Para pengkaji hadits satu waktu akan menemui kondisi ada nama atau sanad yang tidak sama urutannya, atau konten matan yang tidak sama satu dan yang lainnya, baik beda itu hanya dalam urutan atau sampai mengubah substansi. Kasus membolak-balik atau menukar redaksi matan atau sanad hadits seperti itu berada dalam pembahasan hadits maqlub.
Istilah maqlub berasal dari bentuk objek kata qalaba, yang artinya ‘membalik’. Adanya keterbalikan dalam penyebutan hadits ini tentu lumrah dalam keseharian manusia. Seberapa sering kita lupa urutan suatu hal, atau lupa nama orang? Demikianlah problem yang sangat mungkin terjadi dalam hadits maqlub.
Kasus maqlub ini dapat terjadi dalam matan dan sanad. Mari kita mulai membahas maqlub dalam matan. Kiranya tertukarnya matan ini bisa lebih banyak ditemui, terutama dalam hadits-hadits yang menyebutkan urutan. Para ulama kebanyakan berpendapat jika tertukarnya urutan hadits ini tidak mencederai maksud hadits, ia tidak mengurangi kualitas hadits tersebut.
Semisal hadits tentang hak muslim satu dan yang lainnya. Enam poin dalam hadits tersebut begitu populer, yaitu: ketika berjumpa memberi salam; ketika diundang, hendaknya dipenuhi; ketika diminta nasehat, maka hendaknya disampaikan; ketika seseorang bersin, bacaan hamdalahnya kita respon; ketika sakit hendaknya menjenguk, dan terakhir ketika meninggal, jenazahnya mesti diantar ke makamnya.
Redaksi tersebut adalah yang populer dalam Shahih Muslim. Dalam telaah hadits, ada beberapa varian redaksi hadits yang urutannya tidak demikian. Belum lagi dalam berbagai forum ceramah, jika penceramahnya tidak hafal betul hadits tersebut bakal terbalik-balik. Tapi kiranya keterbalikan itu masih bisa diterima, karena tidak memengaruhi substansi pesannya.
Bagaimana jika tertukarnya konten tersebut mempengaruhi makna? Berikut contoh maqlub matan yang dimaksud:
...ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لاتعلم يمينه ما تنفق شماله
Artinya: “...dan orang yang merahasiakan sedekah, sampai sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kirinya.”
Benarkah memberi sedekah itu dengan tangan kiri? Dalam jamaknya hadits-hadits tentang kebaikan, sangat dianjurkan dilakukan dengan tangan kanan.
Hadits di atas bertema tentang golongan yang akan mendapatkan keteduhan di hari kiamat kelak. Ternyata, diketahui dari riwayat lain bahwa matan hadits yang diulas di atas terbalik. Matan yang lebih benar adalah sebagai berikut:
...حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
Artinya: “...sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya”
Jadi ada redaksi matan yang tertukar, yaitu posisi kata “yamin” yang berarti tangan kanan dengan “syimal” yang berarti tangan kiri. Banyak riwayat hadits juga menyebutkan bahwa dalam urusan kebaikan, hendaknya mendahulukan bagian kanan – semisal dalam hal pemberian sedekah yang dianjurkan menggunakan tangan kanan.
Untuk mengetahui tertukarnya matan hadits ini, tentu perlu melakukan telaah hadits dari seluruh riwayat tentang tema terkait. Dengan demikian, kontradiksi redaksi hadits bisa ditemukan.
Pada sanad, setidaknya ada dua kasus yang mungkin terjadi. Pertama adalah terbaliknya nama seorang perawi. Semisal seseorang bernama Ka’ab bin Murrah, namun disebutkan dalam sanad dengan Murrah bin Ka’ab. Tertukarnya nama ini akan cukup menyulitkan identifikasi sosok perawi yang penting dalam kajian jarh wa ta’dil untuk menentukan kualitas hadits. Lebih-lebih nama dalam tradisi Arab bisa serupa satu sama lain dan sulit membedakannya.
Selain itu, problem kedua maqlub dalam sanad adalah penukaran suatu sanad dengan sanad yang lain. Semisal, dalam kasus hadits riwayat Hammad an Nashibi yang menyatakan mendapat hadits dari Al-A’masy, dan dari Abu Shalih. Faktanya setelah ditelusuri, hadits yang dimaksud tidak diriwayatkan oleh Al-A’masy, namun dari Suhail bin Abu Shalih. Perawi itu diganti untuk tujuan “memoles” kualitas hadits.
Periwayatan hadits maqlub rupanya memiliki beberapa tujuan. Seperti dicatat oleh Mahmud Tahhan dalam Taysir Musthalah Hadits, bahwa setidaknya ada tiga maksud membalik hadits: untuk membuat masyarakat suka dan percaya dengan hadits yang ada; untuk menguji hafalan hadits; serta memang ada kesalahan saat menghafal dan meriwayatkan yang tak disengaja.
Menukar konten hadits untuk menguji ulama lain atau muridnya terjadi salah satunya ada dalam kisah Imam al-Bukhari, sebagaimana dikisahkan Imam An-Nawawi dalam Taqrib-nya. Suatu ketika para ulama melakukan penukaran dan membolak-balik konten hadits yang disampaikan kepada Imam al-Bukhari. Ternyata, beliau bisa mengetahui letak tertukarnya konten hadits tersebut, dan disandarkan kepada sanad yang tepat.
Dari tiga tujuan menukar konten hadits di atas, maka ada beberapa catatan tentang hukum hadits yang redaksinya tertukar atau maqlub tersebut. Dalam tujuan untuk menguji hafalan, hal itu dibolehkan dengan menyertakan penjelasan setelah ujian tersebut dilaksanakan.
Jika tertukarnya konten hadits ini akibat keliru hafalan atau periwayatan, status perawi perlu dipertimbangkan tidak lagi dlabith atau mumpuni. Kualitas hadits yang tertukar ini bisa turun derajatnya menjadi hasan, atau lebih banyaknya, menjadi dla’if. Apalagi jika menukar dan membolak-balik sanad atau matan hadits untuk mendistorsi isi maupun kualitasnya demi kepentingan yang tidak maslahat, tentu ini kurang tepat. Wallahu a’lam. []
Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; mahasiswa Profesi Dokter UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar