Senin, 25 Januari 2021

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (43) Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pancasila sebagai Melting Pot

Membaca Trend Globalisasi (43)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Pancasila sebagai Melting Pot

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Pancasila bisa menjadi sebuah contoh keakraban antara kearifan lokal dan ajaran universal Islam. Universalitas nilai-nilai Islam tidak mesti harus dipertentangkan dengan nilai-nilai local. Nilai-nilai local yang sarat dengan nilai-nilai-nilai kemanuisaan sesungguhnya dengan sendirinya menjadi nilai-nilai universal. Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah sebuah rahmat Tuhan yang tak ternilai harganya, karena dengannya Indonesia mampu bertahan di atas berbagai tantangan dari dalam dan dari luar. Mungkin para founding fathers kita tidak pernah membayangkan bahwa apa yang telah ditetapkan secara mufakat berupa penentuan dasar negara melahirkan Indonesia indah seperti saat ini. Sementara negara-negara muslim terbesar mengalami krisis konseptual pasca kemerdekaannya tetapi Indonesia sudah menganggap selesai segala sesuatu yang berhubungan dengan dasar kebangsaan. NKRI sudah disepakati sebagai bentuk final bagi bangsa Indonesia.

 

Kehadiran Pancasila sebagai melting pot ternyata bermuara pada terbentuknya masyarakat madani (baca: civil society) yang amat elegan bagi bangsa ini. Civil society di sini mengandung arti kecenderungan untuk mewujudkan nilai-nilai islami lebih dominan sebagai kosekwensi populasi umat Islam yang menduduki posisi mayoritas mutlak. Bukannya mengedepankan legal formalism sebagai negara Islam sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab Fikih Siyasah. Penampilan civil society dalam arti tersebut lebih membuka diri untuk mengakomodir semua unsur yang ada dengan tetap memperhatikan unsur-unsur istimewa di dalam masyarakat. Kelompok inilah yang mempopulerkan istilah "masyarakat madani" sebagai wacana dalam kehidupan berbagsa dan bernegara lima tahun terakhir ini. Kelompok ini terus mengkristal sehingga menjadikan NKRI semakin kokoh.

 

Bangsa ini sangat beruntung karena Islam yang dikembangkan di dalamnya ialah Islam yang dominan beraliran Ahlu Sunnah dengan mazhab fikih Syafi yang lebih dominan. Aliran dan mazhab ini berperang penting juga di dalam mewujudkan keindonesiaa yang yang moderat. Namun bangsa ini tetap harus waspada karena intensitas pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia cenderung dipengaruhi mobilitas masyarakat yang semakin tinggi. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia semakin membaik, memungkinkan warganya mengirim anak-anak mereka studi ke luar negeri semisal ke Timur Tengah atau ke Eropa dan AS. Kehadiran manusia cerdas memiliki potensi besar untuk memberikan pengaruh ke dalam masyarakat, termasuk mempengaruhi pandangan keagamaan seperti aliran atau mazhab.

 

Doktrin dan daya tarik nuansa keagamaan tertentu yang dirasakan dan dialami di luar negeri bisa saja ikut menjadi faktor di dalam aktivitas alumni luar negeri tersebut. Apalagi ketika mereka belajar di luar negeri mendapatkan doktrin Khusus dari profesornya, seperti disinyalir adanya kekuatan itu di dalam masyarakat. Jika demikian adanya, maka tidak ada cara terbaik selain memperkokoh pemahaman dan penghayatan warga bangsa terhadap filosofi Pancasila. Mereka perlu diperkenalkan secara komprehensif bahwa kelahiran Pancasila adalah rahmat bagi bangsa Indonesia, bukannya laknat, sebagaimana pernah diperkenalkan oleh kelompok tertentu di dalam masyarakat.

 

Masalah agama adalah salah satu faktor yang sangat sensitif di Indonesia. Ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia termasuk penganut agama yang setia. Solidaritas agama biasanya mengalahkan ikatan-ikatan primordial lainnya, seperti ikatan kesukuan dan ikatan kekerabatan. Oleh karena itu, penataan antar umat beragama dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus. Pemberian wawasan keindonesiaan, termasuk di dalamnya falsafah bangsa Pancasila dan UUD 1945, ditabah pengenalan umum doktrin keagamaan yang dianut di Indonesia, perlu dilakukan. Jika anak-anak bangsa terjun bebas ke Barat atau ke Timur Tengah, apalagi dalam usia yang relative masih sangat muda, dikhawatirkan akan membawa pulang anasir-anasir tertentu, yang sadar atau tidak sadar dapat mengganggu ketenangan berbangsa dan bernegara. []

 

DETIK, 18 September 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar