Membaca Trend Globalisasi (28)
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Menawarkan Konsep Deradikalisasi Ala Indonesia
Oleh: Nasaruddin Umar
Dalam artikel terdahulu pernah dijelaskan bahwa radikalisme adalah salah satu anak kandung globalisasi. Tidak semua negara sukses mengelola radikalisme. Indonesia oleh para pengamat asing salah satu negara yang dianggap sukses di dalam menerapkan program deradikalisasi di dalam menata masyarakatnya. Program deradikalisasi di Indonesia tidak menimbulkan kesan deislamisasi atau dearabisasi. Kedua isu ni sering menjadi tantangan tersendiri di dalam mengelola deradikalisasi kelompok sempalan.
Di media-media soaial barat, sering menyudutkan Islam sebagai agama. Seolah-olah yang teroris agama Islam dan umat Islam hanya sebagai korban atau victim. Lebih khusus lagi kesan deradikalisasi ialah dearabisasi, dalam arti penafian terhadap atribut-atribut Arab. Tidak heran kalau yang sering disorot ialah ayat-ayat atau hadis-hadis yang dipenggal-penggal atau dihilangkan sabab nuzulnya, sehingga kehilangan keutuhan konsep holistik ayat atau hadis tersebut.
Deradikalisasi yang yang berkeindonesiaan bertolak
dari kenyataan bahwa esensi dan substansi ajaran Islam, sebagaimana tercermin
di dalam Al-Qur'an dan hadis, tidak pernah mengajarkan radikalisme apalagi
terorisme. Yang menjadi masalah sesungguhnya ialah oknum yang memahami
ayat-ayat dan hadis secara keliru atau sengaja untuk mendukung ideology yang
dikembangkan penganjurnya, seperti gerakan ISIS dan semacamnya, yang sekarang
sedang hangat dibicarakan. Para penganjur Islam di Nusantara di Indonesia sejak
awal tidak pernah menghalalkan segala cara di dalam menyebarkan agama Islam.
Pera penganjur Islam pertama menganggap gerakan islamisasi harus dianggap
sebagai sesuatu yang berkelanjutan (on-going process).
Jika peroses pengislaman pada masa Proto-Indonesia
sebatas pengenalan doktrin dan filosofi ajaran Islam yang diperkenalkan oleh
orang-orang arif seperti para Wali Songo, maka pada masa-masa sesudahnya harus
dilanjutkan dengan pemahaman dan kesadaran syari'ah yang lebih kontekstual,
sebutlah yang berkeindonesiaan. Para penganjur awal Islam di Nusantara kita
telah mencatat sejarah gemilang, selain berhasil memperkenalkan dan sekaligus
mengislamkan mayoritas penghuni bangsa Indonesia, juga mereka berhasil
melakukan peroses penusantaraan ajaran Islam di Indonesia. Kata Nusantara lebih
menyiratkan budaya maritime (maritime culture), yang lebih bercorak egaliterian
sedangkan Islam ketika itu masih didandadni dengan budaya continental
(continental culture), yang sarat dengan kerumitan stratifikasi sosial yang
berlapis-lapis, sebagaimana lazimnya negara-negara daratan.
Meskipun pada umumnya para penganjur Islam di masa
awal itu adalah orang-orang Arab, Persia, dan India, tetapi rata-rata mereka
merangkap sebagai pedagang yang sudah berpengalaman akrab dengan masyarakat
nusantara. Mereka memahami betul kondisi obyektif wilayah kepulauan Nusantara,
sehingga mereka sadar bahwa tidak tepat meng-copy-paste ajaran Islam
Timur-Tengah untuk serta merta dijabarkan di kepulauan Nusantara ini. Mereka
sadar dan memahami bentuk-bentuk kearifan local, sehingga mereka memandang
perlu memperkenalkan Islam dari aspek doktrin dan nilai-nilai universalnya.
Bukannya mereka memulai dari konsep syari'ah yang cenderung muatan besarnya
adalah fikih.
Ketika Indonesia merdeka, terjadilah perubahan sosial
di tengah masyarakat. Pada saat bersamaan berdatanganlah para perantau-perantau
muslim Indonesia dari luar negeri (Timur-Tengah). Ormas-ormas Islam semakin
ramai bermunculan dengan membawa visi dan misinya masing-masing, tidak
terkecuali pemurnian ajaran. Dalam sejarah Indonesia modern terjadi perubahan dakwah
secara radikal, dari yang tadinya tasawuf ke hukum-hukum syari'ah (fikh).
Akibatnya terjadi polarisasi di dalam masyarakat berdasarkan mazhab agama.
Tidak jarang terjadi konflik antara NU yang mempertahankan kunut, ziarah kubur,
dan bacaan basmalah sebelum al-fatihah, dan lain-lain. Sementara dari kalangan
pembaharu (mujaddid) seperti Muhammadiyah mempersoalkan khurafat dan bid'ah di
dalam masyarakat. Akibatnya ketegangan antara mazhab terjadi di banyak tempat.
Deradikali yang berkeindonesiaan tidak lain adalah upaya untuk mengembalikan
pemahaman Islam Inklusif di dalam masyarakat sebagaimana yang pernah berkembang
dalam lintasan sejarah Indonesia yang penuh kedamaian. []
DETIK, 04 September 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar