Donald Trump dan Olengnya Demokrasi Amerika
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dunia lega, Trump dikalahkan Joe Biden, sekalipun masih saja bikin ulah macam-macam. Tindakan yang paling busuk dan biadab adalah penyerbuan Capitol Hill pada 6 Januari 2021 yang lalu oleh pengikut Trump.
Lima orang tewas termasuk seorang polisi. Sejak terpilih empat tahun berselang, saya dan banyak pengamat yang lain di muka bumi sudah berkomentar bahwa Trump ini bukanlah manusia waras. Hebatnya, dia berhasil menciptakan pengikut-pengikut fanatik buta.
Secara resmi, kekuasaan Trump akan berakhir pada 20 Januari 2021 saat presiden baru dilantik. Rakyat Amerika yang dianggap paham demokrasi, ternyata banyak juga yang mudah dikelabui oleh seorang demagog Trump.
Sekalipun terlambat, beberapa senator dari Partai Republik pada hari-hari terakhir ini mulai balik kanan karena muak dengan kelakuan jagonya.
Partai Demokrat tampaknya ingin mempermalukan Trump dengan usul pemakzulannya, sekalipun kekuasaannya hanya tersisa beberapa hari. Yang paling lantang bersuara adalah Ketua DPR, Nancy Pelosi. Biden sekalipun setuju dengan pemakzulan ini, tetapi tidak mau memusatkan perhatian kepada usul itu. Namun, ada sisi baiknya fenomena Trump ini.
Sistem demokrasi liberal yang pernah dinobatkan Francis Fukuyama sebagai akhir sejarah, tidak ada lagi sistem politik yang mengunggulinya, oleh kelakuan Trump menjadi jungkir balik dan berantakan.
Dalam sejarah Eropa, kasus mirip bukan sesuatu yang baru. Jerman pernah melahirkan Adolf Hitler, Spanyol Franco, Italia Mussolini. Nama-nama ini semula lahir dari sistem demokrasi yang sedang membusuk.
Artinya, jika Trump menang pada periode kedua, berarti demokrasi Amerika memang sedang menghadapi masalah besar yang mematikan.
Untunglah, di antara rakyat Amerika masih banyak yang waras, termasuk belakangan dari kalangan Partai Republik, pendukung Trump dalam pilpres.
Di antara yang paling waras itu adalah intelektual independen, Prof Noam Chomsky, yang mengatakan bahwa: “…Trump is the worst criminal in human history.” (Trump adalah penjahat terburuk dalam sejarah kemanusiaan).
Saya belum menemukan komentar yang setajam dan sedahsyat ini selain yang diberikan Chomsky. Bayangkan, dalam usia 91 tahun, Chomsky masih galak dan jernih pemikirannya. Media global tidak pernah bosan menghubunginya.
Dalam ungkapan lain, urat takut Chomsky sudah lama putus. Dia tidak peduli. Sekali mencium ketidakwarasan di mana pun di muka bumi, Chomsky langsung berteriak.
Semoga, masih akan muncul manusia lain dari rahim berbagai bangsa yang mengikuti jejak linguis, aktivis, dan penulis politik Chomsky yang sangat fenomenal ini.
Pada hari-hari terakhir, Trump masih saja melindur bahwa kekalahannya dalam pilpres adalah karena “his second term was stolen from him” (jabatan kedua kalinya dicuri darinya). Hebat, kan?
Namun, yang lebih seru lagi adalah sebagian rakyat Amerika telah memilih Trump sebagai presiden ke-45 AS. Fakta ini tidak akan pernah dapat dihapus sepanjang sejarah negara itu.
Adapun kemudian, mungkin sebagian para pemilih itu merasa malu karena memilih Trump tidak ada gunanya lagi. Malu yang harus ditelan.
Meski demikian, ada hal lain yang patut ditambahkan di sini dalam kaitannya dengan Arab Saudi. Sudah terekam dalam ingatan kolektif umat manusia bahwa Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) telah menjalin persahabatan sangat erat dengan Trump dan menantunya, Jared Kushner.
Maka itu, tuan dan puan dapat menyimpulkan sendiri martabat seorang MBS yang dipilih Raja Salman sebagai putra mahkota yang akan menyandang gelar khadimu al-haramain (pelayan dua kota suci).
Dunia Muslim sama sekali tidak peka terhadap fenomena yang sungguh tidak patut ini. Mungkin karena pengaruh petrodolar yang dikucurkan Saudi di berbagai negara. Uang bisa melumpuhkan hati nurani! []
REPUBLIKA, 12 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar