Akad musaqah merupakan akad yang berlaku atas jasa perawatan dan siraman atas suatu tanaman perkebunan. Penulis mengistilahkannya dengan “tanaman perkebunan” karena hal yang disepakati dalam akad musaqah adalah berlaku atas tanaman produktif.
Sementara hal itu berlaku secara terbatas pada tanaman buah, adalah pendapat
qaul jadid dari Imam As-Syafii dengan jenis khusus tanaman berupa anggur kuning
(karam) dan kurma (nakhl). (Mughny Muhtaj, jilid II, halaman 327).
Untuk konteks Indonesia, kayaknya lebih sesuai jika dikaitkan dengan tanaman
produktif saja, namun dengan pembatasan berupa jenis tanaman yang memiliki pola
panen berulang kali. Demikian pula dengan jenis tanaman usia pendek, akad
musaqah ini lebih banyak terjadi khususnya memandang pada praktik pertanian di
wilayah Jawa.
Jika kita masukkan akad ini pada tanaman produktif jenis perkebunan, maka
karet, kopi, cengkeh, lada, gembili, teh, sawit dan sejenisnya bisa masuk dalam
lingkup bahasan tulisan ini.
Semua contoh tanaman di atas merupakan jenis tanaman dengan durasi hidup yang lama, bahkan dapat mencapai usia 20 tahun lebih. Usia ini yang menjadi inti permasalahan kita. Kalau untuk tanaman usia pendek, semacam cabe, tomat, mentimun, semangka dan sejenisnya, kita mudah memprediksi durasi waktu yang diyakini sebagai habis masa panennya. Tapi, kalau karet, sawit, kopi, dan sejenisnya, durasi habisnya masa panen itu susah untuk diprediksi.
Di sisi lain, kadang karena faktor upaya memenuhi kebutuhan hidup, seorang
petani kadang tidak senantiasa mau bekerja di ladang pertaniannya. Kadang ia
harus pergi safar ke wilayah lain untuk mengejar kebutuhan hidup itu. Nah,
persoalannya, bagaimana bila petani itu sudah menjalin akad kontrak perawatan
kebun?
Bisa jadi juga masalah lahir dari rabbul mal (juragan). Kadang karena faktor
yang tak terduga sebelumnya, ia ingin mengonversi lahannya dari lahan
perkebunan karet menjadi lahan perkebunan sawit, atau teh, atau bahkan kopi. Sementara
itu, ia sudah terlanjur menjalin akad kontrak musaqah dengan petani penggarap.
Berbagai alasan inilah yang mendasari mengapa dalam akad musaqah perlu
ditetapkan durasi waktu kontrak akad. Durasi ini sudah pasti membutuhkan
kesepakatan dan kesepahaman antara dua pihak yang saling berakad.
Berbicara mengenai durasi waktu ini, kita ingat pendapat di kalangan
Syafi’iyah, bahwa durasi itu tidak masuk dalam bagian syarat dan rukun akad
musaqah, khususnya qaul qadim. Namun, Ibnu Rusyd menambahkan durasi waktu
kontrak itu ke dalam bagian syarat keenam, dan diamini oleh ulama kalangan
Syafiiyah yang lain. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid II, halaman 320).
Hanya saja, konteks pengaminannya ini berlaku atas qaul jadid, yang mana di
dalam qaul ini, tumbuhan yang boleh dijalin dalam akad musaqah hanya jenis
tumbuhan yang manshush, yaitu kurma dan anggur kuning. Jadi, tidak mungkin kita
bawa dalam rangkaian qaul qadim, karena dalam qaul qadim itu, As-Syafi’i (w.
204 H) menetapkan pada semua jenis tanaman produktif, dan tidak hanya pada
tanaman yang manshush. (Raudhatut Thalibin, jilid V, halaman 156).
Oleh karena itu, dalam membaca, apakah durasi waktu ini boleh dilakukan dalam akad musaqah atau tidak, maka kita tidak merujuk ke pendapat Syafiiyah, melainkan kepada tiga mazhab lainnya, yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Inilah bagian terpenting yang harus kita pahami.
Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, pembatasan akad musaqah
dengan durasi waktu berjalannya akad (tawqitul musaqah) ini hukumnya adalah
boleh. Maksud dari kebolehan ini dikembalikan ke status hukum jaizah akad
musaqah, yang mana akad tersebut bisa dibatalkan kapan saja oleh pihak yang
bertransaksi mana kala ditemui ketidakcocokan lagi dalam jalinan kebersamaan
dalam membangun akad kontrak (yang berarti terjadi kasus ‘udwan).
Jika akibat terjadinya kasus sengketa saja, kontrak musaqah boleh dibatalkan,
apalagi dalam situasi tidak terjadi sengketa. Sudah barang tentu lebih
dibolehkan lagi dalam kerangka pengambilan kemaslahatan masing-masing pihak
yang terlibat dalam akad. Konteks kemaslahatan ini merupakan identik dengan
Mazhab Maliki dengan teori maslahah mursalah-nya. Hal yang hampir menyerupai
maslahah mursalah dalam Madzhab Hanafi dinamakan dengan istilah istihsan.
Dalam konteks maslahah mursalah, titik tekan utama yang jadi dasar pertimbangan
sudah pasti pula adalah maslahah mu’tabarah yang dikuatkan oleh tradisi.
Umumnya memang hati manusia selalu berbolak-balik yang kadang, hari ini ingin
bertani, namun selang beberapa waktu, ia ingin mengajar atau menjalankan usaha
lain. Ini merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri.
Untuk itulah, dalam akad/kontrak tidak ada yang berlaku abadi. Segalanya bisa berubah. Melalui pertimbangan ini, kalangan Malikiyah menetapkan dasar bolehnya pengikatan kontrak musaqah itu dengan batasan waktu (Kasyaful Qina’, jilid III, halaman 538). Semuanya dilakukan demi kemaslahatan bersama. Psikologis orang yang bosan berkebun dengan sistem musaqah, justru bisa berakibat dharar (merugikan). Yang rugi sudah pasti adalah juragan (pemilik modal). Sementara syariat menetapkan tidak boleh berbuat kerugian atau merugikan orang lain (la dharara wa la dhirara).
Hal ini berlainan dengan kalangan Hanafiyah. Dasar pertimbangan Mazhab Hanafi
dalam pembatasan waktu adalah karena adanya nash yang beredar di kalangan
mazhab tersebut, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan empat
khalifah pernah menetapkan durasi waktu terikatnya kontrak pada penduduk Yahudi
tanah Khaibar. Dengan cantolan hukum ini, maka sebelumnya kalangan Hanafiyah
yang menyatakan bahwa penetapan durasi waktu itu tidak boleh, berubah menjadi
boleh disebabkan ada dalil lain yang dianggap sebagai representatif untuk
dijadkan cantolan hukum.
Proses perpindahan dalil dari satu cantolan ke dalil yang lain sebagai dasar
hukum lainnya ini dinamakan dengan istilah istihsan (Hasyiyah Ibnu Abidin,
jilid V, halaman 182). Perpindahan dasar cantolan dalil ini harus dilakukan
seiring harus ada harta rabbul mal (pemilik modal) yang harus dijaga dari kerugian
akibat banyak faktor psikologis dari pengelola yang mungkin saja terjadi ini.
Alhasil, kalangan ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki seolah memegang teguh
maqashid syariah berupa penjagaan harta tersebut (hifzhul mal), namun karena
akad musaqah juga dibutuhkan guna menyelamatkan hidup dan menggiring kepada
hidup yang lebih baik dari petani pengelola, maka akad musaqah juga tetap harus
diberikan ruang aktualisasinya.
Salah satu cara menjamakkan dua cantolan hukum dan akad musaqah ini adalah
jalan istihsan itu, yaitu dengan menetapkan kebolehan pembatasan waktu. Inilah
indahnya syariat itu dalam mengatur bagian dari akad muamalah yang sering
berlaku di masyarakat.
Agaknya kalangan ulama Mazhab Hanbali memiliki perspektif lain dalam memandang
kebolehan penetapan durasi akad kontrak musaqah itu. Kalangan ini sepertinya
lebih condong pada ushul utama dari akad musaqah, bahwa akad tersebut pada
dasarnya merupakan akad wakalah, syirkah atau bahkan mudharabah. Oleh
karenanya, ia dapat dibatasi oleh waktu, asalkan tujuan utama dari pelaksanaan
akad tersebut secara yakin dapat dicapai oleh pihak musaqy. Tujuan utama ini
disesuaikan dengan durasi perkiraan habisnya masa produksi tanaman dan
sekaligus tujuan dari musaqy dalam mendapatkan hasil, buah dari kerjanya
merawat tanaman (Syarhu Muntahal Iradat, jilid II, halaman 345).
Suatu misal, jika cabe itu usianya 70 Hari Setelah Tanam (HST) ia bisa dipanen,
dan durasi panenan itu diperkirakan akan habis sebanyak 12 kali, dengan jarak
antara panenan satu dan panen berikutnya adalah 5 hari, yang berarti adalah 60
hari jangka waktu panen, maka boleh menetapkan batasan waktu akad musaqah pada
tanaman cabe dengan memperkirakan gabungan dua durasi itu (70 hari ditambah 60
hari, total 130 hari (4 bulan 10 hari).
Jadi, syarat utama pembatasan waktu ini berlaku sangat ketat dalam mazhab
Hanbali. Bahkan disebutkan wajib mutayaqqan (diyakini) terhadap masa habisnya
jangka waktu panen. Semua ini diterapkan dalam mempertimbangkan hak-hak dari
petani pengelola. Masak masa susahnya dia dipergunakan, sementara tinggal
petiknya saja, ia harus ditinggalkan. Kan kasihan?
Itulah masing-masing pertimbangan dari kalangan tiga mazhab selain Syafiiyah dalam
menetapkan batas durasi waktu kontrak dalam akad musaqah tesebut. Sudah pasti,
masing-masing pendapat ada plus dan minusnya. Wong namanya saja, hukum asal
penetapan batas waktu tersebut tidak diperbolehkan oleh empat mazhab.
Adapun karena faktor kemaslahatan yang harus dijaga, maka hal tersebut menjadi
diperbolehkan. Ini merupakan pendapat yang diadopsi oleh An-Nawawy sebagaimana
dituangkan dalam kitabnya, Raudhatut Thalibin, juz V, halaman 156. Wallahu
a’lam bis shawab. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU
Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar