Membaca Trend Globalisasi (40)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Islam dan Keberadaan Agama Lokal
Oleh: Nasaruddin Umar
Jiwa paling luhur manusia tidak pernah terpisah dengan agama. Sebagai zoon religion manusia sesungguhnya tidak pernah terasing dengan ajaran agama. Hanya saja masih ada orang yang tidak sadar kalau sesuatu yang hidup dalam lubuk hatinya paling dalam tidak lain adalah fenomena agama. Sekafir apapun seseorang pasti memiliki rongga agama di dalam dirinya. Orang yang berpaham komunis bisa saja mengingkari adanya Tuhan tetapi tidak akan pernah bisa mengingkari adanya misteri kehidupan. Di mana ada misteri di situ ada God Spot yang bekerja di dalam alam bawah sadar manusia. Misteri kehidupan setiap manusia menjadi bukti adanya Tuhan yang biasa disebut kekuatan super natural, kekuatan gaib, keajaiban alam, atau apapun namanya. Mungkin ada yang menolak agama tetapi fungsi dan keberadaan unsur-unsur agama di dalam diri lingkungan hidupnya sulit diingkari.
Jauh sebelum agama-agama besar datang ke negeri ini seperti Hindu, Budha, Protestan, Katolik, Islam, dan Konghucu, bangsa Indonesia sudah mengenal sistem religi, bahkan sejumlah etnik sudah mengenal konsep Tuhan Yang Maha Esa, seperti masyarakat Bugis-Makassar sebagaimana disebutkan di dalam Lontara (manuskrip kuno tercatat di dalam daun lontar, yang kini tersimpan di museum Belanda). Dalam Lontara terungkap bahwa masyarakat Bugis-Makassar sudah mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diistilahkan dengan Dewata Sewwae (Dewata=Tuhan, Sewwa=Esa). Dalam Epik Lagaligo, yang oleh Prof. Zainal Abidin disebut sezaman dengan Nabi Muhammad, abad ke 6 M.) masyarakat Bugis Makassar sudah ber-Dewata Sewwa atau berketuhanan yang maha esa.
Bukti-bukti arkeologis dan antropologis menunjukkan adanya aktivitas manusia prasejarah di kawasan Nusantara semenjak ribuan tahun lalu. Ditemukannya beberapa fosil manusia purba, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu, menunjukkan adanya aktivitas budaya dan peradaban serta sistem religi di dalam kehidupan mereka. Atas dasar ini sulit untuk diterima bahwa Hindu dan Islam yang memberi bekas di dalam seni, budaya, dan peradaban nusantara, seolah-olah agama-agama tersebut memasuki ruang yang hampa budaya dan agama lalu mengisi kekosongan itu. Justru para raja lokal sertamerta memeluk agama Hindu-Budha kemudian Islam kerena dianggapnya bagian dari kelanjutan dari sistem religi yang dipertahankan secara turun temurun.
Seorang petualang popular, Ptolemaus, penemu banyak negeri, menggambarkan adanya kepulauan yang disebut Khersonesos (Yunani: Pulau emas) dan sejarah Cina yang disebutnya dengan Ye-po-ti yang di antaranya diperkenalkan dengan Jabadiou/Jawa. Di zaman ini sudah dikenal wilayah Jawadwipa, Swarnadwipa, Bugis, dan lain-lain. Masyarakat yang menghuni kepulauan ini sudah mengenal sistem religi dan mempercayai adanya kekuatan gaib dan sistem penyembahan terhadap kekuatan gaib tersebut. Ini membuktikan bahwa kemudahan masyarakat bangsa Indonesia memeluk agama yang baru dikenalnya karena mereka sudah memiliki pengalaman batin, yang antara satu sama lain agama-agama yang datang ke negeri ini memiliki unsur persamaan.
Analisis sistem budaya juga menggambarkan masa ini sebagai masa akulturasi yang amat penting, di mana budaya dan sistem religi luar bisa beradabtasi dalam konteks budaya kepulauan Nusantara. Di dalamnya ada pengaruh Hindu, Arab (Islam), Cina, Portugis, dan Inggeris. Sistem budaya, sistem religi, sistem ekonomi, dan sistem teknologi sudah banyak ditemukan di pusat-pusat kerajaan Nusantara sejak dahulu kala. Namun perkembangan sistem religi di dalam masyarakat selalu mengalami perkembangan. []
DETIK, 16 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar