‘Irreligiusitas’ Agama dan Politik (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Mengapa terjadi gejala ‘irreligiusitas’, tidak menjalankan agama ('non-practising'), atau bahkan pindah agama di kalangan Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Barat. Faktor-faktor apa saja penyebabnya?
Banyak penyebab fenomena 'berpaling dari Islam'. Beberapa penyebab umum bisa ditemukan di negara-negara Arab dan Maghribi, Turki, dan Iran. Namun juga, ada faktor khas pada negara tertentu karena realitas politik, sosial-budaya, ekonomi, dan pemahaman serta praksis Islam yang bisa relatif berbeda satu sama lain.
Secara umum, faktor terpenting adalah politik. Ada dua wajah ganda faktor politik ini: pertama, politik kekuasaan yang diberi justifikasi agama; dan kedua, ekspresi dan praksis agama dengan motif politik dan kekuasaan.
Faktor politik ini sangat dominan hampir di semua negara di wilayah yang disebut. Fenomena paling dominan adalah kontestasi, konflik, dan kekerasan politik berkelanjutan seusai Perang Dunia II dan mencapai puncaknya dalam dua dasawarsa terakhir.
Sejak awal 2001, kekerasan politik meningkat di dunia Arab. Serbuan AS ke Afghanistan pasca-'Nine-Eleven' (9/11/2001) dan ke Irak pada 2003, menimbulkan gelombang radikalisasi di kalangan Muslim. Keadaan ini tambah memburuk dengan kemunculan kelompok semacam Alqaidah, kemudian ISIS menampilkan ekstremisme dan terorisme brutal.
Gelombang demokrasi ('Arab Spring') sejak akhir 2010 tidak berhasil menyelesaikan kegaduhan dan kekerasan politik. 'Arab Spring' berhasil menumbangkan rezim-rezim otoritarian, tetapi gagal menumbuhkan demokrasi. Di Mesir, militer kembali ke puncak ke kekuasaan; dan perang saudara merebak di Libya, Yaman, dan Suriah.
Kekacauan yang bertentangan diametral dengan ajaran Islam tentang kedamaian, toleransi, ukhuwah Islamiyah atau rahmatan lil ‘alamin menumbuhkan frustrasi dan kekecewaan (disillusionment) di kalangan kaum Muslimin, khususnya kaum muda dan dewasa. Berbagai bentuk kekejaman dan brutalitas yang dilakukan ISIS, misalnya, menimbulkan guncangan keimanan pada sebagian orang.
Faktor kedua yang menyebabkan meningkatnya ‘irreligiusitas’ dan ateisme adalah merosotnya atau hilangnya kepercayaan kepada penguasa yang berkuasa atas nama agama. Mereka sulit mempercayai elite politik yang selalu menjustifikasi kekuasaan dengan agama. Atau sebaliknya, pemimpin agama yang rendezvous, bermain mata dengan elite politik. Kedua kelompok elite kepemimpinan ini lebih sibuk dengan agenda dan kepentingan masing-masing daripada memberikan perhatian genuine pada rakyat.
Tak kurang parahnya, mereka juga kehilangan kepercayaan tidak hanya pada lembaga politik, tetapi juga pada institusi agama. Mereka memandang semua lembaga ini hanya menjadi alat dan mainan kelompok elite politik dan elite keagamaan.
Semua gejala terkait kepemimpinan politik yang membawa-bawa agama beserta elite keagamaan inilah yang merusak Islam. Analisis cukup mendalam terkait ini, misalnya, diungkapkan Mustafa Akyol, penulis dan jurnalis Turki terkemuka dalam artikel panjang bertajuk "How Islamists Ruining Islam", "Bagaimana Orang-orang Islamis Merusak Islam" (Hudson Institute, 12 Juni 2020).
Dalam artikel ini, Akyol mengungkapkan secara elaboratif tentang rezim-rezim 'Islamis' di Turki, Iran, dan beberapa negara Arab yang dengan justifikasi agama menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan Islam. Mereka menimbulkan frustrasi dan kekecewaan di kalangan masyarakat. Para elite penguasa juga terlibat dalam konflik politik berkepanjangan, baik dengan kalangan domestik dan warga sipil maupun mancanegara.
Faktor ketiga penyebab peningkatan ‘irreligiusitas’ adalah disrupsi kehidupan sosial-budaya dan agama karena terus meningkatnya penyebaran komunikasi dan informasi instan. Semuanya ini, apakah benar atau hoaks dan provokasi yang menyebar lewat melalui berbagai medium, khususnya media sosial merusak kohesi sosial dan menghancurkan trust (saling percaya).
Media sosial yang tidak terkontrol ibarat pisau bermata dua. Banyak hal positif yang bisa memperkuat keimanan dan religiositas bisa ditemukan dalam media sosial. Akan tetapi, juga banyak informasi dan bahan lain yang dapat mengguncangkan keimanan—membuat orang menjadi ‘irreligious’, tidak lagi menjalankan ibadah, tidak lagi percaya pada Tuhan atau pindah agama.
Semua perkembangan ini haruslah dicermati dengan kepala dingin. Sikap tidak percaya bahwa gejala itu tidak ada atau hanya 'konspirasi' pihak luar Islam, jelas tidak produktif untuk merespons dengan tepat dan baik. Perlu kebijakan yang pas untuk menyikapi semua fenomena tersebut.
Respons apa yang seharusnya diberikan? Perlu pembahasan tersendiri pada bagian berikutnya. []
REPUBLIKA, 31 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar