Jumat, 15 Januari 2021

(Ngaji of the Day) Para Penerima Zakat yang Bisa Ditemukan di Lokasi Bencana

Allah subhanahu wata'ala berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Al-Taubah [9] ayat 60:

 

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

 

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orang-orang fakir, orang miskin, pengelola zakat (amil), orang yang dibujuk hatinya (muallaf), dalam memerdekakan budak, orang yang memiliki utang, dan perjuangan di jalan Allah dan ibnu sabil. Demikianlah ketentuan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana” (QS Al-Taubah [9]: 60).

 

Ayat ini secara tegas menjelaskan mengenai beberapa asnaf (pihak) yang boleh menerima penyaluran zakat oleh pihak wajib zakat atau pengelola zakat. Ada 8 ashnaf yang disebutkan secara tegas oleh ayat. Kedelapan asnaf itu selanjutnya dijadikan tolok ukur keabsahan oleh para ulama. Mereka sepakat bahwa penyaluran zakat ke selain depan asnaf tersebut hukumnya tidak sah.

 

Akan tetapi, para ulama berbeda-beda dalam melakukan penafsiran dan memberi penjelasan terkait delapan asnaf ini. Pada tulisan ini akan disajikan secara global mengenai beberapa asnaf, khususnya bila dikaitkan dengan wilayah yang terdampak bencana.

 

Fakir

 

Syekh Taqiyuddin al-Husny menjelaskan mengenai asnaf fakir ini sebagai berikut:

 

وحد الفقير هو الذي لا مال له ولا كسب أو له مال أو كسب ولكن لا يقع موقعا من حاجته كمن يحتاج إلى عشرة مثلا ولا يملك إلا درهمين وهذا لا يسلبه اسم الفقر وكذا ملك الدار التي يسكنها والثوب الذي يتجمل به لا يسلبه اسم الفقر وكذا العبد الذي يخدمه

 

Artinya: “Batasan dari fakir adalah orang atau pihak yang tidak memiliki harta atau pekerjaan, atau punya harta dan pekerjaan namun tidak mampu mencukupi kebutuhannya, seperti orang yang butuh 10 dirham umpamanya, akan tetapi hanya memiliki 2 dirham. Kepemilikan semacam ini tidak merusak dari sebutan baginya sebagai fakir. Demikian juga, punya rumah sebagai tempat tinggal dan baju untuk berhias, tidaklah merusak pada status fakir. Sebagaimana juga kepemilikan hamba yang melayani rumah tangganya, semua itu tidak dapat menghilangkan istiilah fakir” (Kifayatu al-Akhyar, jilid I: 197).

 

Jika menilik definisi ini maka hampir dapat dipastikan bahwa sebagian orang terdampak bencana yang masuk dalam status fakir. Mungkin beberapa di antaranya ada yang memiliki tabungan dan memiliki kendaraan, akan tetapi dalam situasi darurat, yang mana tidak ada fasilitas lain yang buka, maka orang tersebut hakikatnya juga bisa dikategorikan sebagai fakir. Hal ini dengan menimbang kondisi pada status butuhnya ia terhadap uluran tangan orang lain, yang bila tidak diberi, maka dapat berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dia. Butuh terpenuhinya kebutuhan dasar pada saat terjadi bencana atau pasca bencana selama beberapa waktu, sudah cukup sebagai alasan bagi dia disebut fakir.

 

Miskin

 

Definisi miskin ini menyerupai definisi fakir, hanya sedikit yang menunjukkan perbedaannya. Berikut ini yang sempat dikutip oleh penulis dari penjelasan Syekh Taqiyuddin al-Hushny dalam kitabnya:

 

والمسكين هو الذي يملك ما يقع موقعا من كفايته ولا يكفيه بأن كان مثلا محتاجا إلى عشرة وعنده سبعة وكذا من يقدر أن يكتسب كذلك حتى لو كان تاجرا أو كان معه رأس مال تجارة وهو النصاب جاز له أن يأخذ ووجب عليه أن يدفع زكاة رأس ماله نظرا إلى الجانبين

 

Artinya: “Miskin adalah orang yang memiliki harta yang hampir mampu mencukupi kebutuhannya, misalnya butuh 10 dirham, namun di sisinya hanya ada 7 dirham. Masuk dalam kategori miskin adalah orang yang sebenarnya mampu bekerja, bahkan seumpama pedagang, yang andai di sisinya ada pokok harta tijarah yang mencapai satu nishab yang berhak untuk ditarik wajib zakatnya dan dibayarkan khususnya bila melihat kepada kanan kirinya, (ia masih masuk kategori miskin selagi hartanya itu tidak mencukupi kebutuhannya).” (Kifayatu al-Akhyar: Jilid I, halaman 197).

 

Berdasar definisi ini, penjelasan mengenai status korban bencana bahkan bisa diperluas lagi. Tidak hanya orang yang memiliki pekerjaan, bahkan seandainya orang tersebut masuk kategori berada (sebelum terjadinya bencana), maka dalam situasi bencana, ia berhak untuk mendapatkan uluran bantuan dari zakat sebab kondisi yang melingkupinya saat bencana itu terjadi.

 

Muallaf

 

Muallaf secara umum menunjukkan sebagai pihak yang dibujuk hatinya agar condong kepada Islam. Ada dua kategori pihak yang masuk dalam asnaf muallaf ini, sebagaimana penjelasan berikut:

 

والمؤلفة قلوبهم ضربان مسلمون وكفار فلا يعطى الكافر من الزكاة بلا خلاف لكفرهم

 

Artinya: “Muallaf itu ada dua, yaitu Muslim dan kafir. Pihak kafir tidak bisa disantuni dari harta yang berasal dari zakat tanpa khilaf karena sifat kekafirannya” (Kifayatu al-Akhyar: jilid I: 199).

 

Dalam hemat penulis, ketentuan ini mungkin disebabkan karena zakat merupakan harta yang berasal dari ibadah harta. Karena merupakan bagian dari ibadah dengan dicirikan adanya niat, sehingga penyalurannya pun bersifat terbatas hanya berlaku atas mustahiq Muslim (orang Muslim saja yang berhak menerimanya).

 

Akan tetapi, sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan, ada alokasi dana lain yang bisa turut menjadi bagian yang disalurkan kepada saudara non-Muslim ini, yaitu dana yang diperoleh dari kafarat, nadzar, atau harta khumus, yaitu harta yang diperoleh dari harta rikaz. Bagi lembaga penyalur dana, umumnya dana bantuan bisa diperoleh dari infak dan sedekah. Nah, dua kategori dana terakhir juga bisa disalurkan atas nama solidaritas kemanusiaan kepada mereka. Apalagi, lembaga kemanusiaan umumnya memang menggalang dana atas nama infak, bukan zakat.

 

Baca juga: Perbedaan antara Zakat, Sedekah, Infak, Hibah, dan Hadiah

 

Gharim

 

Sebenarnya ulasan tentang gharim ini ada tiga. Namun, kiranya di lokasi bencana, kategori gharim yang paling memungkinkan masuk adalah yang ada dalam wilayah cakupan ta’rif berikut:

 

الدين الذي لزمه لمصلحة نفسه فيعطى من الزكاة ما يقضي به دينه إن كان دينه في غير معصية

 

Artinya: ‘[Pihak yang memiliki] utang dan diperuntukkan untuk kemaslahatan diri sendiri. Orang atau pihak ini (boleh) diberi harta zakat sekadar untuk menutup utangnya jika utang tersebut dipergunakan bukan dalam rangka maksiat” (Kifayatu al-Akhyar, jilid I: 199).

 

Sudah pasti utang yang dimaksud untuk kemaslahatan diri sendiri ini adalah utang yang terjadi selama masa bencana dikarenakan terputusnya ia dari mata pencahariannya yang menjadi sumber nafkahnya.

 

Demikianlah beberapa asnaf yang mungkin ada di wilayah lokasi bencana. Sebenarnya, ulasan ini terlalu umum. Ulasan secara mendetail kiranya membutuhkan tulisan secara khusus lagi. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar