Dalam Fiqih Syafiiyah, ada dua pendapat mengenai kriteria akad musaqah. Rincian tentang syarat dan rukun akad tersebut memiliki penjelasan yang sama. Meskipun, Ibnu Rusyd menambahkan syarat keenam, yaitu syarat durasi waktu berlakunya akad musaqah. Penting atau tidak memberikan batas durasi waktu itu, kelak akan kita jelaskan secara terpisah.
Saat ini kita fokus terlebih dahulu mengenai pembagian kerja, job deskripsi,
antara pemilik kebun dan pengelola. Karena syarat dan rukun akad antara qaul
qadim dan qaul jadid adalah sama, maka kriteria pembagian tugas ini sudah
barang tentu juga menemui kesamaan.
Secara umum, kriteria pembagian tugas dalam madzhab Syafii memiliki titik temu
dengan Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanbali dalam beberapa hal. Di dalam Kitab Al-Umm,
jilid IV, Imam As-Syafi‘i (204 H) mengatakan bahwa:
وكل
ما كان مستزادا في الثمرة من إصلاح للمار وطريق الماء وتصريف الجريد وإبار النخل
وقطع الحشيش الذي يضر بالنخل أو ينشف عنه الماء حتى يضر بثمرتها شرطه على المساقاة
وأما سد الحظار فليس فيه مستزاد لاصلاح في الثمرة ولا يصلح شرطه على المساقى فإن
قال فإن أصلح للنخل أن يسد الحظار فكذلك أصلح لها أن يبنى عليها حظار لم يكن وهو
لا يجيزه في المساقاة وليس هذا الاصلاح من الاستزادة في شئ من النخل إنما هو دفع
الداخل
Artinya, “Segala pekerjaan yang memiliki imbas langsung pada peningkatan hasil produksi buah, seperti memperbaiki jalan bagi orang yang lewat (jalan panen), saluran irigasi air, menebang batang kurma yang sudah mati, mengawinkan kurma, mencabut gulma yang dapat mengganggu tanaman, atau mengatur limpasan air yang dapat mengganggu pertumbuhan buah, semuanya merupakan bagian pekerjaan yang dapat disyaratkan dalam akad musaqah. Adapun pekerjaan seperti membangun pagar, maka bukan termasuk bagian dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan upaya menambah jumlah produksi kurma. Pekerjaan semacam tidak layak untuk dimasukkan ke dalam bagian akad kepada pengelola (musaqy). Jika pemilik kebun mengatakan bahwa agar terjaga kesehatan tanaman seyogianya dipagari, sehingga karenanya ia memerintahkan kepada musaqy agar membangun pagar bagi tanaman tersebut, maka perintah tersebut boleh diabaikan (mulgha) serta tidak layak disampaikan dalam akad musaqah. Memperbaiki pagar sama sekali tidak ada kaitannya dengan upaya menambah hasil produksi tanaman secara langsung. Keberadaan pagar hanya berfungsi sebagai pencegah agar orang tidak masuk ke area ladang.” (Al-Imam As-Syafi'i, Al-Umm lis Syafii, juz IV, halaman 11).
Berdasar pernyataan Imam As-Syafi’i rahimahullah (w. 204 H) di atas, Al-Mawardi
(w. 450 H), di dalam Kitab Al-Hawi, juz IX, halaman 178-179, membagi
empat jenis tugas/pekerjaan yang kadang disyaratkan dalam relasi antara
pengelola dan pemilik kebun pada akad musaqah. Keempat jenis pekerjaan tersebut
berisi antara lain sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang memiliki manfaat langsung terhadap buah saja, namun tidak
pada tanaman.
2. Pekerjaan yang memiliki manfaat kembali langsung kepada tanaman saja, dan
tidak pada buah.
3. Pekerjaan yang memiliki manfaat kembali langsung pada buah sekaligus
tanamannya.
4. Pekerjaan yang tidak memiliki efek manfaat kembali langsung pada keduanya
Pertama, Pekerjaan yang Memiliki Efek Langsung Pada Buah Saja.
Contoh dari pekerjaan ini adalah mengawinkan tanaman, memangkas batang pohon yang sudah mati, menyilangkan sari, mengurangi buah yang masih muda, memetik buah yang siap panen.
Semua jenis pekerjaan ini berkaitan langsung dengan upaya menambah produksi
buah dan boleh disyaratkan kepada pengelola/petani penggarap untuk
mengerjakannya. Secara khusus, Al-Mawardi (w. 450 H) mengelompokkan pekerjaan
ini menurut tingkat wajib dan tidaknya ia dilakukan oleh petani penggarap
sebagai 3 macam, yaitu:
1. Pekerjaan yang tidak bisa tidak harus dilakukan oleh petani seorang. Karena
jika tidak dilakukan, maka tanaman tidak bisa berbuah. Contoh dari pekerjaan
ini misalnya adalah mengawinkan/menyilangkan tanaman.
2. Pekerjaan yang tidak wajib dikerjakan sendiri oleh pengelola kecuali dengan
syarat dapat menambah jumlah produksi buah secara nyata. Adapun bila tidak
dilakukan, tanaman juga tetap baik dan hasilnya juga normal. Contohnya misalnya
memangkas daun yang kering atau batang yang mati dan membersihkan seludang
buah.
3. Pekerjaan yang diperselisihkan antara perlu dilakukan atau tidak. Misalnya adalah perlakuan khusus terhadap tanaman, yang sebelumnya pernah diujicobakan oleh pemilik kebun bahwa hal itu dapat menambah produksi buah. Sementara itu petani pengelola memiliki pengalaman lain yang mungkin berbeda dari pemilik.
Apakah petani penggarap wajib melakukan macam pekerjaan yang ketiga ini? Dalam
hal ini ada dua pendapat.
Pertama, tidak wajib baginya melakukan pekerjaan tersebut kecuali adanya syarat bahwa jika tidak dilakukan, maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi kurang sempurna.
Kedua, wajib bagi petani melaksanakannya tanpa syarat, seiring bukti percobaan yang pernah dilakukan oleh pemilik terhadap tanaman sebelumnya.
Kedua, Pekerjaan yang Manfaatnya Hanya Kembali Kepada Tanaman, Namun Tidak Pada
Buah.
Contoh dari pekerjaan ini adalah memagari kebun, menggali sumur untuk mengairi tanaman, dan sejenisnya. Semua jenis pekerjaan ini tidak boleh disyaratkan kepada petani pengelola untuk melakukannya. Bahkan, andaikan pekerjaan itu disyaratkan oleh pemilik kebun, maka syarat itu merupakan syarat yang batil. Akad musaqah yang dibangun oleh keduanya secara tidak langsung menjadi akad fasid (rusak).
Apakah dengan demikian, akad musaqah menjadi langsung batal? Sebagian kalangan
ulama menyatakan akad musaqah yang dibangun tetap sah dan terus berjalan,
sementara syarat bisa diabaikan. Akan tetapi, sebagian yang lain, para ulama
juga menyatakan batalnya akad, dan pemilik kebun harus membayar ujrah mitsil
kepada petani pengelola.
Ketiga, Pekerjaan yang Manfaatnya Kembali pada Buah dan Sekaligus Tanaman.
Contoh dari tugas ini misalnya adalah tugas menyirami tanaman, membajak tanah, menyiangi gulma, hingga pekerjaan-pekerjaan lain yang umumnya dapat menambah hasil produksi tanaman.
Secara umum jenis pekerjaan yang dianggap memiliki faedah kembali terhadap
peningkatan hasil produksi, perkembangan dan pertumbuhan tanaman dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Pekerjaan yang tanpanya, perkembangan dan pertumbuhan tanaman menjadi tidak
akan baik sehingga terganggu. Contoh dari pekerjaan ini adalah menyirami
tanaman, khususnya ketika umur tanaman masih terbilang muda dan belum dapat
dibiarkan tumbuh kembang sendiri tanpa disiram.
2. Pekerjaan yang tanpanya jumlah hasil produksi akan menurun.
Sebenarnya kedua jenis pekerjaan ini saling mendukung (syumuly). Jadi, susah
untuk dibedakan, siapa yang harus bertanggung jawab untuk menanganinya. Namun,
para fuqaha berhasil merangkumnya sebagai ada tiga pendapat, yaitu:
1. Pendapat yang menyatakan bahwa pekerjaan itu wajib dilakuka oleh amil
seorang karena sudah tercakup pengertiannya di dalam akad.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa pemilik kebun lah yang bertugas melakukan
pekerjaan jenis ini sehingga dapat membatalkan akad bilamana diharuskan pada
amil yang menjalankan. Alasan yang disampaikan oleh kalangan ini adalah bahwa
pekerjaan tersebut lebih kuat korelasinya dengan perkembangan dan pertumbuhan
tanaman, dan tidak pada buah.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa boleh pekerjaan itu dibebankan kepada amil
(petani penggarap) dengan alasan, meski secara langsung pekerjaan itu
berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, namun juga memiliki
kaitan dengan hasil produksi tanaman. Akan tetapi sifat disyaratkannya beban
tugas ini tidak bersifat mengikat. Adakala pekerjaan itu juga bersifat mengikat
bagi pemilik lahan.
Meski sudah dirangkum sedemikian rupa, namun tetap sulit untuk dibedakan
mengenai siapa yang harus bertanggung jawab. Menurut hemat penulis, salah satu
jalan terbaik adalah mengadakan akad shuluh kemudian bekerja sama untuk
melakukan pekerjaan itu. Toh, akad musaqah berangkatnya adalah dari akad
syirkah (kemitraan) atau mudharabah. Bagaimana pun, gotong royong adalah solusi
memudahkan pembagian tugas itu.
Keempat, Jenis Pekerjaan yang Tidak Ada Nilai Faedah Kembali Kepada Peningkatan
Hasil Produksi dan Tanaman.
Contoh dari pekerjaan ini adalah membangun gubuk tempat berteduh para pemanen, atau bahkan syarat keharusan bekerja di tempat pemilik kebun. Mensyaratkan pekerjaan sebagaimana contoh pekerjaan di atas, adalah batil dan merupakan bagian dari akad ganda (uqudul murakkabah) yang dilarang disebabkan antara akad satu dan akad lainnya saling menafikan. Seharusnya tidak boleh akad semacam itu. Bekerja di tempat pemilik lahan sih boleh. Namun jika itu menjadi keharusan disebabkan relasi akad musaqah yang dibangun, maka hukumnya menjadi haram.
Sebagai catatan terakhir dari tulisan ini adalah, di masyarakat kita sering
kali juga diperkenalkan akad musaqah pada tanaman kelas usia pendek. Biasanya
relasi antara pemilik lahan dan petani penggarap, dalam kaitannya bahwa
pengelola bekerja di tempat juragan yang memberi garapan, disatukan oleh sisi
etis saja.
Maksudnya adalah, wong dia mendapatkan upah garapan berupa akad musaqah, masak
mau kerja di tempat lain? Tidak etis lah? Demikian kiranya relasi itu dibangun.
Sisi etis yang sudah mendarah daging ini tidak bersifat membatalkan akad,
melainkan justru bernilai maslahah karena menjaga hubungan baik antara kedua
pihak. Wallahu a’lam bis shawab. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar