Kamis, 07 Januari 2021

Buya Syafii: Perpecahan Parpol di Indonesia (II)

Perpecahan Parpol di Indonesia (II)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Agak sedikit panjang uraian tentang SI sebagai gerakan politik tertua ini karena watak nasionalnya, sudah mulai terlihat tidak lama setelah kelahirannya sebagai partai pada 1912. Sekalipun kemudian diserang virus pertikaian.

 

Tjokroaminoto adalah guru dari hampir semua tokoh nasionalis, bahkan guru tokoh komunis. Pada 1920-an, pamor SI menurun, digantikan PKI dan PNI (Partai Nasional Indonesia) bentukan Ir Sukarno pada 4 Juli 1927. Dua partai terakhir ini juga tidak sepi dari perpecahan.

 

PKI melakukan pemberontakan prematur yang gagal terhadap kekuasaan Belanda pada 1926/1927, untuk beberapa tahun menghilang dari panggung politik Indonesia. Posisi PKI segera digantikan PNI.

 

Namun, dua tahun kemudian, Bung Karno ditangkap Belanda. Penangkapan ini bukan saja berakibat fatal bagi PNI, Bung Karno sendiri kabarnya juga mengalami keguncangan batin cukup berat akibat tindakan zalim penguasa kolonial ini.

 

Setelah Bung Karno dipenjarakan, Mr Sartono sebagai salah seorang pendiri PNI malah membubarkan partai ini pada 1931. Mohammad Hatta sebagai pendukung PNI, sangat kecewa dengan pembubaran partai ini.

 

Hatta menulis: “Kupandang pembubaran PNI memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat.” (Lih Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm 243).

 

Mr Sartono juga bertindak sebagai pembela Bung Karno di depan pengadilan kolonial di Bandung. Tindakan Sartono ini mendapat protes dari Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.

 

Lalu, dua tokoh ini mendukung pembentukan PNI-Baru pada 1932, yang lebih berkonsentrasi menyiapkan dan mendidik kader pemimpin Indonesia mendatang.

 

Namun, Mr Sartono justru membentuk partai baru pada 31 April 1931, dengan nama Partindo (Partai Indonesia) yang didukung Bung Karno. Tentu saja kita berhak bertanya, mengapa bukan PNI yang sudah populer itu dibangkitkan kembali?

 

Dengan kejadian ini, pendukung ideologi nasionalisme ini pada 1930-an sudah terbelah. Baik Partindo maupun PNI-Baru, sama-sama dicurigai Belanda.

 

Akibatnya, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir ditangkap dan diasingkan selama beberapa tahun sampai invasi Jepang pada Maret 1942. Sekalipun batin Bung Karno mengalami keguncangan dalam penjara yang mendapat kritik dari sementara pihak, penguasa kolonial tetap saja takut kepada singa podium dan orator besar ini.  

 

Sekarang, kita langsung ke era pascaproklamasi. PNI dihidupkan kembali pada 29 Januari 1946 dengan ketua umumnya Ki Sarmidi Mangoensarkoro, seorang tokoh Taman Siswa. Selanjutnya dipimpin berturut-turut oleh Dr AK Gani, Mr Soejono Hadinoto, Sidik Djojosoekarto, Soewirjo, dan Mr Ali Sastroamidjojo (1960-1966).

 

Pada era kemerdekaan, PNI ini pecah dengan munculnya PIR (Partai Indonesia Raya) pimpinan Mr Wongsonegoro dan PRN (Partai Rakyat Nasional) pimpinan Mr Djody Gondokusumo. PIR kemudian juga terbelah menjadi PIR Wongsonegoro dan PIR Hazairin.

 

Pendek kata, parpol di Indonesia sudah terbiasa berkeping-keping. Sekali lagi, tidak ada kaitannya dengan tingkat pendidikan seseorang.

 

Dalam masalah perpecahan ini, parpol aliran Islam juga tidak berbeda dengan penganut nasionalisme, seperti kasus SI pada masa penjajahan yang berlanjut pada masa kemerdekaan.

 

Pada 7/8 November 1945, dibentuk Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) di kampus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta, yang relatif mencerminkan persatuan kaum santri dalam politik.

 

Bidan dari partai ini terdiri atas kekuatan ormas dan parpol. Kelahiran Masyumi disambut umat santri dengan gegap-gempita. Harapan mereka amat besar pada partai baru ini sebagai penyalur aspirasi politik mereka, apalagi di antara pemrakarsanya adalah dua ormas santri sayap utama.

 

Dari ormas yang paling berperan adalah Muhammadiyah dan NU. Ormas santri lainnya sebagai pendukung Masyumi, di antaranya Persis, al-Washliyah, NW (Nahdhatul Wathan), PUI (Persatuan Umat Islam).

 

Hanya Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) di Sumatra yang tidak bergabung. Dari parpol adalah kelompok SI dalam bentuk PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Dengan fakta ini, Masyumi benar-benar mendapat dukungan mayoritas kaum santri dari seluruh nusantara.

 

Namun, apa yang berlaku pada Masyumi pada tahun-tahun berikutnya? Inilah fakta kerasnya. Pada 1947, unsur PSII meninggalkan Masyumi karena perbedaan sikap dalam menghadapi kabinet Amir Sjarifuddin.

Tahun 1952, diikuti NU dengan menjadikan ormas ini sebagai parpol santri baru bernama Partai NU, dengan tokoh utamanya KH Abdul Wahid Hasjim. Ormas yang masih bertahan dalam Masyumi adalah Muhammadiyah plus ormas-ormas santri kecil lainnya.

 

Dengan tubuh yang sudah mulai keropos itulah, Masyumi menghadapi pemilu 1955. []

 

REPUBLIKA, 08 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar