Membaca Trend Globalisasi (45)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Strategi Globalisasi Ummat
Oleh: Nasaruddin Umar
Mengapa konsep ummah begitu cepat dan mudah diterima? Mengapa begitu gampang menembus batas geografis dan merasuk di dalam lapis-lapis budaya masyarakat lokal? Jawabannya karena konsep ummah dibangun di atas asas universal. Konsep ummah Islam mempunyai kekuatan batin sehingga membuat sasaran-sasarannya tidak kuasa menolaknya. Bukan hanya gagasannya masuk akal tetapi juga sehati dengan masyarakat. Apabila stelsel ummah bersentuhan suatu negeri maka serta merta negeri itu respek dan merelakan diri tunduk di bawah spirit konsep ummah. Asas universal ummah inilah kemudian melahirkan kebudayaan Islam.
Kemudahan penetrasi kebudayaan dan peradaban Islam disebabkan karena asas peradaban Islam sangat universal dan seolah tidak menimbulkan ancaman bagi kekuatan-kekuatan lokal. Penerimaan konsep ummah tidak menimbulkan ancaman terhadap pusat-pusat kerajaan dan pemerintahan setempat. Kalaupun ada maka itu memang sejalan dengan nilai-nilai luhur local mereka. Para penguasa lokal tetap saja bisa melanjutkan kekuasaan dan pengaruhnya tanpa harus terusik dengan kehadiran orang baru. Uang dihadirkan dalam konsep ummah ialah ajaran, bukan orang.
Di antara asa universal ummah ialah: 1) al-ikha, yaitu menjunjung tinggi rasa persaudaraan kemanusiaan antara para pendatang dan penduduk local. Program al-ikha' ini dicontohkan Nabi ketika hijrah ke Madinah. Laki-laki pendatang (muhajirin) dikawinkan dengan perempuan pribumi (anshar). Demikian pula sebaliknya, laki-laki anshar dikawinkan dengan perempuan muhajirin. Akibatnya pembauran genetik yang dampaknya sangat strategis secara psikologis sangat penting. Generasi penerus kedua kelompok tidak direpotkan lagi dengan isu pribumi dan pendatang, karena terjadi pembauran utuh antara keduanya. 2) Al-Musawa, yaitu prinsip persamaan. Islam memperkenalkan asas peradabannya dengan prinsip persamaan (al-musawa). Baik sebagai sesama makhluk biologis, sesama pewaris sejarah peradaban masa lalu, dan bentuk-bentuk persamaan lainnya. Islam selalu atau lebih sering mengedepankan prinsip persamaan (principle of identity) ketimbang prinsip perbedaan (principle of negation). Perinsip persamaan ini didasari oleh banyak ayat antara lain Q.S. S. aal-Hujurat/49:13).
3) Al-Tasamuh, yaitu prinsip toleransi. Islam bukan hanya mewacanakan toleransi sebagaimana banyak disinggung di dalam Al-Qur'an, antara lain Q.S. al-Kafirun/109:1-6), tetapi juga dipraktekkan dalam lintasan sejarah umat Islam di berbagai Negara, dari dulu sampai sekarang. Tidak kurang dari 15 kali kata Nashara (Kristen) dan 10 kali kata Yahudi disebutkan di dalam Al-Qur'an. Bahkan agama-agama minoritas non Abrahamic Religion seperti Al-Shabi'in.
Ini semua menggambarkan adanya spirit toleransi di dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam. 4) Al-Musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia (musyawarah) yang tidak lain maknanya adalah demokrasi, yaitu memberi kesempatan secara terbuka kepada semua pihak mengedepankan pendapatnya secara merdeka, tanpa harus khawatir sedikit pun kepada siapapun, kerena prinsip demokrasi ini sesuai dengan anjuran Allah swt di dalam Q.S. Ali 'Imran/3:159). Allah Swt juga memberi contoh dengan berdialog dengan para malaikat tentang rencana penciptaan amnesia (Q.S. al-Baqarah/2:30 dst), berdialog dengan Iblis (Q.S. al-Hijr/15:32), dan manusia (Q.S. al-A'raf/7:172). 5) Al-Mu'awanah, yaitu prinsip tolong menolong atau gotong royong. Prinsip ini didukung banyak seruan di dalam Al-Qur'an dan hadis. Atara lain Q.S. al-Maidah/5:2). Kelima asas ini menjadi faktor mudahnya diterima tawaran peradaban Islam di dalam dunia internasional. []
DETIK, 20 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar