Oleh: Haedar Nashir
Di kalangan umat Islam masih terdapat pandangan yang keliru atau malah alergi terhadap apapun yang bernama kebudayaan. Budaya dan tradisi tertentu dalam suatu masyarakat tidak jarang dianggap identik dengan “TBC” atau tahayul, bid’ah, dan churafat. Hal-hal berbau klenik atau kemusyrikan sering dilekatkan pada idiom-idiom kolektif milik masyarakat tersebut.
Boleh jadi terdapat sebagian praktik dan unsur kebudayaan, termasuk tradisi, dalam suatu masyarakat mengandung sifat “TBC” jika dibaca dari sudut pandangan keagamaan tertentu. Namun tidak semua tradisi dan kebudayaan identik dengan “TBC”, kalaupun terdapat hal yang tidak sejalan dengan pandangan Islam justru di situlah letak pentingnya dakwah. Selain itu persepsi yang serba negatif itu juga sering tergantung pada pemahaman keislamannya plus pemaknaan tentang hakikat kebudayaan itu sendiri.
Bagi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang memiliki pandangan tajdid purifikasi dan dinamisasi, tentu paham betul bahwa di satu pihak terdapat sifat dan aspek dari kebudayaan yang perlu dikritisi sekaligus diubah ke arah yang lebih baik. Di pihak lain penting untuk memahami kebudayaan secara lebih tepat sekaligus menjadi bagian dari dakwah sebagaimana terkandung dalam pemikiran resmi tentang Dakwah Kultural Muhammadiyah. Bersamaan dengan itu penting pula usaha memperdalam, memperkaya, dan memperluas paham keislaman agar memiliki perspektif yang menyeluruh serta tidak kering dan serba anti budaya secara apologis.
Memahami Kebudayaan
Membahas tentang kebudayaan terdapat dua istilah yang sama maksudnya yaitu “kebudayaan” atau cukup dengan istilah “budaya”, meskipun sebagian ahli kadang secara harfiah ada yang membedakannya. Namun secara umum istilah “kebudayaan” atau “budaya” yang dipungut dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah atau buddhi, yang merujuk pada makna budi atau akal-budi manusia. Dalam bahasa Inggris disebut culture, yang berasal dari bahsa Latin Colere, yaitu hal mengolah atau mengerjakan sesuatu yang terkait aktivitas manusia secara bersama, yang dipungut menjadi istilah “kultur”. Adapun tradisi merupakan bagian dari kebudayaan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia secara kolektif yang bersifat turun-menurun.
Kebudayaan menurut Taylor ialah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Valentine, 1968). Kebudayaan adalah sistem pengetahuan manusia yang mengandung petunjukpetunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri dari model-model kognitif yang bersumber pada dan diselimuti oleh nilai-nilai yang hidup dalam etos (ethos) dan alam pikiran (world view) kolektif manusia, yang penggunaannya oleh para pelakunya untuk menginterpretasikan dan menghadapi lingkungan secara selektif (Suparlan, 1986).
Kebudayaan secara antropologis dalam kehidupan sehari-hari merupakan mode for action (model bagi tindakan) sekaligus menjadi mode of action (model dari tindakan) dalam kehidupan kolektif manusia, sehingga apa yang seharusnya berproses dengan apa yang senyatanya, baik dalam bentuk kesamaan (positif) maupun perbedaan (negatif). Kebudayaan itu mewujud dalam tiga bentuk: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1987: 5).
Dengan pemaknaan dan posisi kebudayaan yang demikian melekat dalam kehidupan manusia dan masyarakat, maka institusi-institusi sosial dapat dijadikan sarana atau media untuk penanaman nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk dalam pembentukan karakter manusianya. Institusi atau pranata sosial merupakan wujud kebudayaan sebagai bentuk kelakuan berpola, yang terkait dengan sistem norma, personal, dan peralatan fisik, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Koentjaraningrat, 1987).
Karenanya kebudayaan atau budaya dalam masyarakat itu pada dasarnya baik untuk membangun peradaban luhur, yang dasarnya hasil olah jiwa dan akal budi manusia secara kolektif. Tentu saja ada hal-hal yang tidak sama antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain, termasuk kebudayaan yang memiliki dasar nilai dan norma agama yang menyatu dalam kehidupan pemeluknya. Kebudayaan di mana pun terbuka untuk perubahan dan akomodasi dengan nilai-nilai lain di luar kebudayaannya, meskipun ada pakem-pakemnya yang tidak selalu dapat berubah.
Jika mayoritas masyarakat itu Muslim maka akan lahir kebudayaan Islam atau Islami, sebagai wujud aktualisasi atau objektivasi ajaran plus serapan budaya dalam kehidupan kolektif pemeluknya. Dalam ajaran Islam bahkan terdapat serapan budaya atau kebudayaan seperti sebagian cara ritual haji, puasa, akikah, dan sebagainya. Menutup aurat itu perintah ajaran Islam, tetapi model pakaian itu sepenuhnya budaya atau hasil kebudayaan sesuai dengan sistem pengetahuan kolektif yang berlaku dalam suatu masyarakat atau bangsa. Hal yang lebih penting bukan hanya model pakaiannya, tetapi bagaimana perilaku pemeluknya agar Islami.
Islam dan Kebudayaan
Hubungan antara Islam sebagai ajaran dan kebudayaan sebagai sistem pengetahuan kolektif manusia masih menjadi agenda yang tidak pernah selesai untuk diperbincangkan. Semua orang Islam tentu satu pandangan dalam hal keyakinan bahwa Agama Islam merupakan pedoman hidup utama karena esensinya merupakan wahyu dari Allah SwT yang sempurna, yang tidak dapat diperbandingkan secara setara dengan kebudayaan, ideologi, dan pandangan hidup buatan mamusia. Namun satu hal yang juga tidak terbantah bahwa umat manusia di manapun sepanjang sejarahnya, termasuk umat beragama, tidak dapat lepas dari kebudayaan.
Dalam kaitan dengan kebudaaan terdapat beberapa pandangan dan sikap umat Islam. Satu pihak ada yang berpandangan cenderung negatif atau menisbikan secara mutlak apapun yang berbau kebudayaan, sehingga lahir sikap anti atau alergi budaya serta senantiasa mempertentangkan antara Islam dan kebudayaan. Pandangan yang satu ini sering disebut kelompok konservatif atau fundamentalis, yang kering dalam memahami budaya atau kebudayaan plus pemahaman tertentu yang cenderung tekstual atau puritan.
Pandangan kedua sebaliknya, yang cenderung memutlakkan kebenaran budaya atau kebudayaan, sehingga kelompok ini bukan hanya menerimanya sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted (barang jadi), bahkan sampai batas tententu mengkultuskan atau mendewakan apapun yang bersifat kebudayaan. Termasuk dalam menempatkan tradisi sebagai bagian dari kebudayaan secara apa adanya dan lebih dari itu memanjakan tradisi sedemikian rupa. Islam dan budaya lebih khusus tradisi menyatu, bahkan terjadi sinkretisme sehingga keduanya bersenyawa. Kelompok ini sering disebut kaum tradisionalis karena sifatnya serba membela dan memuja tradisi secara fanatik.
Golongan ketiga umat Islam yang moderat. Islam dan kebudayaan memiliki pertautan tertentu, satu sama lain saling mengisi dan memperkuat, meskipun diyakini bahwa Islam sebagai agama berada di atas budaya. Kelompok moderat ini meyakini Islam bukan hanya mengamdung unsur budaya tetapi dapat mengakomodasi kebudayaan, sejauh kebudayaan itu sejiwa dan tidak bertentengan dengan prinsip-dasar ajaran Islam terutama yang bersifat akidah dan ibadah. Di satu pihak ada sifat positif dan niscaya dari kebudayaan tetapi terdapat hal-hal yang perlu dikritisi darinya. Di pihak lain ada pula unsur serapan kebudayaan dalam beragama, lebih-lebih yang bersifat mu’amalah dunyawiyah, sehingga agama dan kebudayaan dapat saling berinteraksi dan mengisi secara dinamis.
Herskovits dan Malinowski menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya. Artinya betapa penting kebudayaan bagi suatu masyarakat, selain tidak dapat dipisahkan, kebudayaan itu memiliki sifat determinisme atau pengaruh kuat yang menentukan karakter suatu masyarakat. Karenanya penting untuk dipahami watak, sifat, aspek, unsur, dan pengaruh kebudayaan dalam suatu masyarakat yang berarti memahami masyarakat itu sendiri secara benar. Di sinilah pentingnya usaha-usaha dakwah Islam dalam memahami kebudayaan agar tidak salah dalam memandang dan memasuki kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaannya. Selebihnya bagaimana memberi warna Islam terhadap kebudayaan suatu masyarakat melalui cara-cara yang bersifat kultural dengan cara hikmah, edukasi, dan dialog yang cerdas sesuai dengan pendekatan dakwah Islam. []
REPUBLIKA, 27 Desember 2020
Prof Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar