Selasa, 26 Januari 2021

Haedar Nashir: Mengurus Indonesia

Mengurus Indonesia

Oleh: Haedar Nashir

 

Para pendiri bangsa sangat serius ketika hendak mendirikan negara Indonesia.

 

Pertanyaan utama Dr KRT Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menyangkut soal paling mendasar. Apa yang akan menjadi dasar dari Indonesia Merdeka?

 

Sebanyak 66 anggota BPUPK tidak semua memberikan jawaban lengkap atas pertanyaan fundamental itu secara luas dan mendalam. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Muhammad Yamin, Soepomo, dan Mohammad Hatta termasuk yang memberikan pemikiran mendasar atas pertanyaan Radjiman itu.

 

Menurut Soekarno, Indonesia Merdeka meniscayakan adanya Philosofische-grondslag (dasar filosofis) atau Weltanschauung (pandangan dunia), yaitu ”fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”. Sementara bagi Soepomo, Indonesia bukanlah sekadar ”ragad-fisik”, tetapi ”bernyawa”. Indonesia memiliki eksistensi, yang harus dibangun ”jiwanya” dan ”raganya” sebagaimana bait lagu ”Indonesia Raya”.

 

Apabila arah penyelenggaraan negara setelah reformasi saat ini banyak dipertanyakan, terbuka kemungkinan celah kesenjangan dari visi kenegaraan awal ketika Indonesia didirikan tahun 1945. Penyelenggaraan negara boleh jadi mengalami distorsi atau deviasi yang bergerak ke arah lain mengikuti arus pragmatisme politik dan ekonomi. Sedangkan hal yang berurusan dengan ide dasar dan visi bernegara yang bersifat filosofis diletakkan di ranah suprastruktur, yang posisinya mungkin artifisial.

 

Eksistensi negara

 

Negara, bagi Georg WF Hegel, merupakan wujud aktualisasi gagasan etik dan rasional. Hegel dengan filosofi ”akal memerintahkan dunia” meletakkan negara sebagai tujuan, yakni suatu kesatuan organik untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Meski gagasannya tentang ”roh negara absolut” (monarki konstitusional) sering dianggap membenarkan sistem totaliter, tokoh filsafat idealis ini menghendaki negara sebagai cermin semesta etik dan kehendak substansial akal pikiran yang bermakna. Dia juga menghendaki pemimpin negara yang menyatukan dirinya dengan kehendak rakyat.

 

Negara bukan alat kekuasaan semata sebagaimana pandangan John Locke dan Rousseau. Bukan pula perwujudan politik rubah yang serba perkasa versi Nicollo Machiavelli. Negara memang dalam dirinya terkandung kekuasaan. Kekuasaan negara bahkan hegemonik menjurus absolut. Tetapi, dalam sistem negara hukum dan demokrasi, pengoperasian negara oleh penyelenggara negara tidaklah absolut karena dibatasi konstitusi.

 

Di negara demokrasi, hukum pun tidaklah totaliter karena dirumuskan dan dikontrol kekuatan politik demokratis. Hukum tak boleh menjelma menjadi kekuasaan absolut, apalagi bertentangan dengan kebenaran dan keadilan yang jadi jantung eksistensi kehidupan masyarakat beradab dalam bernegara.

 

Para pendiri bangsa Indonesia secara sadar meletakkan NKRI berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Indonesia adalah Negara Pancasila. Bukan hanya manusianya baik elite maupun warga, melainkan negara itu sendiri harus ber-Pancasila. Eksistensi Negara Indonesia yang fundamental itu niscaya diresapi dan menjadi jiwa, alam pikiran, dan orientasi tindakan para penyelenggara negara, pusat dan daerah.

 

Karena itu, meski para mandataris rakyat seperti Presiden dan Wakil Presiden dengan seluruh pembantunya ataupun para kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, tidaklah berasas kekuasaan absolut. Semua aktor negara itu tak dibenarkan mengelola negara sekehendaknya. Visi dan misi yang dirumuskan pun harus sejiwa dengan konstitusi dan Pancasila.

 

Demikian halnya perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang diputuskan para penyelenggara negara tak boleh berlawanan dengan jiwa konstitusi, seperti membuka hubungan dengan negara yang terbukti menjajah atau meniadakan eksistensi negara lain karena bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945.

 

Pemerintahan Negara Indonesia dalam menjalankan kekuasaannya diperintahkan oleh konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Pemerintah Indonesia yang terwakili dalam eksekutif, legislatif, yudikatif, dan seluruh institusi pemerintahan lainnya dari pusat sampai daerah wajib hukumnya menjalankan Pancasila dan perintah konstitusi, serta tidak boleh menyalahgunakan dan menyimpangkannya baik secara verbal maupun substansial.

Problem klasik

 

Normatif lembaga pemerintahan negara secara formal akan merujuk pada Pancasila dan UUD 1945. Visi dan misi yang disusun para mandataris rakyat pun secara verbal tentu sejalan dan tidak bertentangan dengan kedua fondasi tersebut. Tetapi, di luar itu dapat dilakukan check-list terhadap sejumlah UU, peraturan pemerintah pengganti UU, dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintahan negara. Apakah semua sudah sejiwa dan tidak bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945?

 

Sistem politik Indonesia saat ini berwatak liberal meng-copy paste demokrasi Barat yang didasarkan asas kebebasan individual yang disertai praktik oligarki, otonomi daerah yang berwatak federal, dan perilaku politik transaksional. Apakah tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

 

Padahal, menurut Soekarno, ”Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini.”

 

Perekonomian Indonesia dominan liberal, dengan ekonomi kerakyatan tidak lebih dari komplementer belaka. Padahal, dalam sistem perekonomian Indonesia berbasis Pasal 33 UUD asli, menurut Bung Hatta haruslah ”Ekonomi Terpimpin” dengan tujuan menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

”Di dalam ekonomi terpimpin, pemerintah mengambil keputusan-keputusan ekonomi sesuai dengan cita- cita rakyat banyak, sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak berdasarkan pada mekanisme pasar seperti pada ekonomi liberal. Di dalam ekonomi terpimpin itu harus dicapai kedaulatan ekonomi masyarakat dan bangsa kita seiring dengan kedaulatan politik kita yang sepenuhnya telah kita miliki ini. Kedaulatan ekonomi ini sesuai dengan cita-cita kita untuk tidak bergantung pada ekonomi atau kekuatan asing,” ucap Hatta.

 

Kita dapat bertanya apakah sejumlah UU dan kebijakan pemerintah yang banyak digugat publik memang bersih dari unsur yang menyalahi tujuan, dasar, dan prinsip-prinsip konstitusional ketika republik ini dididirikan? Apakah negara telah hadir untuk mewujudkan lima sila Pancasila. Lebih khusus sila ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” ketika kesenjangan sosial-ekonomi senyatanya masih jadi realitas di negeri ini.

 

Demikian pula pengelolaan sumber daya alam Indonesia apakah benar-benar dikuasai negara untuk hajat hidup rakyat atau justru dikuasai sekelompok pihak untuk kemakmuran dirinya.

 

Di luar itu, apakah peran aktor kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara praktiknya sudah sejalan atau malah menyimpang dari jiwa, dasar, dan cita-cita kenegaraan. Sejarah Indonesia di dua periode sebelum reformasi menunjukkan praktik penyimpangan yang berakhir kejatuhan. Padahal, elite puncaknya para pejuang kemerdekaan, yang mengalami pahit getirnya mendirikan republik ini. Boleh jadi penyimpangan tidak selalu dilakukan oleh elite utama, tetapi dipraktikkan oleh ”inner circle” yang ugal-ugalan dalam menjalankan kekuasaan.

 

Para kepala daerah, anggota DPR-DPRD dan DPD, para hakim dan penegak hukum, serta pejabat negara yang korupsi baik yang terjerat maupun tak tersasar KPK sejatinya bentuk nyata dari penyimpangan terhadap dasar, tujuan, dan cita-cita bernegara. Kadang atau sering penyimpangan itu bersifat terselubung dan tidak verbalistik.

 

Perlu dikonfirmasi apakah gagasan membuka hubungan diplomasi dan ekonomi dengan Israel tidak bertentangan dengan jiwa Pembukaan UUD 1945, ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

”Checks and balances”

 

Praktik kekuasaan mengurus negara secara sadar atau tidak sering terpapar hukum politik Lord Acton, ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Problem utamanya selalu pada digdaya para aktor yang kelebihan otoritas dan melakukan ”abuse of power”, penyimpangan kekuasaan.

 

Pada era Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, praktik penyalahgunaan kekuasaan ditunjukkan dengan politik otoriter.

 

Setelah reformasi jangan sampai terjadi karena para aktor kuasa merasa dipilih langsung oleh rakyat, akhirnya mempraktikkan politik monolitik atas nama rakyat atau ”populisme otoriter”. Koalisi politik pun seyogianya tidak mengarah pada praktik kekuasaan mutlak yang tidak dapat dikontrol publik dan tidak berjalannya politik ”checks and balances”.

 

Praktik penyalahgunaan kekuasaan boleh jadi tak berlangsung secara verbal, tetapi secara substansial dan fungsional yang mengandung pengingkaran atas prinsip dan tujuan dasar bernegara. Sejumlah produk perundang-undangan dan kebijakan pemerintah secara verbal absah karena diputuskan secara otoritatif, tetapi kandungan isinya bisa saja tak sejiwa dengan dasar dan tujuan didirikan Negara Republik Indonesia.

Pusaran utamanya selalu pada kesewenang-wenangan atau penyimpangan kekuasaan, ketika sudah berkehendak kun fayakun yang sulit dilawan akal murni dan suara publik. Di sinilah pentingnya otentisitas jiwa, etika, dan keteladanan para aktor negara selaku negarawan sejati dalam mengurus Indonesia! []

 

KOMPAS, 15 Januari 2021

Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar