Senin, 04 Januari 2021

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (28) Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Menawarkan Konsep Deradikalisasi Ala Indonesia

Membaca Trend Globalisasi (28)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Menawarkan Konsep Deradikalisasi Ala Indonesia

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Dalam artikel terdahulu pernah dijelaskan bahwa radikalisme adalah salah satu anak kandung globalisasi. Tidak semua negara sukses mengelola radikalisme. Indonesia oleh para pengamat asing salah satu negara yang dianggap sukses di dalam menerapkan program deradikalisasi di dalam menata masyarakatnya. Program deradikalisasi di Indonesia tidak menimbulkan kesan deislamisasi atau dearabisasi. Kedua isu ni sering menjadi tantangan tersendiri di dalam mengelola deradikalisasi kelompok sempalan.

 

Di media-media soaial barat, sering menyudutkan Islam sebagai agama. Seolah-olah yang teroris agama Islam dan umat Islam hanya sebagai korban atau victim. Lebih khusus lagi kesan deradikalisasi ialah dearabisasi, dalam arti penafian terhadap atribut-atribut Arab. Tidak heran kalau yang sering disorot ialah ayat-ayat atau hadis-hadis yang dipenggal-penggal atau dihilangkan sabab nuzulnya, sehingga kehilangan keutuhan konsep holistik ayat atau hadis tersebut.


Deradikalisasi yang yang berkeindonesiaan bertolak dari kenyataan bahwa esensi dan substansi ajaran Islam, sebagaimana tercermin di dalam Al-Qur'an dan hadis, tidak pernah mengajarkan radikalisme apalagi terorisme. Yang menjadi masalah sesungguhnya ialah oknum yang memahami ayat-ayat dan hadis secara keliru atau sengaja untuk mendukung ideology yang dikembangkan penganjurnya, seperti gerakan ISIS dan semacamnya, yang sekarang sedang hangat dibicarakan. Para penganjur Islam di Nusantara di Indonesia sejak awal tidak pernah menghalalkan segala cara di dalam menyebarkan agama Islam. Pera penganjur Islam pertama menganggap gerakan islamisasi harus dianggap sebagai sesuatu yang berkelanjutan (on-going process).


Jika peroses pengislaman pada masa Proto-Indonesia sebatas pengenalan doktrin dan filosofi ajaran Islam yang diperkenalkan oleh orang-orang arif seperti para Wali Songo, maka pada masa-masa sesudahnya harus dilanjutkan dengan pemahaman dan kesadaran syari'ah yang lebih kontekstual, sebutlah yang berkeindonesiaan. Para penganjur awal Islam di Nusantara kita telah mencatat sejarah gemilang, selain berhasil memperkenalkan dan sekaligus mengislamkan mayoritas penghuni bangsa Indonesia, juga mereka berhasil melakukan peroses penusantaraan ajaran Islam di Indonesia. Kata Nusantara lebih menyiratkan budaya maritime (maritime culture), yang lebih bercorak egaliterian sedangkan Islam ketika itu masih didandadni dengan budaya continental (continental culture), yang sarat dengan kerumitan stratifikasi sosial yang berlapis-lapis, sebagaimana lazimnya negara-negara daratan.


Meskipun pada umumnya para penganjur Islam di masa awal itu adalah orang-orang Arab, Persia, dan India, tetapi rata-rata mereka merangkap sebagai pedagang yang sudah berpengalaman akrab dengan masyarakat nusantara. Mereka memahami betul kondisi obyektif wilayah kepulauan Nusantara, sehingga mereka sadar bahwa tidak tepat meng-copy-paste ajaran Islam Timur-Tengah untuk serta merta dijabarkan di kepulauan Nusantara ini. Mereka sadar dan memahami bentuk-bentuk kearifan local, sehingga mereka memandang perlu memperkenalkan Islam dari aspek doktrin dan nilai-nilai universalnya. Bukannya mereka memulai dari konsep syari'ah yang cenderung muatan besarnya adalah fikih.


Ketika Indonesia merdeka, terjadilah perubahan sosial di tengah masyarakat. Pada saat bersamaan berdatanganlah para perantau-perantau muslim Indonesia dari luar negeri (Timur-Tengah). Ormas-ormas Islam semakin ramai bermunculan dengan membawa visi dan misinya masing-masing, tidak terkecuali pemurnian ajaran. Dalam sejarah Indonesia modern terjadi perubahan dakwah secara radikal, dari yang tadinya tasawuf ke hukum-hukum syari'ah (fikh). Akibatnya terjadi polarisasi di dalam masyarakat berdasarkan mazhab agama. Tidak jarang terjadi konflik antara NU yang mempertahankan kunut, ziarah kubur, dan bacaan basmalah sebelum al-fatihah, dan lain-lain. Sementara dari kalangan pembaharu (mujaddid) seperti Muhammadiyah mempersoalkan khurafat dan bid'ah di dalam masyarakat. Akibatnya ketegangan antara mazhab terjadi di banyak tempat. Deradikali yang berkeindonesiaan tidak lain adalah upaya untuk mengembalikan pemahaman Islam Inklusif di dalam masyarakat sebagaimana yang pernah berkembang dalam lintasan sejarah Indonesia yang penuh kedamaian.
[]

 

DETIK, 04 September 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar