Selasa, 19 Januari 2021

Helmy Faishal Zaini: Senyum NU dan Muhammadiyah

Senyum NU dan Muhammadiyah

Oleh: A Helmy Faishal Zaini

 

Menarik menyimak tulisan Buya Ahmad Syafii Maarif yang bertajuk ”Pesan untuk Muhammadiyah dan NU” di Kompas (5/1/2021).

 

Tulisan ulama cum sejarawan itu berangkat dari lukisan Djoko Susilo yang berisi sosok KH Ahmad Mustofa Bisri dan Buya Ahmad Syafii Maarif bergandengan tangan, yang dinilai melampaui zamannya.

 

Bertolak dari lukisan itu, setidaknya ada 12 pesan yang disampaikan oleh— meminjam julukan dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur)—”Pendekar dari Chicago” itu. Semua pesan itu sangat kontekstual dan relevan. Namun, tiga di antara 12 pesan tersebut menarik untuk didiskusikan.

 

Tulisan ini berupaya untuk memberi data dukung terhadap tiga pesan utama yang saya rasa sangat penting. Pertama, dua organisasi ini mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam tangan perusak, termasuk mereka yang mengatasnamakan agama sebagai alat.

 

Kedua, organisasi yang sama-sama didirikan pra-kemerdekaan RI ini adalah benteng utama guna membendung infiltrasi ideologi yang telah kehilangan perspektif masa depan untuk Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

 

Ketiga, generasi baru dari kedua organisasi harus berpikir lebih terbuka dan radius pergaulan tidak terkotak-kotak secara sempit sebagai bentuk respons tantangan kontemporer.

 

Komitmen NU-Muhammadiyah

 

Pada poin pertama, saya masih ingat pada 19 Mei 2017, saat ramai-ramai isu soal pembubaran HTI, kami bersama- sama mengadakan halakah bertajuk ”Negara Pancasila dan Khilafah”. Muhammadiyah saat itu diwakili Sekretaris Umum Prof Abdul Mu’ti dan Nahdlatul Ulama (NU) diwakili Ketua Umum Prof Dr KH Said Aqil Siroj. Saya yang berkesempatan mendampingi halakah tersebut merasakan betapa kuat komitmen kedua organisasi dalam memeluk ideologi kebangsaan yang menjadi konsensus bersama.

 

NU memiliki sejarah pergulatan yang panjang dengan komitmen kebangsaan, keindonesiaan, dan Pancasila. Bahkan, ini terjadi paling tidak sejak tahun 1936 ketika Muktamar Ke-11 NU di Banjarmasin yang memutuskan bahwa Hindia Belanda merupakan negara damai (darussalam), bukan negara perang (darul harb). Puncaknya, pada 1984, NU tercatat sebagai organisasi massa Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi.

 

Bagi NU, Pancasila adalah muahadah wathoniyyah (konsensus kebangsaan) yang harus dijunjung dan dihormati serta terus dikontektualisasikan dan diimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Muhammadiyah memiliki konsep darul ahdi was syahadah yang diputuskan pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makkasar tahun 2015. Konsep darul ahdi was syahadah memberi penekanan bahwa Negara Pancasila (Indonesia) merupakan hasil konsensus nasional (darul ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (darus syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (darussalam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan rida Allah SWT.

 

Bagi saya pribadi, menjalankan Pancasila secara sungguh-sungguh sudah merupakan bagian dari menjalankan syariat Islam. Sebab, nilai-nilai agama Islam sudah terkandung dalam Pancasila. Maka, pada posisi ini, kita tidak perlu formalisasi syariat, formalisasi bentuk dan sistem negara menjadi negara Islam, atau dalam wujud lain seperti gagasan NKRI bersyariah.

 

Kita dalam menjalankan keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas (Baca ”Negara Pancasila dan Khilafah”, Kompas, 2/6/17).

 

Kedua, pada 23 Maret 2018, pimpinan tertinggi kedua organisasi dengan didampingi pengurus harian masing-masing sepakat menggelar pertemuan bertajuk silaturahim keluarga besar NU dan Muhammadiyah dengan mengangkat tema ”Mewujudkan Islam yang Damai dan Toleran Menuju Indonesia Berkeadilan”.

 

Dalam pertemuan tersebut dihasilkan lima komitmen bersama yang ditandatangani oleh Prof Dr KH Said Aqil Siroj dan Prof Dr KH Haedar Nashir yang berisi, pertama, NU dan Muhammadiyah berkomitmen mengawal dan menjaga konsensus pendiri bangsa bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final dalam berbangsa dan bernegara. Keberagamaan yang ada harus dibingkai dengan persatuan dan kesatuan bangsa.

 

Kedua, NU dan Muhammadiyah akan terus melakukan upaya peningkatan taraf hidup dan kualitas warga terutama dalam pengembangan pendidikan karakter yang mengedepankan akhlakul karimah di semua jenjang, termasuk penguatan basis ekonomi keumatan dan peningkatan pelayanan kesehatan.

 

Ketiga, NU dan Muhammadiyah menyerukan kepada pemerintah agar bersungguh-sungguh mengurangi kemiskinan dan angka pengangguran. Selain itu, pemerintah agar melakukan upaya terukur agar kesenjangan ekonomi dan sosial teratasi dengan baik.

 

Keempat, mengimbau warga NU dan Muhammadiyah agar bersinergi dalam menjaga iklim yang kondusif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

 

Kelima, NU dan Muhammadiyah mengajak warganya agar menjadikan tahun politik 2018 (saat itu) sebagai cara untuk melakukan perubahan yang berarti bagi bangsa dan negara. Perbedaan yang ada jangan sampai menjadi pemicu perpecahan.

 

Perbedaan harus dijadikan sebagai rahmat yang menopang harmoni kehidupan yang beraneka ragam. Sebab, demokrasi tidak hanya membutuhkan kerelaan hati menerima perbedaan pendapat, tetapi juga kesabaran, ketelitian, dan cinta kasih antar-sesama.

 

Pernyataan sikap bersama itu pada aras yang paling dasar bisa dimaknai sebagai upaya konkret kedua organisasi untuk menegaskan komitmen bersama untuk membangun bangsa dengan tetap menghargai kebhinekaan, perbedaan, dan keterbukaan. Nilai-nilai itu harus jadi landasan bertindak dan bersikap dalam konteks berbangsa dan bernegara.

 

Pada aras yang lebih spesifik, pertemuan tersebut merupakan upaya preventif yang dilakukan kedua organisasi di saat turbulensi politik sedang memanas dan negara sedang menghadapi ancaman polarisasi yang sangat tajam.

 

Banyak pengamat dan ilmuwan, salah satunya Ross Tapsell (2019) dalam ”The polarisation paradox in Indonesia’s 2019 elections” yang menggambarkan betapa ancaman polarisasi sangat berbahaya dalam konteks Indonesia saat itu. Bahkan, kita bisa merasakan, disadari atau tidak, riak-riak polarisasi ini masih terasa hingga saat ini.

 

Hal kecil yang mungkin luput dari sorotan media saat pertemuan dua organisasi besar itu adalah sebuah ayat yang menjadi latar belakang pertemuan, yakni surat An-Nisa ayat 114. Ayat ini berbunyi ”laa khaira fi katsirin min najwahum illa man amara bishaqatin au ma’rufin au islahin bainannasi”.

 

Pesan kontekstual ayat ini artinya tidak ada gunanya segala bentuk diskusi, bahkan mungkin juga berorganisasi, yang tidak bermuara pada tiga agenda pokok yang mendasar: perintah untuk bersedekah dan menggalakkan filantropisme, mengupayakan perbuatan- perbuatan baik, dan menciptakan rekonsiliasi. Saya rasa ini adalah pesan utama yang menjadi spirit kedua organisasi ini bersinergi lebih intensif.

 

Islam yang tersenyum

 

Pertemuan bersejarah di kantor PBNU yang menghasilkan lima poin sikap bersama tersebut kemudian ditindaklanjuti pada 31 Oktober 2018. Pengurus Besar NU membalas kunjungan ke kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah. Kembali, dalam forum yang sangat gayeng dan erat nuansa tali persaudaraan itu, terumuskan empat poin penting yang disepakati oleh kedua organisasi.

 

Pertama, NU dan Muhammadiyah berkomitmen kuat menegakkan keutuhan dan kedaulatan NKRI yang berdasarkan atas Pancasila dan sebagai bentuk dan sistem kenegaraan yang islami.

 

Kedua, NU dan Muhammadiyah mendukung sistem demokrasi dan proses demokratisasi sebagai mekanisme politik kenegaraan dan seleksi kepemimpinan nasional.

 

Ketiga, NU dan Muhammadiyah berkomitmen meningkatkan kerja sama yang konstruktif untuk mencerdaskan bangsa. Kelima, kedua belah pihak mengajak semua elemen untuk mengedepankan kearifan dalam bersikap.

 

Peristiwa saling kunjung di antara dua ormas ini saya rasa bukan semata silaturahim biasa. Ini adalah silaturahim kebangsaan yang menjadi penanda bahwa dua organisasi besar ini mempunyai pandangan dan agenda yang sama dalam konteks memandang keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan sebagaimana dipesankan Buya Syafii Maarif.

 

Lalu, bagaimana dengan kondisi generasi muda kedua organisasi? Pada dasarnya watak keterbukaan pada sayap anak- anak muda di setiap organisasi, baik di NU maupun Muhammadiyah, hingga saat ini berada pada posisi yang bagi saya sangat membahagiakan.

 

Anak-anak muda NU yang sudah berdiaspora dengan trayek pendidikan yang bukan hanya dari pesantren, tetapi juga banyak yang menempuh jalur pendidikan di Barat, sebagaimana juga yang dilakukan oleh anak-anak Muhammadiyah, menjadi salah satu alasan mengapa kita optimistis dengan watak keterbukaan di antara keduanya. Ini adalah modal penting yang harus dirawat bersama-sama.

 

Alakulli hal, apa yang saya kemukakan adalah bagian kecil dari sekian banyak agenda bergandengan tangan yang terjadi antara NU dan Muhammadiyah dalam konteks berbangsa dan bernegara. Banyak pengamat asing dan ulama berbincang kepada kami di PBNU dan menyatakan bahwa sepanjang NU dan Muhammadiyah masih terus menjadi pelopor dalam menebarkan ”Islam yang tersenyum (smiling Islam)”, Indonesia akan aman, damai, sejuk, dan sejahtera. Amin. []

 

KOMPAS, 12 Januari 2021

A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar