Melawan Setan Korupsi
Oleh: Guntur Soekarno Putra
SEJAK kita memproklamasikan Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sampai dengan saat ini, pemerintah selalu dihadapkan pada masalah pemberantasan korupsi. Di era pemerintahan Orde Lama (istilah Bung Karno Orde Dasar/Ordas), Orde Baru, Orde Reformasi selalu saja pemerintah direpotkan masalah pemberantasan korupsi yang tidak pernah tuntas.
Di era pemerintahan Bung Karno pernah dibentuk panitia retooling aparatur negara yang dipimpin AH Nasution, yang tugasnya termasuk pemberantasan korupsi. Saat ini kita mengenal adanya KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua lembaga tadi sudah berhasil menangkap koruptor-koruptor yang kelasnya sesuai dengan kondisi keuangan negara dan ekonomi saat itu.
Walaupun lembaga-lembaga tadi sudah bekerja keras, ternyata korupsi belum dapat diberantas secara tuntas. Bahkan, setiap saat ada saja oknum-oknum, khususnya para pejabat yang melakukan korupsi. Benar-benar korupsi itu laksana setan yang setiap saat selalu bergentayangan.
Bung Karno, sebenarnya pernah memberikan penjelasan dan pernyataan bahwa di dunia ini ada 3 hal yang tidak dapat dihilangkan atau diberantas tuntas 100% sampai ke akar-akarnya, yaitu prostitusi (pelacuran), judi, dan korupsi.
Tiga hal tersebut hanya dapat dieliminasi atau ditekan sampai sekecil-kecilnya. Namun, mustahil hilang tuntas 100%. Hal ini perlu dimengerti petugas pemberantasan korupsi agar mereka tidak menjadi frustrasi ketika memberantas setan korupsi yang akan muncul setiap saat.
Sejarah mencatat, ketika Bung Karno menjadi Presiden, korupsi ada, ketika Soeharto menjadi Presiden, korupsi tetap ada. Pendek kata, siapa pun yang menjadi Presiden di NKRI ini, korupsi tetap ada, hanya kuantitas dan kualitasnya yang berbeda-beda. Jadi, bagaimana caranya memberantas setan korupsi agar benar benar hilang tuntas? Ya tidak mungkin! Menurut Bung Karno, kita hanya bisa menekan sekecil-kecilnya setan korupsi tadi.
Mengapa ada korupsi?
Korupsi muncul pada intinya karena lemahnya ketahanan mental dan minimnya kesadaran budi pekerti dari seseorang, bahkan masyarakat dari suatu bangsa dan negara.
Hal ini berhubungan erat dengan pendidikan nation and character building, pendidikan pembangunan jiwa dan watak bangsa. Di negara dan bangsa mana pun di kolong langit ini, pendidikan amat penting, bahkan mahapenting kalau mau meminimalkan adanya setan korupsi dan koruptor. Hal ini juga sangat bergantung dari sistem pendidikan yang ada pada suatu bangsa atau negara.
Bagi Indonesia, menurut hemat saya, pendidikan budi pekerti dan pembangunan watak dan jiwa bangsa harus dilaksanakan pemerintah sedemikian rupa sehingga seluruh bangsa dan rakyat Indonesia mempunyai budi yang luhur serta jiwa patriotisme yang menyala-nyala sehingga seseorang yang korupsi tidak hanya dihukum sesuai pasal-pasal hukum yang berlaku, tetapi juga dihukum masyarakat sekelilingnya.
Sang koruptor, bahkan dengan keluarganya akan dikucilkan masyarakat sekelilingnya sedemikian rupa yang menimbulkan efek jera.
Jadi, sang koruptor tadi bukan jera alias kapok karena terali besi penjara, melainkan karena terali besi masyarakat sekelilingnya.
Walaupun sudah ada hukuman dari masyarakat, secara keseluruhan korupsi tidak dapat diberantas/dihilangkan keseluruhan 100%.
Hal ini perlu disadari seluruh aparat antikorupsi yang ada. Mungkin saja akibat semangat yang menggebu-gebu ingin menghilangkan secara tuntas masalah korupsi di Indonesia, dan ternyata selalu tidak berhasil, membuat aparat menjadi apatis dan demoralisasi secara mental. Hal in, haruslah dihindari sedini mungkin.
Di era reformasi ini sudah berpuluh-puluh kasus korupsi yang bermunculan silih berganti, mulai kelas teri sampai dengan kelas kakap, bahkan kelas paus. Sayangnya, ada beberapa kasus yang hukumannya sudah diputuskan hakim, akan tetapi justru membuat masyarakat awam kecewa karena menilai hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Misalnya, ada koruptor kelas paus yang hukumannya hanya berkisar 2 tahun. Di lain pihak, seorang nenek yang mencuri beberapa buah cokelat diganjar 3-4 tahun penjara! Katanya untuk efek jera.
Mental baja
Untuk memenuhi harapan masyarakat awam, khususnya dan penegakan keadilan yang seadil-adilnya, kita perlu memiliki tenaga-tenaga di aparat hukum yang mempunyai mental baja. Hal ini bukan berarti aparat penegak hukum saat ini bermental loyo, sama sekali tidak. Namun, alangkah baiknya bila mereka mempunyai mental sekuat baja sehingga keputusan hukum yang terjadi benar benar memenuhi rasa keadilan masyarakat awam.
Terus terang saya tidak main gebyah uyah atau pukul rata mengenai produk-produk hukum yang ada, akan tetapi saya memang melihat dan merasa ada produk-produk hukum yang 'mengganjal' di hati saya karena tampaknya aneh.
Benarkah kekuasaan cenderung korup?
Para pakar hukum kita biasanya selalu mengutarakan kekuasaan itu cenderung berujung korup atau menimbulkan korupsi. Terutama, pakar hukum kita yang titelnya sudah seabrek dan lulusan perguruan tinggi luar negeri. Khususnya, negeri Barat yang menganut sistem demokrasi liberal, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, bahkan Belanda, atau Australia.
Menurut Bung Karno, korupsi tidak selalu di timbulkan faktor kekuasaan, tetapi faktor mental, faktor kejiwaan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sekiranya dalam suatu negara atau pemerintahan berlaku secara konkret pendidikan pembangunan jiwa dan watak bangsa, serta kepada generasi muda sampai dengan generasi tua diberikan pendidikan budi pekerti sejak di tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah, dapat dipastikan kekuasaan tidak akan cenderung menimbulkan korupsi.
Apalagi, bila karena pendidikan tadi, kesadaran politik masyarakat menjadi kuat dan tinggi. Maka, korupsi akan dapat dikurangi/diminimalkan sekecil-kecilnya. Bahkan, hampir zero corruption! Walaupun demikian, setan korupsi tetap saja tidak dapat dihilangkan 100% karena hal itu ialah kenyataan sejarah di era zaman apa pun.
Jadi, bagaimana cara menghilangkannya? Terus terang saya tidak tahu. Barang kali kita harus minta bantuan iblis untuk memerangi setan korupsi! []
MEDIA INDONESIA, 08 Januari 2021
Guntur Soekarno Putra | Pengamat Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar