Membaca Trend Globalisasi (44)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Sinkronisasi Agama dan Negara
Oleh: Nasaruddin Umar
Agama dan negara sama-sama memperebutkan loyalitas dari obyek yang sama, yaitu masyarakat. Adalah wajar jika anggota masyarakat memberikan loyalitas penuh kepada agama karena agama adalah urusan yang amat pribadi menentukan masa depan manusia lahir batin. Wajar pula anggota masyarakat loyal terhadap negaranya sebagai konsekuensi sebagai warga negara. Idealnya agama dan negara saling mengontrol satu sama lain. Agama bisa mengontrol negara agar tidak jatuh menjadi negara sekuler. Namun negara juga harus mengontrol penerapan ajaran agama agar tidak menjadi negara agama. Kontrol antar keduanya sebaiknya terukur dengan mengacu kepada kondisi objektif bangsa dan yang paling penting tentunya ialah konstitusi negara kita.
Jika negara berada dalam kontrol ketat agama maka ketika itu negara subordinasi dari kekuatan agama dan menjadilah negara itu sebagai negara agama, seperti yang pernah ditampilkan sejumlah negara agama, seperti negara Republik Islam Iran, Pakistan, Afganistan, dan negara-negara lainnya. Sebaliknya jika negara mengontrol ketat agama maka agama akan menjadi subordinasi kekuatan negara yang diwakili pemerintah. Jika ini terjadi maka dikhawatirkan bisa terjadi dua hal. Pertama, agama dirangkul dan dijadikan kekuatan legitimasi oleh penguasa untuk meraih loyalitas dan dukungan. Kedua agama dijadikan target atau sasaran kebijakan, dan sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh eksistensi dan pengaruh luas di dalam masyarakat, karena agama dianggap sebagai rival yang juga menuntut loyalitas masyarakat.
Apabila sebuah rezim memperalat agama sebagai kekuatan legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan, maka pada saat itu agama akan tampil dengan wajah garang. Ini mengingatkan kita ketika paruh pertama rezim orde baru yang mengontrol agama sedemikian kuatnya. Seolah-olah agama, menjadi bagian dari ancaman strategis nasionalisme yang perlu dimata-matai. Berbagai akronim menakutkan ikut mengambil bagian, seperti komando jihad, kelompok fundamentalis, aliran sesat, NII, dan akronim lainnya. Aktivis agama seringkali diperhadapkan dengan institusi negara yang menakutkan seperti Kopkamtib yang pernah memiliki kewenangan amat luas itu. Yang ideal sebenarnya ialah agama menjadi partner aktif pemerintah di dalam mewujudkan cita-cita NKRI.
Sebaliknya jika sebuah rezim memperalat negara sebagai kekuatan legitimasi guna mengukuhkan kekuasaan maka saat itu agama akan ditekan sehingga dianggap sebagai ancaman nasionalisme yang amat berbahaya. Negara bisa jatuh ke dalam negara totaliter yang menganggap nilai dan ajaran agama dianggap sebagai rival nilai-nilai negara yang selalu harus dicurigai. Akibatnya negara bisa jatuh menjadi negara sekuler. Sejarah seringkali berulang. Ketika sang penguasa memegang kendali agama dan digunakan sebagai kekuatan ekstra untuk melegitimasi kekuasaan maka di situ akan terjadi bencana kemanusiaan yang mengerikan. Betapa tidak, manusia akan dipaksa tunduk di bawah otoritas penguasa. Siapapun yang berusaha membangkang dari otoritas itu bisa berarti malapetaka baginya. Peristiwa yang menimpa Galileo yang harus menjadi tumbal dari kekejaman raja sering dijadikan contoh akan bahayanya jika agama menjadi stempel legitimasi penguasa.
Idealnya agama dan negara saling mengontrol dalam rangka mencapai cita-cita dan tujuan luhur bangsa. Jika hal ini bisa dicapai maka cita-cita dan tujuan agama dan negara bisa dicapai secara paralel. Satu sama lain saling mendukung dan tidak terkesan ada persaingan satu sama lain. Agama dan negara memang berpotensi berhadap-hadapan atau sama lain karena keduanya menuntut loyalitas penuh dari obyek yang sama. Kita sangat yakin Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 akan berjalan serasi dan saling mendukung satu sama lain menuju baldatun thayyibah wa Rabbun gafur. Seperti halnya negara-negara nasional lainnya berhasil membuat negara merdeka dan berdaulat tanpa meninggalkan ajaran luhur agama Islam. []
DETIK, 19 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar