Perpecahan Parpol di Indonesia (V)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Tetapi rupanya, semangat menghidupkan Masyumi kembali belum pernah mati benar. Paling-paling mati suri. Demikianlah, pada 7 November 2020, di Jl Kramat Raya 45 Jakarta (dulu memang aslinya kantor Masyumi) dirayakan ulang tahun ke-75 Masyumi.
Sekaligus, diikrarkan partai ini dilahirkan kembali dari kuburnya setelah mati klinis selama 60 tahun. Catatan saya untuk pimpinan Masyumi baru ini hanya satu: Masyumi lama ditokohi negarawan-intelektual kelas berat, sebagian hasil didikan HA Salim!
Sebagai seorang yang pernah punya simpati berat pada Masyumi lama, terlepas kemudian kritik kepada partai ini, bagi saya pembubarannya atas perintah rezim DT sangat buruk bagi perjalanan demokrasi dan konsep negara hukum di Indonesia.
Memang beberapa tokoh partai ini turut pemberontakan PRRI, tetapi keterlibatan itu bukan atas nama partai. Bahkan sejak 1959, Ketua Umum Masyumi dipegang Prawoto Mangkusasmito yang tidak ikut PRRI.
Tokoh-tokoh yang terlibat PRRI, seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir, toh kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional.
Masing-masing berdasarkan Kepres RI No 113/TK/Tahun 2011 Tanggal 7 November 2011 dan Kepres RI No 041/TK/ Tahun 2008, Tanggal 6 November 2008. Artinya, jasa dua tokoh ini dinilai jauh lebih besar daripada kesalahan politik yang pernah mereka lakukan.
Kedua tokoh ini, dari sisi mana pun orang memandangnya adalah nasionalis sejati, yang tak pernah menghambakan diri kepada negara asing. Ini sangat kontras dengan tokoh-tokoh PKI, selain Tan Malaka, yang kesetiaannya kepada negara asing sangat kental.
Maka itu, dari pendukung ideologi Marxisme hanya Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo, yang diangkat jadi pahlawan nasional berdasarkan Kepres RI No 053/1963 dan Kepres RI No 163/1964. Tan Malaka nasionalis-marxist. Alimin mungkin marxist-nasionalis.
Pengangkatan Alimin memicu pro-kontra karena tokoh komunis tua ini tak pernah dipecat dari partai, seperti Tan Malaka yang sangat dimusuhi PKI.
Dalam kaitan ini, saya pribadi menyayangkan, tokoh Sumpah Pemuda yang pernah menjabat perdana menteri, Mr Amir Sjarifuddin terlibat pemberontakan Madiun 1948, yang akhirnya dihukum mati.
Padahal, jika saja Amir tidak tergoda gerakan radikal Muso yang baru saja datang dari Moskow waktu itu, tentu cukup kuat alasan mengangkatnya sebagai pahlawan nasional karena jasanya kepada perjuangan kemerdekaan juga cukup besar.
Tragedi Amir pernah ditulis sahabat dekatnya dari Masyumi, Dr Abu Hanifah sebagai berikut: Amir Sjarifudin kesudahannya tenggelam bersama-sama pemberontakan komunis di Madiun. Tanggal 28 Oktober 1948, pasukan-pasukan tempur PKI hancur. Tiga hari kemudian, 31 Oktober, Muso tewas dalam pertempuran dengan pasukan Mobrig, yang dipimpin Jenderal Jasin.
Sebelumnya, 29 Oktober, Djokosujono dan Maruto Darusman tertangkap, dan tanggal 31 Oktober itu, Amir Sjarifudin serta Soeripno ditangkap juga. Mereka dihukum mati. Revolusi memakan anaknya sendiri. (Lih. Abu Hanifah, “Revolusi Memakan Anaknya Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin” dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae (Red.), Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1981, hlm. 218).
Akhirnya, kita singgung lagi sedikit tentang parpol santri. Sampai di mana nanti parpol para santri mampu bertahan, apalagi bisa mengirimkan wakilnya ke Senayan, Pemilu 2024 akan memberikan jawabannya.
Pada Oktober 1999, saya menulis tentang parpol santri sebagai berikut: Untuk terciptanya bangunan demokrasi yang sehat di Indonesia, saatnya sudah sangat tinggi bagi para pemimpin umat membebaskan diri dari kebiasaan memainkan simbol-simbol agama, bila semuanya itu tidak terbukti mencerminkan doktrin Islam yang substantif.
Alquran dan periode dini sejarah Islam harus diajak berunding dalam usaha menyusun strategi dan langkah-langkah politik yang akurat, cerdas, dan dewasa, semata-mata untuk kebaikan dan kepentingan sesama: Muslim dan non-Muslim. Bila optimisme tanpa langkah strategis yang jitu, bangunan demokrasi [yang kuat] di Indonesia masih memerlukan tempo yang agak lama untuk terwujud. (Lih Ahmad Syafii Maarif “Demokrasi dan Posisi Umat Islam” dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Jakarta: Alvabet, 1999, hlm. 271).
Waktu sudah berjalan 11 tahun sejak tulisan itu muncul, situasi parpol santri masih saja mengidap penyakit kekanak-kanakan, sebagaimana juga berlaku pada aliran politik lain, plus hobi mereka memainkan simbol suci, tak pernah jera, entah sampai kapan.
Bagi saya, sebelum 100 tahun usia kemerdekaan, rahim bangsa ini wajib melahirkan negarawan lapang dada, tak mudah bersengketa seperti pendahulunya. Mereka yang tampil belakangan adalah para politikus dengan barisan gerbong alitnya masing-masing.
Negeri ini masih harus menahan napas panjang untuk menanggung beban kelakuan para politikus ini. Namun, berapa lama lagi bisa tahan, sementara rakyat kecil merintih dalam kegelisahan dan ratap tangis untuk perbaikan nasib di bumi Pancasila yang elok dan permai ini?
REPUBLIKA, 05 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar