angin lalu. Padahal awal Orba, semboyan yang popular, yaitu: melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semboyan tinggal semboyan, sedangkan dalam pelaksanaannya dikhianati, tanpa rasa dosa. Itulah sebabnya dalam ‘Resonansi’ yang lalu, saya mengatakan bahwa demokrasi dan Pancasila sebagai modal utama bangsa dan negara adalah yang paling menderita.

 

Pada awal Januari 1973, atas perintah rezim Orba terjadi penggabungan beberapa parpol. Parpol yang bercorak santri pada 5 Januari bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Parpol nasionalis pada 10 Januari menyatu dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Arus besar dalam PDI adalah PNI yang sejak penggabungan itu, nama partai ini sudah menghilang.

 

Selain PPP dan PDI, ada parpol ketiga yang terbesar, yaitu Golkar sebagai partai penguasa yang asal usulnya sebagai gabungan beberapa ormas tahun 1967. Kemudian belakangan diubah menjadi parpol.

 

Unsur yang bergabung dalam PPP: Partai NU, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Parmusi, dan Partai Perti. Tarik ulur antarunsur dalam partai ini tidak mudah dipecahkan. Fenomena itu merupakan sisi kerapuhan partai gabungan ini. Dalam PDI: PNI, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen, dan Partai Katolik. Dalam perkembangan sejarahnya kemudian, unsur PNI yang dominan.

 

Dalam hal berpecah, tiga parpol itu juga mengikuti pendahulunya. PDI pecah pada akhir era Orba, menjadi PDI dan PDI-P (P=Perjuangan). PDI segera menghilang, sedangkan PDI-P di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri justru menjadi parpol terbesar sampai sekarang.

 

PPP setelah ditinggal sebagian unsur NU dalam bentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) semakin lama semakin membonsai. Moto PPP sebagai parpol perumahan umat dengan lambang Ka’bahnya tidak menolong proses penciutannya. PPP telah mengikuti jejak SI yang pengaruhnya semakin menyusut dari waktu ke waktu.

 

Dari rahim Golkar setelah Orba hancur, lahir Partai Demokrat (PD), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Hanya Nasdem yang dipimpin orang sipil. Tiga yang lain didirikan mantan jenderal Angkatan Darat.

 

Dari simpatisan Masyumi lahir Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua yang terakhir belum lama ini juga berkeping. Dari rahim PAN muncul Partai Ummat, dari tubuh PKS lahir Partai Gelora.

 

Ada lagi Partai Bulan Bintang (PBB), yang mengaku sebagai pewaris Masyumi pada Pemilu 1999 masih berhasil mengirimkan 13 wakilnya ke Senayan. Pada pemilu-pemilu berikutnya, partai ini semakin terengah-engah napas hidupnya. Gagal ke Senayan, sekalipun di beberapa daerah, PBB masih punya wakilnya di DPRD. []

 

REPUBLIKA, 29 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar