Rabu, 27 Januari 2021

(Ngaji of the Day) Konsep Dasar Zakat dan Ketentuan Hartanya

Zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang paling penting setelah shalat. Ia merupakan ibadah hartawi yang berfungsi sebagai sarana penyuci (tathahhur), pembersih (nadhafah), pengembang (nama), dan penambah (ziyadah). Melalui pengeluaran sebagian dari kelebihan harta yang kita miliki kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq), seperti kepada kaum fakir, miskin dan selainnya, diharapkan harta kita menjadi bersih, berkembang, penuh keberkahan dengan seizin Allah subhanahu wa ta’ala, serta terjaga dari kemusnahan.

 

Sebagaimana termuat di dalam Al-Qur’an bahwa zakat merupakan ibadah yang juga diwajibkan kepada umat para nabi dan rasul terdahulu. Itulah sebabnya Islam datang lewat risalah Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa serta sejumlah kaidah dan aturan mengenai tata cara pelaksanaannya.

 

Islam kemudian mewajibkan pelaksanaan zakat itu agar disesuaikan dengan batas-batas, syarat dan hukum yang berlaku atasnya. Para penerimanya pun juga tak ketinggalan mendapatkan perincian yang tegas, sehingga setiap orang yang hendak menunaikan kewajiban zakat tidak bingung lagi ke mana harta hendak disalurkan. Demikian pula mengenai jenis harta yang wajib dizakati dan yang tidak wajib dizakati. Semuanya lengkap diatur oleh syariat Islam yang mulia ini.

 

Zakat Ditinjau dari Bahasa dan Tafsir

 

Secara bahasa, zakat memiliki beragam makna menurut konteks bahasa, antara lain: tathhir (penyuci), shalah (perbaikan), nama (berkembang), afdlal (lebih utama), dan aliq (yang paling patut/sesuai). Menurut Ath-Thabari (w. 350 H), “zakat” disebut dengan istilah “zakat” disebabkan karena adanya unsur keberkahan yang jelas nampak pada harta, sesaat setelah seorang wajib zakat menunaikan kewajibannya. Itulah sebabnya zakat diartikan juga sebagai nama’ (pengembang, barakah).

 

Zakat dimaknai sebagai penyuci (tathhir) dan pembersih (nadhafah) tampak sebagaimana penjelasan dari Ibnu Katsir ketika menafsiri QS Al-Lail [92] ayat 18 sebagai berikut:

 

قوله "الذي يؤتى ماله يتزكى" أي يصرف ماله في طاعة ربه ليزكي نفسه وماله وما وهبه الله من دين ودنيا

 

Artinya: "Firman Allah “alladzî yu’tî mâlahu yatazakkâ”, yakni orang yang menyalurkan hartanya di dalam rangka taat kepada Rabb-nya, agar Allah berkenan membersihkan diri dan harta yang dimilikinya serta segala yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya, dari sisi agama dan dunia.” (Tafsir Ibn Katsir) Makna zakat sebagai perbaikan (shalah) dapat kita temui pada QS al-Syams ayat 9.

 

Ath-Thabari menyampaikan ta’wil dari ayat tersebut sebagai berikut:

 

قوله: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا) يقول: قد أفلح من زكَّى الله نفسه، فكثَّر تطهيرها من الكفر والمعاصي، وأصلحها بالصالحات من الأعمال

 

Artinya: “Firman Allah SWT: “qad aflaha man zakkaha”, maksudnya: “Sungguh beruntung prang yang disucikan dirinya oleh Allah SWT, karena ia akan terjauhkan dari sifat kufur dan ma’shiyat, dan terhiasi dengan amal-amal yang shalih” (Tafsir ath-Thabari).

 

Definisi Zakat Menurut Ulama Empat Mazhab

 

Secara istilah, para fuqaha’ memberikan definisi zakat secara berbeda-beda sesuai dengan kecenderungan dan penekanannya. Untuk lebih rincinya, kita sajikan beberapa definisi itu di sini sebagaimana telah dirangkum oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, juz III.

 

Zakat menurut ulama Malikiyyah

 

Kalangan ulama ini mendefinisikan zakat, sebagai:

 

إخراج جزء مخصوص من مال بلغ نصاباً، لمستحقه، إن تم الملك، وحول، غير معدن وحرث

 

Artinya: “Keharusan mengeluarkan bagian tertentu dari suatu harta ketika telah mencapai nishab (jumlah minimum wajib zakat) kepada penerima zakat, dengan catatan jika harta tersebut merupakan milik sempurna dan mencapai haul, kecuali harta tambang dan tanaman (maka tidak perlu syarat haul).” (Al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, III/1788)

 

Zakat menurut ulama Hanafiyah

 

Menurut kalangan ini, zakat didefinisikan sebagai:

 

تمليك جزء مال مخصوص من مال مخصوص لشخص مخصوص، عينه الشارع لوجه الله تعالى.

 

Artinya: “Menyerahkan kepemilikan sebagian harta tertentu dari harta tertentu kepada pihak tertentu yang telah ditentukan oleh Pembawa Syariat, semata karena Allah ta’ala” (Al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, III/1789).

 

Zakat menurut ulama Syafiiyah

 

Kalangan Syafiiyah, mendefinisikan zakat sebagai:

 

اسم لما يخرج عن مال وبدن على وجه مخصوص

 

Artinya: “Suatu istilah yang menunjuk pengertian harta yang dikeluarkan karena arah hartanya dan karena badan menurut tata aturan yang telah ditentukan” (Al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, III/1789).

 

Zakat menurut Hanabilah

 

Kalangan Hanabilah mendefinisikan zakat sebagai:

 

أنها حق واجب في مال مخصوص لطائفة مخصوصة في وقت مخصوص.

 

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu adalah hak wajib atas suatu harta tertentu kepada pihak tertentu yang dikeluarkan pada waktu yang telah ditentukan” (Al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, III/1789).

 

Alasan Wajib dan Tidaknya Mengeluarkan Zakat

 

Meskipun ada beragam definisi yang disampaikan oleh kalangan ulama empat mazhab sebagaimana di atas, akan tetapi pada dasarnya para ulama ini sepakat dalam beberapa hal. Zakat dikeluarkan karena 4 alasan, yaitu:

 

1.     Memang wujud hartanya merupakan harta yang wajib dizakati ketika telah mencapai nishab dan haul (seperti zakat mal)

2.     Harta tersebut dikeluarkan sebagai sarana pembersih diri (seperti zakat fitrah).

3.     Hukum mengeluarkan zakat adalah wajib secara ijma’

4.     Pemilik harta tersebut adalah seorang Muslim yang merdeka

 

Berdasar 4 rincian ini maka secara tidak langsung kita diarahkan pada pemahaman bahwa ada pula harta yang tidak masuk kelompok wajib zakat. Harta ini sudah barang tentu memiliki beberapa unsur, yaitu:

 

1.     Kurang dari 1 nishab (jumlah minimum wajib zakat)

2.     Belum mencapai haul (genap 1 tahun [hijriah] dalam pengelolaan), kecuali harta tambang (ma’dan) dan harta karun (rikaz) yang keduanya masuk kelompok harta khumus. Demikian juga, ada pengecualian terhadap harta zuru’ (harta hasil tanaman) yang boleh dikeluarkan zakatnya meski belum mencapai haul, dan

3.     Bukan termasuk jenis harta zakawi, misalnya ternak yang tidak digembalakan, tanaman yang bukan masuk kelompok biji-bijian dan bisa disimpan, perhiasan yang dipakai (huliyyun mubah) dan tidak disimpan.

4.     Harta bukan milik sempurna atau disebut juga sebagai kepemilikan lemah (milkun dla’if), seperti harta yang sudah dibeli dan masih di tangan orang lain serta ada kemungkinan dibatalkan.

5.     Adanya syarat kemungkinan dibatalkan ini untuk mengecualikan harta yang diperoleh dari transaksi yang tidak bisa dibatalkan Pemiliknya bukan seorang muslim dan merdeka. Ini adalah syarat mutlak karena seorang non-muslim bukan termasuk pihak yang dikenai beban taklif (kewajiban melaksanakan hukum Islam) sehingga ia tidak wajib mengeluarkan zakat.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah - PW LBMNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar