Membaca Trend Globalisasi (34)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Trend Jilbab (2): Makna Jilbab
Oleh: Nasaruddin Umar
Busana muslimah di Indonesia yang lebih populer dengan jilbab, menggeser kosakata "kerudung". Jilbab berasal dari akar kata jalaba berarti menghimpun dan membawa. Jilbab menjadi istilah untuk pakaian luar (the outer costume), pakaian lebar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh, di India dan Pakistan, milayat di Libia, abaya di Iraq, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika, seperti di Mesir, Sudan dan Yaman. Hanya saja Fatimah Mernissi dalam Beyond the Veil Male-Female Dinamics in Modern Muslim Society, menpermasalahkan pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir (the gorden), tetapi pada abad ke 4 H berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan.
Di Indonesia sendiri jilbab mulai populer sebagai pakaian penutup kepala sejak tahun 1980-an, terutama setelah revolusi Islam di Iran. Seperti diketahui, pemerintahan Reza Pahlevi yang pernah dikenal sebagai boneka Amerika Serikat digulingkan oleh kekuatan people power yang dipimpin oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini. Salah Satu simbol perlawanan rakyat saat itu ialah gerakan jilbab hitam (the black hijab movement). Dunia Islam seperti tersihir dengan kemenangan gemilang yang dilakukan oleh simpatisan Ayatollah Khomeini. Dampaknya bukan hanya di Iran tetapi di negara-negara mayoritas muslim pun sangat berpengaruh. Pemerintah sekuler yang berkuasa di negara-negara mayoritas muslim serta merta memberikan toleransi terhadap busana muslimah. Banyak sekolah yang tadinya melarang jilbab tiba-tiba dibolehkan. Ini dilakukan rezim pemerintah agar revolusi Islam Iran tidak berpengaruh di negerinya.
Dalam Encyclopedi Islam jenis-jenis pakaian muslimah
tidak kurang dari 100 macam. Namun yang penting ditelusuri jenis dan pengertian
beberapa istilah penutup kepala perempuan pada masa Nabi. Untuk melacak istilah
tersebut kita perlu melihat penggunaan istilah-istilah itu di dalam syair-syair
Jahiliyah. Koleksi syair klassik seperti Diwan 'Antara ibn Shaddaq dan
Mufadldlaliyyat, dapat ditemukan sejumlah pakaian perempuan sebagai berikut:
burqu', kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kescuali
dua bola mata; niqab, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut;
miqna'ah, kerudung mini yang menutupi kepala; qina', kerudung lebih lebar;
litsam atau nishaf, kerudung lebih panjang atau selendang; khimar, istilah
generik untuk semua pakaian penutup kepala dan leher; jilbab, pakaian luar
seperti dijelaskan di atas.
Jilbab bukan lagi fenomena kelompok santri atau
kelompok marginal tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena seluruh lapisan
masyarakat. Tidak sedikit pengguna jilbab bertugas di front office
kantor-kantor eksekutif, dan jilbab tidak lagi berkontradiksi dengan tempat dan
suasana khusus, seperti tempat hiburan dan pesta. Tidak sedikit jumlah artis
dan public figur menggemari dan menggunakannya. Butik busana muslimah ikut
serta menghiasi sudut-sudut eksklusif mal dan lobi-lobi hotel. Konon, jilbab
salah satu komoditi ekspor-impor semakin berkembang.
Apakah fenomena ini sebatas trend yang punya jangka
waktu tertentu, atau lahir dari sebuah kesadaran kolektif keagamaan.
Murnirnikah itu sebagai sebuah kesadaran agama yang tumbuh dari bawah, atau
lahir sebagai fenomena paternalistik, banyak kelompok atas dan selebriti
menggunakannya kemudian menjadi ikutan bagi lainnya. Murnikah sebagai mode atau
terselip unsur resistensi atau ideologi sebagai salah satu bentuk reaksi atau
perlawanan terhadap kekuatan luar, seperti dampak negatif arus globalisasi,
westernisasi atau fenomena deislamisasi lainnya. Apakah fenomena jilbab punya
kans di dalam maraknya aspirasi Perda Syari'ah, atau sebaliknya, Perda Syari'ah
menjadi faktor merebaknya fenomena jilbab, atau semacam gayung bersambut, trend
jilbab sebagai mode, privacy, dan sekaligus resistensi, mendapatkan legitimasi
struktural, atau tidak mustahil ada kekuatan politik yang ingin memanfaatkan
fenomena ini. []
DETIK, 10 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar