Beberapa penyandang disabilitas selalu menggunakan kursi roda atau tongkat untuk beraktivitas. Yang seringkali menjadi masalah adalah bagian roda kursi roda atau bagian bawah tongkat yang seringkali diidentikkan sebagai barang najis seperti halnya sandal atau sepatu sehingga dianggap bermasalah apabila di bawa ke tempat-tempat ibadah yang dianggap suci.
Sebenarnya, apakah roda kursi roda dan bagian bawah tongkat dengan segala bentuknya selalu dihukumi najis ketika sudah dipakai menyentuh tanah, aspal, jalanan dengan berbagai kondisinya?
Sebenarnya, hal-hal tersebut tidak dihukumi najis kecuali telah nyata-nyata ada barang najis yang menempel. Misalnya pada pakaian terdapat kotoran hewan, darah, muntahan dan sebagainya. Namun, meskipun telah secara nyata ada barang najis yang menempel, hukumnya dimaafkan (ma’fû) apabila berasal dari tempat umum yang sulit dihindari najisnya, misalnya jalan raya, dengan catatan jumlahnya sedikit dan tidak dengan sengaja menginjak bagian najisnya. Selengkapnya dapat dilihat dalam pernyataan para ulama berikut:
وَعَنْ طِيْنِ الشَّارِعِ الذِّي تُيُقِّنَ نَجَاسَتُهُ وَإِنِ اخْتَلَطَ بِنَجَاسَةٍ مُغَلَظَّةٍ لِعُسْرِ تَجَنُّبِهِ وَ إِنَّمَا يُعْفَى عَمَّا يَتَعَذَّرُ أَيْ يَتَعَسَّرُ الْاِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا وَيَخْتَلِفُ بِالْوَقْتِ وَمَوْضِعِهِ مِنَ الْثَّوْبِ وَالْبَدَنِ فَيُعْفَى فِي الذَيْلِ وَالرِّجْلِ فِي زَمَنِ الشِّتَاءِ عَمَّا لَا يُعْفَى عَنْهُ فِي الْكَمِّ وَالْيَدِ وَالْذَّيْلِ وَالرِّجْلِ زَمَنَ الصَّيْفِ أَمَّا إِذَا لَمْ يَعْسُرْ تَجَنُّبُهُ فَلَا يُعْفَى عَنْهُ …وَخَرَجَ بِالطِّيْنِ عَيْنُ الْنَّجَاسَةِ فَلَا يُعْفَى عَنْهَا وَبِتَيَقُّنِ نَجَاسَتِهِ مَا لَوْ غَلَبَتْ عَلَى الظَّنِّ فَإِنَّهُ طَاهِرٌ لِلأَصْلِ.
“Dimaafkan keberadaan tanah jalan raya yang diyakini najis, sekalipun telah bercampur dengan najis berat (seperti najisnya anjing dan babi) sebab biasanya hal tersebut sulit dihindari. Hukum ma'fu atau dimaafkan ini berbeda-beda tergantung waktu dan tempat keberadaan najis, apakah di baju atau di badan. Maka dimaafkan keberadaan najis di kaki dan ujung bawah pakaian di musim dingin tetapi tidak dimaafkan keberadaannya di lengan baju dan tangan. Begitu juga keberadaan najis di lengan baju dan tangan dimaafkan di musim panas sebab sulit dihindari. Adapun ketika mudah untuk dihindari maka tidak dimaafkan keberadaannya.... Tidak sama dengan tanah yang diyakini bercampur najis, keberadaan barang yang najis itu sendiri (kotoran hewan dan sebagainya) tetap tidak dimaafkan (wajib dibuang dan disucikan bekasnya). Berbeda juga kasusnya kalau tidak diyakini najis tetapi hanya diduga bercampur dengan najis maka hukum tanah jalan itu tetap suci sama seperti sedia kala” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim ‘ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971 M], h. 113)
وَطِينُ الشَّارِعِ الْمُتَيَقَّنُ نَجَاسَتُهُ يُعْفَى عَنْهُ عَمَّا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ غَالِبًا، وَيَخْتَلِفُ بِالْوَقْتِ، وَمَوْضِعِهِ مِنْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ .
“Tanah jalan raya yang diyakini najisnya itu dimaafkan selama sulit untuk dihindari dalam keadaan biasanya. Pemberlakuan hukum ma'fu ini berbeda sesuai waktu dan tempatnya di badan dan pakaian” (Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, [Bairut: Dar al-Fikr, tt], juz, I, h. 192).
(قَوْلُهُ: وَأَفْتَى شَيْخُنَا إلخ) عِبَارَةُ الْفَتَاوي: سُئِلَ عَنِ الْشَّارِعِ الَّذِي لَمْ يَكُنْ فِيْهِ طِيْنٌ وَفِيْهِ سِرْجِيْنٌ وعذرة الآدَمِيِّيْنَ وَزُبَلُ الْكِلَابِ، هَلْ يُعْفَى - إِذَا حَصَلَ الْمَطَرُ – عَمَّا يُصِيْبُ الثَّوْبَ وَالرِّجلَمِنْهُ ؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ: يُعْفَى عَمَّا ذُكِرَ فِي الشَّارِعِ مِمَّا يَتَعَسَّرُ الْاِحْتِرَازُ عَنْهُ لِكَوْنِهِ عَمَّ جَمِيْعَ الطَّرِيْقِ. وَلَمْ يُنْسَبْ صَاحِبُهُ إِلَى سَقْطَةٍ وَلَا إِلَى كَبْوَةٍ وَقِلَّةِ تَحَفُّظٍ. اهـ.
“Guru kami berfatwa yang isinya: dia ditanya tentang jalan raya yang tidak ada tanahnya yang di atasnya terdapat kotoran hewan, kotoran manusia dan kotoran anjing. Apakah dimaafkan status najisnya ketika ada hujan kemudian mengenai pakaian dan kaki? Beliau menjawab: Bagian yang sulit untuk dihindari dari hal tersebut dimaafkan di jalan raya sebab najisnya merata di seluruh jalan, selama orangnya tidak dianggap jatuh, sengaja menginjak najisnya atau tidak menjaga diri” (Al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah ath-Thalibin, [Bairut: Dar al-Fikr, tt], juz, hlm. 104).
Intinya, roda kursi roda dan bagian bawah tongkat dengan segala bentuknya selalu tidak dihukumi najis ketika sudah dipakai menyentuh tanah, aspal, jalanan dengan berbagai kondisinya. Yang dianggap najis adalah hanya ketika barang-barang tersebut nyata-nyata menyentuh barang najis seperti kotoran hewan, muntahan, nanah, darah dan sebagainya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar