Al-Qur’an sering berbicara panjang lebar mengenai kenikmatan. Kenikmatan itu disampaikan dalam dua diksi yang berbeda, yaitu ni’mah dan na’îm. Namun, tahukah kita bahwa penggunaan diksi ini ternyata memiliki nuansa yang berbeda antara sama lain? Ini yang akan coba kita kupas dalam kesempatan tulisan ini.
Ni’mah
Ada beberapa ayat yang menyatakan kenikmatan dengan diksi “ni’mah” di dalam Al-Qur’an. Ayat pertama adalah QS al-Baqarah [2] ayat 211. Allah ﷻ berfirman:
سَلْ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ كَمْ اٰتَيْنٰهُمْ مِّنْ اٰيَةٍ ۢ بَيِّنَةٍ ۗ وَمَنْ يُّبَدِّلْ نِعْمَةَ اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya, “Tanyakanlah kepada Bani Israil, berapa banyak bukti nyata yang telah Kami berikan kepada mereka. Barangsiapa menukar nikmat Allah setelah (nikmat itu) datang kepadanya, maka sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Di dalam QS al-Baqarah [2] ayat 231, Allah ﷻ juga berfirman:
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍۗ وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْا ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ وَلَا تَتَّخِذُوْٓا اٰيٰتِ اللّٰهِ هُزُوًا وَّاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتٰبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗوَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya, “Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barangsiapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dalam QS Ali Imran [3] ayat 103, Allah ﷻ berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
Artinya, “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”
Di dalam QS al-Maidah [5] ayat 7 juga disebutkan:
وَاذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَمِيْثَاقَهُ الَّذِيْ وَاثَقَكُمْ بِهٖٓ ۙاِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
Artinya, “Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan kepadamu, ketika kamu mengatakan, “Kami mendengar dan kami menaati.” Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.”
Allah ﷻ juga berfirman di dalam QS Ibrahim [14] ayat 6:
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهِ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ اَنْجٰىكُمْ مِّنْ اٰلِ فِرْعَوْنَ يَسُوْمُوْنَكُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِ وَيُذَبِّحُوْنَ اَبْنَاۤءَكُمْ وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْ ۗوَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌ
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari pengikut-pengikut Fir‘aun; mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, dan menyembelih anak-anakmu yang laki-laki, dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; pada yang demikian itu suatu cobaan yang besar dari Tuhanmu.”
Implikasi Penafsiran “Ni’mah” dalam Kehidupan
Sebenarnya diksi ni’mah ini dipakai tidak kurang dari 26 kali dalam ayat Al-Qur’an. Akan tetapi, kiranya ayat-ayat di atas sudah cukup mewakili untuk keseluruhan ayat yang dimaksud.
Jika kita perhatikan dengan seksama, seluruh penggunaan diksi ni’mah di dalam Al-Qur’an ternyata merujuk pada sesuatu yang bermakna kenikmatan duniawi. Mari kita cermati!
Di dalam QS al-Baqarah [2] ayat 211, diksi ni’mah disandingkan dengan kondisi telah disampaikannya bukti kekuasaan Allah di dunia kepada kaum Bani Israil. Dalam surat yang sama, ayat 231, Allah ﷻ menyandingkan diksi nikmat dengan kondisi pasca perceraian. Seolah hendak disampaikan bahwa perceraian tidak boleh menyebabkan lupanya nikmat yang diperoleh oleh seseorang lewat mantan pasangannya sebelum kondisi perceraian itu terjadi lalu berbuat dhalim (aniaya).
Di dalam QS Ali Imran [3] ayat 103, diksi ni’mah disandingkan dengan perintah agar senantiasa berpegang teguh pada agama Allah dan larangan untuk bercerai berai. Seolah dalam ayat itu Allah ﷻ hendak mengingatkan bahwa persatuan adalah sebuah nikmat yang tidak boleh dilalaikan. Pengertian yang senada juga terkesan dari QS al-Maidah [5] ayat 7, bahwa perjanjian yang bisa menyatukan semua pihak adalah bagian dari nikmat. Untuk itu, manusia tidak boleh melupakannya.
Di dalam QS Ibrahim [14] ayat 6, Allah ﷻ menyandarkan diksi ni’mah dengan lepasnya kaum Bani Israil dari kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Fir’aun dan bala tentaranya. Kondisi lepas dari sejarah kolonialisme dan imperialisme adalah bagian dari nikmat, untuk itu kaum Bani Istrail seolah diperintah agar jangan melupakan sejarah kelam mereka itu.
Na’îm
Na’îm dari makna leksikalnya juga bermakna kenikmatan. Diksi na’îm dipakai dalam Al-Qur’an sebanyak 17 kali, antara lain dalam QS al-Maidah [5]: 65, QS al-Taubah [9]: 21, QS Yunus [10]: 9, QS al-Hajj [22] 56, QS al-Syu’ara [26]: 85, QS Luqman [31]: 8, QS al-Shaffat [37]: 43, QS al-Thur [52] 17, QS al-Waqi’ah [56]: 12 dan 89, QS al-Qalam [68]: 34, QS al-Ma’arij [70]: 38, QS al-Insan [76]: 20, QS al-Infithar [82]: 13, QS al-Muthaffifin [83]: 22 dan 24, dan QS al-Takatsur [102]: 8. Kita hadirkan beberapa di antaranya sebagai sampel untuk menemukan makna tersembunyi dari diksi na’îm.
QS al-Maidah [5] ayat 65
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْكِتٰبِ اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاَدْخَلْنٰهُمْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ
Artinya, “Dan sekiranya Ahli Kitab itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan mereka, dan mereka tentu Kami masukkan ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan.”
Di dalam ayat ini, diksi na’îm (kenikmatan) penggunaannya disandingkan dengan keimanan dan ketakwaan. Seolah hendak disampaikan bahwa kenikmatan yang bersifat na’îm bisa dicapai manakala pelakunya (ahli kitab) senantiasa beriman dan bertakwa. Dengan cara itu, kesalahan-kesalahan mereka dijamin akan dilebur oleh Allah ﷻ dan kelak mereka akan ditempatkan di surga yang penuh kenikmatan.
QS Yunus [10] ayat 9
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ يَهْدِيْهِمْ رَبُّهُمْ بِاِيْمَانِهِمْۚ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الْاَنْهٰرُ فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
Di dalam ayat ini, diksi na’îm juga disandingkan keimanan dan perbuatan kebajikan. Bagi pelakunya juga dijanjikan bahwa kelak mereka akan ditempatkan di surga yang penuh dengan kenikmatan.
QS al-Syu’ara [26] ayat 85
وَاجْعَلْنِيْ مِنْ وَّرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيْمِ ۙ
Artinya, “dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.”
Di dalam ayat ini, diksi na’îm disandingkan dengan sebuah pengharapan dari seorang hamba agar kelak ia ditempatkan di surga yang penuh dengan kenikmatan.
QS al-Ma’arij [70] ayat 38
اَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ اَنْ يُّدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيْمٍۙ
Artinya, “Apakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk surga yang penuh kenikmatan?”
Di dalam ayat ini, lafadh na’îm disandingkan dengan i’tiqad orang kafir, yang sudah pasti mereka tiada beriman kepada Allah ﷻ. Mereka diberi pertanyaan, apakah mereka juga menginginkan sebuah balasan berupa surga yang penuh dengan kenikmatan.
Implikasi Penafsiran Na’îm dan Praktiknya dalam Kehidupan
Jika kita cermati, ternyata pemakaian diksi na’îm di dalam Al-Qur’an selalu disandingkan dengan hal-hal yang bersifat i’tiqad, ketakwaan, ketaatan dan praktik amaliah yang baik. Sudah pasti pelakunya adalah kelompok orang yang mukminin, muttaqin, orang yang berbuat amal saleh, menjalankan perintah Allah ﷻ. Untuk itu, mereka dijanjikan sebuah balasan yaitu kelak akan ditempatkan di surga Allah, yaitu tempat yang penuh dengan kenikmatan dari-Nya.
Dengan demikian, sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa diksi ni’mah dengan na’îm memiliki fungsi kegunaan yang berbeda. Ni’mah lebih bermakna kepada kesenangan duniawi, yang mana baik orang mukmin, kafir, fasiq, munafiq, seluruhnya bisa mendapatkannya, sebagai wujud sifat Maha Penyayang Allah ﷻ kepada seluruh ciptaan-Nya. Adapun diksi na’îm, digunakan untuk menyatakan kenikmatan yang akan diperoleh oleh hamba-hamba yang beriman, bertakwa, taat dan beramal saleh saja. Kenikmatan terakhir hanya diberikan kelak di akhirat dengan penempatan mereka di surga yang penuh akan kenikmatan (jannatun na’îm). Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah - PW LBMNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar